Tuesday, 1 April 2008

Saya dan Siswa Seminari


Keistimewaan saya adalah pernah menjadi siswa, pembina, dan guru. Hidup dalam tiga tingkat yang berbeda ini membuat saya menjadi lebih banyak mengerti. Yang dulunya tersembunyi, tertutup, tidak masuk akal akhirnya terbuka dengan lebar. Yang dulunya hanya sebatas “caci maki”, sekarang lebih banyak “bersyukur”. Memang menjadi siswa selalu tidak enak. Under preasure! Tapi siapa bilang jadi pembina atau guru itu enak. Sangat tidak mengenakkan juga. Sama-sama dalam posisi tertekan.
Tetapi yang selalu dalam posisi terjepit adalah frater. Ditekan dari atas, juga dari bawah. Kalau tidak punya daya tahan kuat, frater akan lebih ramping. Kurus karena pikiran. Pikir di atas dan pikir di bawah. Dalam posisi serba salah. Telinga kanan untuk Romo dan telinga kiri untuk siswa. Menampung arus atas dan arus bawah. Antara perintah dan pengertian. Larangan dan izinan.
Kalau kedua-duanya sama-sama mengamuk, ya sasarannya pasti frater. Aspirasi siswa yang tidak terpenuhi hanya bisa dilampiaskan pada frater. Takut ke Romo. Frater yang jadi sasaran. Kalau keinginan Romo tidak juga terpenuhi. Frater juga yang salah. Tidak mampu mengendalikan anak-anak. Tidak bisa menegakkan aturan. Sama dengan siswa. Tidak konsisten. Tidak menjalankan pedoman TOP.
Kalau siswa ada maunya, frater selalu jadi bempers. Mau tidak diaspirasikan, anak-anak sebenarnya butuh wadah penyaluran. Butuh variasi. Tapi tidak semua maunya siswa dipandang baik oleh Romo. Kemudian siswa berontak. Siswa indisipliner. Siswa menunjukkan mosi tidak percaya. Siswa terlukai perasaannya. Frater juga yang disuruh menghadapinya. Sendiri. Frater menjadi anjing penyalak. Siap gonggong. Dan akhirnya dicaci maki.
Frater sendiri harus jaga korps pembina. Sebenarnya tidak tega juga melihat keadaan riil siswa. Kebutuhan siswa. Menegakkan aturan secara konsisten juga kelihatannya kontradiksi. Kalau tidak selaras atau lebih tepat tidak mengakomodir secara lebih fleksibel, atau katakanlah tidak sejalan sekata dengan perkembangan psikologis siswa, artinya dipaksakan, justru menimbulkan “pemberontakan” demi “pemberontakan”, “kompensasi” demi “kompensasi”, dan “kamuflase” demi “kamuflase”. Hasilnya menjadi tidak sinkron. Alias produk dengan label pura-pura.
Ada yang bilang, jadi calon imam itu pandai-pandai berpura-pura. Bermuka dua. Di depan pembina, muluk-muluk. Baik-baik. Sopan. Manut. Di belakang, bangun kekuatan. Tidak setuju. Protes. Caci maki. Di depan, taat aturan. Di belakang, indisipliner. Di depan, i-ya bos. Di belakang, “malas tau” alias bodoh amat! Ini kekeliruan. Namun sulit untuk dihilangkan. Karena bedanya tipis-tipis amat. Antara taat dan munafik.
Bohong kalau ada yang mengatakan, “Saya tidak pernah munafik alias pura-pura” selama di seminari. Disiplin yang tegas, dengan ancaman “hukuman” di satu sisi menimbulkan ketakutan, kalau saja disiplin itu dilanggar. Bahkan dalam kesalahan-kesalahan kecil pun, seperti terlambat beberapa detik, disiplin tidak mengenal toleransi. Tidak ada kompromi. Dan dihukum sama beratnya dengan mereka yang lebih berat kesalahannya.
Sekali lagi ketakutan menjadi kunci dari sikap munafik. Posisi siswa sebenarnya sangat dilematis. Mau cari aman. Selamat dari hukuman. Tidak dinilai melawan. Atau dengan condite “siswa dengan kelakuan buruk”, tidak bisa disiplin. Karena ini, kejujuran dikesampingkan. Jujur berarti masuk jurang. Seperti domba yang digiring ke pembantaian. Siap digorok. Jujur berarti dapat hukuman. Jujur berarti sebuah pelanggaran. Karena itu, munafiklah sedapat mungkin.
***
Saya pernah memergok siswa yang melanggar aturan. Locusnya di kamar tidur. Dengan dugaan, pelanggaran terhadap jam belajar sore. Kronologis peristiwanya seperti ini. Setiap sore ada jam waktu belajar khusus siswa. Dua kali. Jam belajar sore pertama. Istirahat. Kemudian jam belajar sore kedua. Lalu doa dan makan malam. Pada saat jam belajar sore, siswa dilarang memasuki kamar tidur. Larangan ini ada maksudnya. Mencegah siswa tidur, bersembunyi kemudian bermain-main di kamar tidur. Atau ngobrol di sudut tersembunyi. Sudah ada beberapa kasus dengan modus seperti itu. Karena itu, area kamar tidur paling dilarang. Supaya siswa benar-benar memanfaatkan waktu belajarnya.
Kalau keadaan mendesak, siswa diwajibkan memberitahukan maksud dan tujuan ke kamar tidur. Pada perfek atau frater. Masuk tanpa pemberitahuan atau izinan dinilai melanggar kedisiplinan. Kebanyakan disiplin ini tidak diindahkan. Apalagi kalau kamar tidur dalam keadaan terbuka lebar. Demi pergantian udara. Kalau tidak, sumpek. Alasan mereka, “Kalau minta izin pasti tidak diberi. Kalau pun diberi, susah amat. Tentu saja dengan pertanyaan penyelidikan yang membabi buta. Didakwa. Tidak penting. Tidak punya prioritas. Tidak ada perencanaan hidup. Tidak tertib. Susah tembus kamar tidur waktu jam belajar sore”. Karena itu, aturan ini selalu dilanggar.
Sore itu, dua siswa kepergok. Betapa terkejutnya mereka melihat sosok saya. Sama sekali tidak disangka-sangka. Mereka masih kelas satu SMP. Jadi, ketakutannya dengan wajah pucat pasi luar biasa besarnya. Mereka merasa sudah merusak kepribadian dan conditenya sendiri. Saya melihat di tangan mereka ada chocolate cream, kue kesukaan siswa seminari saat itu. Sepotongnya sementara dikunyah. Mereka kunyah dalam diam. Tidak ada suara. Tidak ada berisiknya. Karena memang tidak mau ketahuan.
Saya sendiri kebetulan saja lewat di situ. Kunci kamar tidur ada pada saya. Maksud saya mengunci kamar tidur. Keadaan di luar sudah sangat dingin. Berkabut. Tidak mau kamar tidur dibuka terus pada saat cuaca seperti ini. Kamar tidur bisa menjadi lembab. Tidak baik untuk kesehatan siswa. Bisa mengakibatkan paru-paru basah. Sebelum tutup pintu, sejenak saya berputar mengelilingi kamar tidur. Menyakinkan diri bahwa kamar tidur aman untuk dikunci.
Mereka sama sekali tidak menyadari kehadiran saya. Baru sekitar sejengkal lagi, mungkin bau badan dan aura saya tercium. Dengan serta merta mereka menundukkan kepala. Dan tanpa diperintah, membungkukkan badan. Berlutut. Siap diadili. Satu di antaranya hampir meneteskan air mata. Muka tomat,[1] alias merah padam. Satu yang lain kelihatan lesu. Tidak ada gairah. Mungkin juga malu.
Saya tanya alasannya. Mereka lapar. Makan siang sedikit. Tidak ada gairah. Karena itu, mereka bermaksud mengeyangkan perut dengan sepotong coklat cream sebelum jam makan malam. Mereka jujur. Siap menerima hukuman.
Waktu itu saya menjadi sadar. Kejujuran mereka tidak boleh dinodai. Kepolosan mereka tidak boleh dikhianati. Jangan sampai kertas putih yang bersih itu dicorat-coret dengan kasar, penuh kata kekerasan. Serentak saya juga merasakan, di tempo dulu, pengalaman yang sama, seperti pengalaman kedua bocah ini. Apa yang mereka rasakan mungkin juga sama persis dengan apa yang saya rasakan. “Kalau dihukum, perasaan kejujuran saya dilukai seperti teriris sembilu”. “Kalau dihukum berarti kejujuran tinggal kejujuran dan tidak layak untuk dipertahankan”. “Lain kali harus munafik, tidak boleh jujur”.
Saya minta mereka berdiri. Saya tuntun mereka masuk ke kamar saya. Kemudian saya bilang ke mereka, “Habiskan kuemu dengan tenang. Nikmatilah saat-saat kue itu menyentuh lambungmu dan memenuhi rasa laparmu.” Saya tambahkan lagi dengan beberapa potong roti tawar. “Makan saja!” Mereka tersenyum. Ada rasa lega. Lolos dalam tarikan napas. Juga berkat.
Setelah pintu kamar tidur saya kunci, saya kembali ke kamar. Coklat cream dan roti tawar benar-benar sudah amblas di perut. Tinggal toples kosong. Saya tersenyum. Rumusan lama itu masih juga dipakai. Teringat saya akan pengalaman di kamar frater TOP. Paling senang kalau masuk kamar frater. Selalu ada yang bisa dimakan. Kalau tidak kue, pasti pisang. Mula-mula malu-malu. Satu-satu. Ngobrol sedikit, ambil buku dan baca sebentar, kemudian ambil lagi. Dalam hati terus berdoa, mohon supaya frater keluar kamar. Entah kontrol teman-teman yang lagi belajar. Entah ke kamar mandi. Apa pun urusannya, yang penting frater keluar kamar. Kalau peluang itu ada, saat frater keluar kamar, frekuensi mengambil kue dan memasukkan ke mulut semakin dipercepat. Kalau ada dua tiga orang, berlakulah hukum siap cepat dia dapat. Mumpung frater lagi keluar kamar. Bila perlu dihabiskan sekalian. Atau sengaja dibiarkan sepotong. Supaya tidak kelihatan “rakus”. Saya tidak mempedulikan hal itu. Itu juga pengalaman saya dulu.
Kembali saya duduk di hadapan dua bocah itu. Mereka nampak gugup. Hilang akal. “Sekarang kalian kembali ke kelas dan buat sebuah refleksi seputar peristiwa tadi. Lengkap dan detail!” Tanpa disuruh dua kali, mereka langsung keluar kamar, menuju kelas. Sebelum jam makan malam, dua carik kertas dengan nama masing-masing singgah di kamar saya. Refleksi pribadi. Mereka mengaku bersalah. Dan bertekad tidak akan melakukan kembali. Mereka mengucapkan terima kasih karena tidak dihukum. Kelihatan ditulis dengan penuh kejujuran, begitu polos, dan alamiah. Dalam hati saya berkata, “dua bocah sudah saya selamatkan!”
Kemunafikan paling menantang adrenalin adalah bolos. Keluar seminari tanpa izinan. Ke kios, ke warung, atau ke rumah om, tanta, kenalan di seputaran Mataloko. Modus operandinya pun bermacam-macam. Lompat pagar. Merayap di kebun talas. Lewat got pembuang keluar. Got kering, tembus jalan raya. Pinjam tekhnik prajurit. Jadi bisa nyusup. Keluar. Ada yang lebih berani. Lewat gerbang utama. Bersikap seolah-olah sudah diizinkan. Ketemu pembina, tegur seperti biasa. Perhitungannya, pasti tidak mungkin dibilang bolos karena lewat gerbang utama. Kalau pun dicross check, tentunya butuh waktu dan kesabaran. Perfek dan pembantu perfek, semua berjumlah lima sampai enam orang. Masing-masing punya wewenang untuk mengizinkan siswa keluar. Dari kelima orang ini, satu yang pasti beri izinan. Semoga saja tidak semua yang dicross check. Karena itu, lebih baik bersikap seolah-olah sudah dapat izinan. Memang risikonya lebih berbahaya. Tidak ada pilihan.
Tujuan dari bolos pun bermacam-macam. Yang paling banyak adalah beli kue, makan bakso, nasi campur, atau nasi soto. Mencari variasi menu makan. Tidak tahan dengan menu makan seminari. Masa kami, ada dua tempat favorit. Molen Boadona, dan Kios (warung) Mimosa. Pernah di satu masa, warung di sekitar pasar Mataloko jadi tempat favorit. Di situ selalu tersedia “raa rete”[2] khas Mataloko. Harganya pun murah meriah. Cuma 2500 Rupiah.
Seminari punya aturan sendiri dalam hal keluar asrama. Sebulan dua kali. Minggu pertama dalam bulan, keluar dekat. Sekitar Mataloko. Sampai jam dua belas siang. Terus harus masuk kandang. Minggu ketiga dalam bulan, keluar jauh. Bisa sampai ke Bajawa. Lebih lama waktunya. Sampai pukul 15.00 Wita. Setelah itu, harus sudah masuk kandang. Maksudnya, supaya siswa bisa kendalikan segala macam keinginan jasmani. Sedikit demi sedikit meninggalkan hiruk pikuk duniawi. Melepaskan ketergantungan lahiriah. Sekaligus belajar ugahari. Hidup hemat. Hidup apa adanya sesuai dengan apa yang sudah disediakan seminari. Juga punya prioritas. Belanja sesuai keperluan. Bersua dengan keluarga, sahabat kenalan dalam batas waktu. Tidak lagi bergantung atau terikat dan mengikat diri pada keluarga, sabahat, dan kenalan.
Tujuan yang baik ini memang belum masuk dalam pikiran siswa, juga saya ketika masih menjadi siswa. Bagi kami, aturan ini merupakan bentuk pengekangan kebebasan. Tidak ada maksud yang baik. Cuma mau mengurung kami. Menghalangi kami menggunakan uang pemberian orang tua. Menghalangi kami makan enak. Membatasi hubungan kami dengan orang tua, keluarga, sanak saudara, sahabat kenalan. Kami memberontak dan bolos.
Malam Jumad. Jam rekreasi. Semua pembina waktu itu ada di Kemah Tabor.[3] Katanya ada rekoleksi bulanan. Saya diajak kakak kelas saya tiga orang. Mengendap-ngendap melalui hutan talas ke pasar Mataloko. Besok hari pasar Mataloko. Malam ini pasar sudah kelihatan ramai. Yang kami incar adalah “ra’a rete”. Sebungkus nasi. Dan sayur daun pepaya. Saya sendiri sebenarnya berat hati untuk bolos. Tapi karena didesak terus, akhirnya ikut juga. Takut juga rasanya. Ini pengalaman pertama saya.
Kakak kelas saya itu rupanya sudah hapal benar jalannya. “Pakar” bolos rupanya. Kami mengitari Tanjung dengan sebuah senter. Sampai di asrama karyawan seminari, khusus untuk merawat dan memelihara babi dan sapi, senter dimatikan. Kami berlajan mengendap. Pelan-pelan. Kadang karyawan Tanjung itu suka lapor ke perfek. Kalau ketahuan, taruhan panggilan. Soalnya, kedapatan bolos sekali, biar baru pertama, langsung saja bisa di”cedok”. Jalan setapak yang licin itu kami lalui dengan aman. Menembus jalan raya sebentar. Kemudian masuk lagi ke jalan setapak. Jalan potong menuju pasar Mataloko.
Tiba di warung, kami langsung pesan empat porsi. Saya ditraktir. Jadi tinggal makan saja. Makan dengan tergesa-gesa. Mata sigap. Kami harus atur waktu sedemikian rupa supaya bisa tiba kembali ke seminari tepat selesai jam rekreasi. Setelah makan, kami pulang lewat jalan yang sama. Dari warung ke jalan raya kelihatan aman. Sedikit lengah. Tiba-tiba bunyi motor tril dari arah belakang. Romo! Semua serta merta merayap. Menjatuhkan diri ke semak dan got. Tidak peduli kotor atau berair. Yang penting selamat dari penglihatan Romo. Motor berjalan lambat karena mendaki. Gigi satu rupanya. Kami tetap pada posisi merayap. Tumpang tindih. Bau badan. Tidak lagi menjadi soal.
Cahaya lampu seketika menerangi jalan. Nampak sosok Romo sedang mengendarai motor. Romo tidak menyadari bahwa di got itu, beberapa siswa sedang sport jantung. Berlalu. Tapi kami tidak serta merta berdiri. Tunggu sampai bunyi motor itu hilang. Baru kemudian kami berdiri, ambil langkah seribu. Selamat.
Ilmu bolos adalah sigap dan cekatan. Semua kebiasaan Romo, cara jalan, cara bicara, suara, sampai bunyi motor harus dihapal betul. Selain Romo, juga karyawan, guru-guru, dan masyarakat sekitar yang dekat dengan Romo. Jangan sampai ada yang tahu. Dalam keadaan luar biasa, merayap menjadi bagian dari upaya penyelamatan diri dan panggilan. Sebelum bolos, biasanya ada kesepakatan antarsiswa. Kalau selamat, syukur, tapi kalau kedapatan risiko ditanggung sendiri. Tidak ada yang boleh bocorkan siapa-siapa saja yang bolos.
Ada yang punya “khasiat” tersendiri. Bolos kalau tidak bawa “orasi”, kumpulan doa dan novena kepada Hati Kudus Yesus dan Bunda Maria, pasti kedapatan. Tetapi kalau “orasi” itu dibawa serta, tidak mungkin kedapatan. Sugesti rohani. Dan kontradiksi. Karena bagaimana mungkin, sesuatu yang tergolong kesalahan, pelanggaran, boleh dibilang dosa dilegitimasi dengan sesuatu yang rohaniah, yang Ilahi. Doa bukan cara merayu Tuhan untuk memperbolehkan manusia melakukan kesalahan dan dosa. Tuhan juga tidak pernah kompromi. Aneh tapi nyata. Percaya atau tidak percaya, ada yang seperti itu.
Sampai di seminari, kami berlaku seperti biasa. Benar-benar munafik. Seolah-olah kami memang setia menjalan aturan, tetap berada di seminari, dan tidak pernah keluar. Teman-teman lain pun tidak tahu. Kunci mulut rapat-rapat. Rahasia kami. Tapi saya tidak bisa menipu suara hati. Sedikit gemetaran. Apalagi disambut dengan kejadian seperti tadi. Hampir saja kedapatan kalau tidak sigap. Saya memilih memisahkan diri dari kelompok saya. Pura-pura ke toilet. Padahal saya mencari tempat untuk menyendiri. Merenung. Apakah ini sebuah penghayatan hidup yang sempurna?
Saya tahu bahwa ini topeng-topengan. Main sembunyi-sembunyi. Tidak jujur dengan keadaan. Tidak jujur dengan diri sendiri. Tidak bisa hidup apa adanya. Saya menghibur diri sendiri. Toh, baru sekali ini saja. Lain kali saya tidak mau. Cukup kali ini. Yang pertama dan terakhir. Saya tidak mau lagi tercebur dalam kesalahan yang sama. Saya mau hidup apa adanya, menampilkan diri secara jujur dan terang.
Tapi godaan tetap godaan. Sekali kecebur, maunya dilakukan terus. Sudah punya pengalaman, karena itu merasa aman. Suara hati pelan-pelan terkikis. Kebenaran dikompromi. Nilai dipertaruhkan. Harga diri disisihkan. Ikut arus. Demi kesenangan semata. Demi gengsi. Demi kepuasan jasmani. Perbuatan itu akhirnya menjadi sebuah rutinitas. Tidak ada lagi rasa bersalah. Tidak ada lagi penyesalan. Bukan merasa sebuah “dosa”. Biasa-biasa saja. Menyenangkan. Malah membanggakan.
Karena tersembunyi rapat, tidak ada pembina yang tahu. Teman-teman mungkin sudah pada tahu. Ada yang mengistilahkan “raja bolos”. Tapi tidak juga punya keberanian untuk mengoreksi kesalahan itu. Teman-teman juga kompromi. Mendiamkan. Barangkali karena hal itu dilakukan bersama-sama. Tercebur sama-sama. Jadi tidak ada yang berani menegur. Siapa menegur siapa. Kalau pun ada yang tidak ikut tercebur dalam pelanggaran demikian, mulut teman itu sudah disumpal. Entah, oleh ancaman dikucilkan dari teman-teman. Entah, dibenci, dikatakan “spionase”, “tukang lapor”, “cari muka”. Karena itu, tidak ada yang berani menegur dan melaporkan keadaan yang sebenarnya. Semua berlangsung dalam “rahasia bersama” di kalangan bawah, dan tertutup rapat untuk kalangan pembina.
Hasilnya, koreksi dan evaluasi antarteman dimanipulasi. Hal-hal yang bersifat membahayakan panggilan disembunyikan rapat-rapat. Dibahasakan ulang dengan “sebaik-baiknya”. Memperhitungkan berat ringannya. Jalan panggilan imamat pun mulus. Tinggal pintar-pintar mendesain nalar supaya dapat nilai bagus, sesuai standar seminari. Kelihatan rajin berdoa dan meditasi. Romo pun akhirnya tertipu. “Siswa yang disangkanya baik itu, ternyata tidak lebih dari kubur berlabur putih”.
Kompromi demi kompromi ini, lama kelamaan terbawa terus dalam sikap dan penghayatan hidup. Saya sendiri merasakan pengaruhnya. Begitu menyiksa dan malu. Satu hal yang pasti bahwa pencerminan kehidupan pribadi saya menjadi semu, tidak jujur, tanpa roh, dan setengah-setengah. Tidak pernah bisa total. Tidak pernah bisa tuntas. Selalu memikirkan jalan pintas. Menggampangkan keadaan. Tidak mau berusaha. Bergantung pada orang lain. Pandai memanfaatkan situasi. Lebih suka menasihati dari pada dinasihati. Mudah tersinggung. Tidak suka kerja tangan. Kurang inisiatif. Renungan dangkal. Hanya bicara, tidak berbuat. Bukan tokoh yang patut diteladani. Konsumtif. Hedonis. Materialistis. Penjiplak. Mudah konflik. Dan kurang dekat dengan gereja dan Tuhan.
Saya merasakan betul pengaruh negatif kemunafikan yang saya pupuk itu, ketika berada di seminari, di tengah-tengah adik-adik saya yang polos. Dengan gampangnya saya melegitimasi semua perbuatan saya menjadi benar, rasional, terkesan penting, begitu sibuk dan tidak mampu memberikan teladan pada adik-adik saya itu untuk berdoa, merayakan misa, meditasi, dan menyanyi dengan baik. Jam doa, saya di depan tivi. Melahap acara kesukaan saya. Apalagi kalau ada bola kaki. Misa pagi kadang saya tidak hadir. Liga Champions, misalnya lebih menarik. Kemudian saya buat alasan yang rasional. Tugas menumpuk. Harus sampai malam. Tidur pagi. Misa pribadi bersama Romo. Dan alasan-alasan lainnya.
Siswa butuh sesuatu yang teramat penting, minta penjelasan sesuatu. Saya tulis label di depan kamar. Tidak mau diganggu. Pikirnya ada sebuah tugas yang teramat serius sampai tidak boleh diganggu. Ternyata, saya tidur. Membatasi jam olahraga mereka. Saya malah olahraga berjam-jam. Membatasi waktu nonton mereka, saya nonton berjam-jam. Membatasi waktu keluar mereka, saya justru selalu tidak ada di seminari. Lupa misa. Lupa doa. Tidak pernah pegang kitab suci. Tidak meditasi. Tidak belajar, menambah pengetahuan. Dan nilai-nilai itu justru yang saya tekankan untuk adik-adik saya. Saya melawan diri saya sendiri. Mempermalukan diri saya sendiri. Sakit juga!
Pernah saya berpikir, ini komunitas “kejujuran” atau “topeng-topengan”? Sepertinya semua pada bermain topeng-topengan. Selalu ada yang mengintai dan selalu ada yang bersembunyi. Tidak fair. Tidak terbuka. Ada ketakutan. Tidak apa adanya. Atau itukah definisi “kejujuran” yang benar di muka bumi ini? Yaitu kejujuran yang tidak sepenuhnya jujur. Tersamar. Tersembunyi. Misteri. Sama seperti manusia itu, setengahnya nampak dan setengahnya misteri. Juga Tuhan, yang Ada dan yang Tiada. Sama seperti keselamatan, yang sudah ada dan belum sempurna. Dan barangkali inilah yang membuat Sang Guru harus diam ketika ditanyai, apa itu kebenaran? Sebab yang berhak mengadili kebenaran itu hanya Bapa seorang.
Di sinilah justru letak mukjizat dan anugerah itu. Bahwa kaca mata manusia tidak mampu menampung semua kebenaran sempurna. Penuh bijaksana. Dengan takaran yang pas. Seimbang. Manusia hanya menyerahkan segala sesuatu itu pada nasib. Pada kehendak Tuhan. Pasrah. Tuhanlah yang menentukan segala sesuatu. Dia yang membuat rencana atas kita. Seberapa buruk dan tidak bernilainya kita di mata manusia, Dia tetap mencintai kita. Memberikan kita anugerah. Konsisten dengan rencana-Nya. Cinta-Nya. Dia tidak pernah menipu. Tidak pernah melupakan. Tidak pernah melihat kita secara buruk. Jahat. Tidak berguna. Tidak bernilai. Dia malah melihat segala sesuatu itu baik adanya. Termasuk memanggil kita dengan segala kelemahan, keburukan, dan kesalahan kita. Bukankah ini sebuah anugerah tanpa batas? Bersyukurlah!
Kesadaran seperti ini membuat saya makin mantap menempuh panggilan imamat. Makin mantap dalam memberikan teladan buat adik-adik saya. Mendampingi mereka. Mengajarkan mereka cara bersyukur atas anugerah ilahi. Membuktikan bahwa hidup itu tidak patut untuk disesali. Dan meyakinkan bahwa kita tidak berada di tempat yang salah.
Pendekatan dan pendampingan saya pun mulai berubah. Semula memang saya tidak menemukan makna di balik pengalaman TOP saya di seminari. Saya bahkan mau mengulangi kesalahan masa lalu. Dengan kekerasan. Menakut-nakuti. Menghukum. Merotani. Sesudah itu, siswa dibiarkan kebingungan. Kenapa harus dihukum? Tidak ada pendalaman dan pertobatan. Tidak ada pembalikan kesadaran. Dari sebuah pelanggaran menuju tekad, lebih murni dari hati nurani dan bukan karena takut, untuk tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama.
Setengah semester saya memang pegang kayu. Betis-betis mulus anak-anak seminari jadi sasaran. Kadang buku-buku jari tangan. Ada yang sampai meringis. Menangis. Saya tidak peduli. Yang penting kenakalan mereka berkurang. Belajar tidak ribut. Tidak kejar-kejaran di halaman tengah. Ribut di dapur, kapela, kamar tidur, dan kamar makan. Pusing kepala menghadapi tingkah anak-anak yang nakal itu. Emosi di ubun-ubun. Belum tugas menumpuk. Ya, mau tidak mau, kayu menjadi metode penyelesaian.
Mereka benar-benar ketakutan. Saya berubah menjadi monster galak. Saya dibenci oleh adik-adik saya itu. Setiap kali kalau saya lewat, mereka diam. Kaku. Tidak ada kegembiraan sama sekali di wajah mereka. Sorot mata mereka tidak hangat. Malah menghindar.
Keadaan ini bukan saja menyiksa mereka, tetapi juga saya. Saya bukan tipe orang yang masa bodoh. Tidak punya perasaan. Sebagai pendamping mereka, seharusnya saya lebih dekat. Tahu keadaan mereka. Tahu isu terbaru yang berkembang di asrama. Tahu perasaan dan kebutuhan mereka. Tapi itu tidak pernah saya alami. Begitu jauh. Jaraknya tidak terbatas.
Saya menyadari kesalahan saya jelang tengah semester berikut. Lebih-lebih ketika saya dipercayakan menjadi pembina Osis. Mau tidak mau saya harus dekat dengan mereka. Sikap keras saya ubah. Pendekatan dari hati ke hati. Murah senyum. Lebih banyak bercerita. Anak seminari masih suka didongeng. Terutama dongeng klasik. Yunani Kuno. Cerita orang Roma, Persia. Sejarah pembantaian Yahudi. Winethou. Informasi-informasi aktual, seputar sepak bola. Liga-liga Eropa. Profil pemain. Dan beberapa cerita lucu. Mereka mulai tertarik mendekati saya. Banyak hal yang mau mereka dengar dari saya. Kerinduan mereka akan informasi terbaru dan heroiknya kisah dulu membuat mereka simpatik. Pendekatan saya pelahan-lahan berhasil.
Memang mereka masih curiga. Ada apa di balik semua ini. Tapi saya nekat. Jurus berikut, saya menjadi mudah untuk memberi izin keluar. Sore hari semua pada mengetuk pintu kamar saya. Sudah berpakaian rapih. Rambut tegak model sekarang. “Minta izin ke kios!” Saya mengiyakan. Tetapi dengan pembatasan waktu dan orang. Lima belas menit. Setengah jam. Kemudian pulang ke asrama, wajib lapor. Supaya saya tahu sudah kembali. Ada yang terpaksa saya tolak. Besok. Soalnya sudah banyak yang saya izinkan. Alasan saya, bagi-bagi tanggung jawab dengan pembina lain. Mereka mengerti. Menunggu besok.
Berikutnya, hari Minggu tidak pesiar, saya manjakan dengan nonton film. Sekalipun bukan di bioskop, mereka senang. Sesekali nonton sampai larut. Biskop Trans TV sering memutar film dari sequel Harry Potter. Saya perjuangkan mereka supaya nonton. Mereka begitu suka dengan Harry Potter. Novel Harry Potter paling sering dipinjam siswa. Barunya tidak bertahan sampai sebulan. Selanjutnya nampak kumal. Atau kalau ada pertandingan sepak bola, tepat dengan waktu rekreasi, mereka diperbolehkan nonton.
Setiap siswa yang kedapatan melakukan pelanggaran tidak langsung saya jatuhi hukuman. Pertama, saya maafkan. Kedua, saya beri peringatan. Ketiga, baru saya hukum. Saya ingin mereka berproses dengan diri sendiri. Kumulasi dari pelanggaran sudah cukup membuat mata mereka terbuka akan kelalaian mereka itu. Mekanisme dan proses ini saya jelaskan pada mereka. Supaya mereka tahu. Sama-sama sepakat. Dan tidak ada yang saling mempersalahkan. Bentuk hukuman pun saya ubah. Dari kayu, jeweran, tempeleng menuju ke bentuk yang lebih berguna. Refleksi, sebagai hukuman tertulis dan kerja tangan, seperti sapu kamar makan, potong rumput, angkat tanah, dan lain-lain, sebagai bentuk hukuman fisik.
Sikap lunak saya itu kena sasaran. Mereka sudah lupa profil “berang” masa lalu saya. Rating “idol” saya meningkat. Kamar saya bahkan sesak di jam rekreasi. Banyak yang main catur, kartu, atau sekedar dengar musik. Toples-toples kue tidak pernah bertahan sampai sehari. Habis total. Bersamaan dengan itu, tingkat kepatuhan mereka pun bertambah. Tidak perlu lagi dua tiga kali bicara. Cukup sekali. Mereka pun nurut. Mungkin tidak mau kebaikan hati saya itu hilang dan kesempatan keluar pun dibatasi. Kedekatan saya dengan mereka sekarang seperti kakak terhadap adik-adiknya.
Dari relasi yang akrab itu, saya mulai membangun kesadaran berorganisasi dan pelatihan kepemimpinan. Fokus kegiatan kami adalah membina keakraban ke dalam, memupuk kreativitas, membangun komunitas bersih dan apik, pola hidup tertib dan disiplin, berprestasi di bidang ilmu pengetahuan, keterampilan, dan olahraga, sehat jasmani dan rohani, terakhir pentas seni teatrikal. Dari semua itu, yang paling penting adalah menumbuhkan rasa bahagia atas pilihan hidup yang sedang dijalani. Berada pada tempat, waktu, dan komunitas yang tepat. Benar-benar sebuah anugerah dan bukannya malapetaka.
Banyak hal yang bisa dibuat dengan anak-anak seumur 12 – 15 tahun itu. Energi alami yang tersimpan dalam dirinya mereka begitu kuat dan ajaib. Kuncup itu sedang mekar. Tersembunyi. Liar. Sulit ditebak. Karena itu, usia-usia mereka sebenarnya banyak membutuhkan media penyaluran. Energi itu mesti dimanfaatkan baik untuk pertumbuhan mereka maupun untuk kebaikan komunitas. Saya sendiri begitu kagum. Cahaya inspirasi itu mengalir seperti sebuah air terjun yang tiada habisnya. Salah kalau terlalu cepat menilai bahwa ada di antara anak-anak itu tergolong buruk. Entah kelakuannya, bentuk pengungkapannya, atau kata-katanya. Sebab yang mereka miliki sekarang bukan merupakan sesuatu yang permanen ada dalam diri mereka sejak dari semula. Hanya ada dua hal yang ada dalam diri mereka. Pertama, kepolosan yang tiada batas, kebenaran yang tak tersangkal, keindahan alamiah, kemurnian, dan kedua adalah memori yang melekat. Memori itu datangnya dari lingkungan masa lalu dan masa kini, yang sedang mempengaruhi mereka. Dan kalau seorang anak dinilai buruk, bukan dirinya yang buruk tapi pengaruh lingkungan yang menjadikan dirinya buruk. Perlu ditolong. Dibimbing. Dituntun. Supaya hal yang buruk itu tidak menjadi permanen. Melekat erat. Mengakar. Dan menjadi identitas.
Saya menyadari hal itu. Dan berdosalah saya kalau tidak memberikan mereka kesempatan untuk memekarkan energi alamiah dan potensial yang mereka miliki itu. Juga saya punya tanggung jawab. Sekurang-kurangnya bisa menuntun mereka yang telanjur tersesat. Tugas saya adalah meluruskan. Membimbing ke arah pencerahan. Bukan memaksakan. Bukan dengan cara-cara kekerasan. Bukan juga dengan hukuman yang berlebihan. Tidak sampai menimbulkan rasa sakit hati. Pengalaman negatif dan traumatis. Tidak sampai menimbulkan pemberontakan. Rasa menyesal. Rasa tidak cocok. Rasa bersalah yang berlebihan. Terpaksa. Kaku. Brutal. Garang. Lensa merekam mereka mesti diisi dengan sesuatu yang berlawanan dengan semua pengalaman negatif itu. Semacam pembersihan. Penjernihan. Penyaringan. Penapisan. Supaya yang alamiah, yang potensial, yang murni, yang polos itu tetap menjadi berlian yang berkilau disaput mentari di pagi hari.
Salah satu cara saya adalah melalui majalah dinding. Kami sepakat dua minggu sekali majalah dinding harus sudah berwajah baru. Dipenuhi dengan berbagai macam unek-unek siswa. Sebulan jalan. Ternyata kurang tempat. Papan majalah dinding tidak bisa menampung hasil karya siswa yang banyak. Semua berlomba-lomba mau menulis. Saya pacu lagi dengan lomba menulis. Hadiah dan piagam penghargaan saya siapkan untuk para juara. Bertambah antusias dan banyak. Setiap minggu kami harus ganti majalah dinding dengan karangan baru.
Saya melihat, menulis menjadi salah satu cara mengungkapkan diri secara jujur dan polos. Menulis menjadi pengakuan. Menoleh ke belakang. Melihat ke diri sendiri. Membantu sesama teman dengan pengalaman pribadi. Melihat ke masa depan. Membangun visi. Cita-cita. Tekad. Persaudaraan. Mengendapkan nilai. Belajar dari pengalaman. Dunia sekitar. Benda-benda hidup dan mati. Memasukkan dunia besar dalam dunia kecil, di hati. Melalui kata-kata itu, mereka menemukan apa yang benar dan apa yang salah. Mereka berkenalan secara spontan dan langsung dengan keindahan, keteraturan kosmos, kebaikan, pengakuan, rasa bersalah, fungsi sosial, rasa syukur, kebaikan, dan mencintai diri apa adanya.
Kalau menulis mungkin tidak terjadi interaksi sosial secara langsung, dari wajah ke wajah, melihat identitas sang creator, maka saya berpikir untuk memberikan mereka kesempatan menunjukkan keunggulan, potensi dalam diri mereka. Karena itu, kami merancang kegiatan panggung. Pentas lawak alias humor, ikut-ikutan TPI, vocal group, single, baca puisi, pidato, dan diskusi. Dua minggu diberi kesempatan untuk mempersiapkan acara masing-masing. Seminggu repetisi general. Sedikit perbaikan. Lalu buat pentasan seni. Pertama, masih ada rasa canggung. Malu. Tidak percaya diri. Dilatih, dibimbing, diasah, mereka akhirnya menemukan kenikmatan di dunia baru itu. Mereka mengenal kemampuan dan diri mereka sendiri. Mereka bahagia. Bisa tampil. Bisa membahagiakan sesamanya. Tersanjung karena dipuji. Mereka tumbuh menjadi “idol” di antara sesama temannya sendiri.
Saya teringat pengalaman masa lalu saya. Pertama kali saya tampil di panggung seminari adalah jelang pesta famili. Saya masih kelas satu SMP. Ada kesempatan menulis dan membacakan puisi, saya beranikan diri. Saya tulis sendiri puisi. Kemudian saya bacakan. Saya menang. Juara I. Saya merasa ini pencapaian terbesar saya. Dipuji. Disanjung. Saya menjadi “idol” baru di antara teman-teman dan kakak-kakak kelas. Sejak dari itu saya dikenal “Raja Puisi”. Kalau ada pembacaan puisi, saya yang tampil. Puisi menjadi identitas dan totalitas saya.
Sampai ke jenjang SMU, saya dan beberapa teman saya membentuk sebuah wadah seni. Namanya Bengkel Teater Maranatha. Waktu itu memang tidak banyak yang antusias dengan kelompok kami. Hanya kami dan beberapa orang saja. Kegiatan kami seputar menulis dan mementaskan. Majalah dinding dan majalah Florete, buletin semesteran Seminari menjadi media penyaluran minat dan bakat kami. Dalam kesempatan pentas, kami bacakan puisi berantai. Kami tampil dominan dengan cita rasa seni. Mewarnai kosmologi komunitas saat itu dengan estetika yang spiritual. Tidak untuk sebuah tujuan pemberontakan atas kemapanan. Tidak untuk unjuk kebolehan atau aksi kesombongan. Melainkan menawarkan sebuah jalan menuju pembebasan diri. Dari rutinitas. Dari kejenuhan. Dari kelesuan. Dari kemapanan. Mengupas diri kami dan lingkungan kami, menguliti rutinitas dan tradisi kami. Menyembulkan pemurnian. Pembaruan. Spiritualitas yang melegakan.
Banyak teman yang tidak mengerti dengan hobi kami itu. Di kepala mereka hobi identik dengan lapangan sepak bola, volley, badminton, basket. Ada yang merasa buang-buang waktu saja. Ada yang menganggap ini sebuah “keanehan” baru. Bahkan mungkin aliran sesat baru. Tetapi kami sudah memilih menulis menjadi media ungkap kami. Sama seperti teman-teman lain dengan media pengungkapannya. Sepak bola. Humor. Nyanyi. Musik. Tarian. Kami memilih menulis. Dan di situlah justru watak dan kepribadian kami ditempa. Tegas. Disiplin. Tetapi sesuai dengan tingkat pertumbuhan kami. Menyenangkan. Tidak terpaksa.
***
Dari menulis saya melebarkan apresiasi mereka menuju kecintaan pada perpustakaan dan buku. Mencintai semua buku. Sumber menulis adalah buku dan perpustakaan. Demikian pun kekayaan hidup adalah buku dan perpustakaan. Demikian pun kekayaan siswa adalah buku dan perpustakaan. Seminari memiliki sebuah perpustakaan yang lengkap. Berbagai jenis buku. Tema. Model cerita. Model penulisan. Tokoh dan peristiwa. Sayang kalau tidak digali dan dijadikan sarana pembelajaran efektif.
Kesepakatan saya buat. Kalau saya piket[4], kalian boleh baca buku. Apa saja. Buku perpustakaan. Dan bukan buku pelajaran. Tapi cuma jam belajar kedua. Selain itu, pegang buku pelajaran. Cuma kelonggaran ini ada syaratnya. Masing-masing siswa menyiapkan sebuah buku tulis. Khususnya untuk meringkas isi buku yang sudah dibaca. Saya pasang target. Sebulan 20 buku. Dengan kategori, 5 buku tentang cerita rakyat, dongeng, novel, 5 buku yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, penemuan, tokoh pendidikan, 5 buku berhubungan dengan spiritualitas, cerita orang kudus, dan 5 buku berkaitan dengan minat atau hobi mereka. Saya membayangkan, ada sekitar 10 buku yang berhasil dibaca secara serius. Yang lainnya adalah jiplakan dari ringkasan teman-teman. Tetapi itu saja sudah cukup buat menambah pengetahuan.
Enam tahun di seminari, saya tidak pernah menikmati perpustakaan dengan buku-buku selengkap ini. Padahal saya termasuk orang yang haus buku. Kutu baca. Kalau sudah dengan buku, segala-galanya bisa dilupakan. Tidak makan, tidak minum, tidak mandi. Benar-benar tertelan oleh buku. Sampai pasang lilin segala kalau sudah jam tidur. Hanya mau menghabiskan sebuah buku. Zaman saya, perpustakan seminari hanya memiliki beberapa buku favorit. Trio detektif. Serial Lima Sekawan. Winethou. Beberapa buku karya sastra Indonesia. Seperti Siti Nurbaya, Layar Terkembang, Antologi Puisi, Rendra, Putu Wijaya, Pantun Melayu. Belum ada Harry Potter, Ayu Utami, Dee, Albert Einstein, Mozart, Popeye, Sinchan, Dora Emon, sampai filsuf-filsuf terkemuka seperti Nietzche, Karl Marx, Hegel, Kant, Whitehead. Itu pun satu-satu eksemplar. Harus tunggu giliran. Antri pinjam.
Tapi novel picisan Fredy S, yang kadang-kadang diselingi dengan cerita beraroma pornografi itu, masih juga saya temukan. Secara tidak sengaja saya ambil dari tangan seorang siswa. Begitu terkejutnya saya. Saya pikir novel-novel ini sudah hilang. Saya pikir kehadiran perpustakaan dengan tawaran buku yang lebih sehat menumpas kehadiran novel-novel itu. Ternyata saya salah. Kebiasaan lama itu masih juga ada. Dari zaman kami, mungkin juga zaman sebelumnya. Saya sendiri biasanya baca sembunyi-sembunyi. Takut ketahuan. Kemudian beredar dari satu teman ke teman yang lain. Sampai-sampai tidak tahu siapa pemilik sebenarnya. Bahkan kami juga menikmati Nick Carter. Dua novel yang mencekoki pikiran kami dengan arti seksualitas yang kotor, jorok, dan hedonis.
Membatasi peredaran novel-novel itu, saya berinisiatif melakukan razia. Penggeledahan lemari pakaian, laci kelas, dan rak-rak buku. Ditemukan beberapa. Cara seminari menyembunyikan hal-hal yang dilarang itu tergolong unik. Tidak terdeteksi. Aman di tempat yang tidak terduga. Ini siasat lama. Dengan cara dan bentuk yang baru. Bisa saja dalam tumpukan pakaian kotor di ember. Dalam bantal. Cover diganti dengan cover buku pelajaran. Tersusun rapi di antara buku-buku doa. Dalam sepatu. Dalam kaleng susu. Karena itu, sebagian selamat dari razia mendadak itu. Canggih!
Usaha saya mendekatkan siswa ke perpustakaan, mencintai buku-buku ternyata berhasil. Rating peminjaman di perpustakaan meningkat. Karyawan perpustakaan kewalahan. Siswa mengerubuti perpustakaan seperti lalat pada ikan.
Agar ringkasan itu bukan saja berguna untuk menambah wawasan tetapi juga sampai pada pembentukan karakter dan pendidikan nilai, saya memberikan kerangka sederhana untuk meringkas. Satu hal yang saya tekankan adalah nilai-nilai apa saja yang bisa dipetik dari bacaan tersebut. Manfaatnya apa? Dan luar biasa...banyak hal yang mereka pelajari dan endapkan. Dari hari ke hari, nalar mereka diperkaya oleh nilai-nilai baru, pandangan baru, wawasan baru. Mereka nampak lebih sehat, lebih bugar, lebih mekar karena pupuk yang mereka dapat adalah pupuk yang paling baik, efektif, sesuai dengan tingkat berpikir mereka.
Hasil ringkasan saya pajang pada majalah dinding. Kekayaan dari eksplorasi pengetahuan di perpustakaan itu dipersembahkan. Ada beberapa guru dan pembina yang juga terkejut. Kok siswa sudah bisa berpikir dan menulis seperti ini. Saya pikir, itu karena ketekunan mereka. Memanfaatkan sarana prasarana yang ada untuk maju. Mereka bukan siswa yang terus-terusan melanggar. Keras kepala. Masa bodoh. Atau bodoh. Ada buah yang baik datang dari kepolosan dan kemurnian mereka.
Namanya juga asrama sejenis. Semuanya laki-laki. Tentu ada cerita sumbangnya juga. Keterbatasan orientasi terhadap lawan jenis membuat segelintir teman kami jatuh dalam orientasi seksual yang menyimpang. Perasaan ketertarikan terhadap sesama jenis atau homoseks merupakan warisan lama yang susah diatasi. Selalu saja ada di tiap angkatan. Menyebut hal ini sebagai sebuah kelainan, juga tidak adil. Lingkungan sangat mendukung. Pola interaksi sejenis melahirkan daya tarik yang tak terbendung. Terhadap adik kelas, teman sendiri, atau kakak kelas.
Masa kami ada plesetan khusus. “Opside”. Sebenarnya dari kata “Offside”, istilah sepak bola. Kami menganggap ketertarikan itu sebagai sesuatu yang menyimpang dari garis, atau batas yang sudah ditentukan. Kedapatan nyelonong. Tertangkap basah dalam keadaan di luar garis. Kemudian istilah itu diganti menjadi “bermain anggar”. Sampai sekarang, barangkali.
Sialnya, masalah mereka ini jarang sekali diketahui oleh para pembina. Lolos dari kuping pembina. Semacam ada kesepakatan umum, bahwa soal-soal seperti ini mestinya ditutup rapat. Hanya di kalangan siswa. Tidak boleh sampai ke telinga pembina. Siswa punya cara sendiri untuk menyelesaikan masalah ini. Lebih ke arah “mempermalukan” dan bukannya “menolong” untuk memperbaiki keadaan. Biasanya mereka diminta pertanggungjawaban di hadapan teman-teman pada saat makan. Semua mendengarkan pengakuan itu. Istilah kami “teror”[5].
Karena itu, betapa malangnya teman-teman kami ini. Hari-hari di seminari dilalui dengan berat. Panjang. Menyesakkan. Mereka dianggap sudah menodai komunitas. Menjadi bahan cemoohan. Olokan. “Sampah Komunitas”. Dijauhi teman-teman. Maafkan kami, teman-teman. Kalian juga bagian dari sahabat sejati kami.
Ada yang tidak kuat dengan cemoohan lalu minta diri. Menyerah. Tertanam dalam hati, perbuatan ini merupakan sebuah “kelainan”, keburukan fisik dan moral. Dosa yang tak terampuni. Dengan serta merta mereka merasa tidak layak menjadi orang pilihan Tuhan. Mereka pun terpaksa menyerahkan panggilan itu pada pengadilan sepihak komunitas, pengadilan dari teman-teman mereka sendiri. Mereka sendiri merasa tidak layak untuk jalan yang terlampau suci itu.
Padahal kalau mau dilihat, catatan kedisiplinan, ketekunan, dan keseriusan mereka jauh lebih baik dari teman-teman yang lain. Bahkan ada beberapa yang tergolong cerdas. Cuma “salah langkah” itu. Dan yang paling berat adalah ditolak dalam pergaulan. Padahal, Yesus sendiri memaafkan perempuan yang kedapatan berzinah, mengangkat pemungkut cukai menjadi murid-Nya, memaafkan si bungsu yang suka “main perempuan”. Merangkul Maria Magdalena.
Bukannya saya mau rasionalisasi, melegitimasi sebuah kekeliruan dengan ayat Kitab Suci. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa Tuhan senantiasa mencintai kita dalam keadaan apa pun, apa adanya, termasuk dalam kedosaan kita. Ia selalu KONSISTEN!
Ketika saya kembali menemukan soal klasik ini saat saya sendiri menjadi pembina di seminari, saya menyadari kesalahan yang sudah kami lakukan di tempo dulu. Saya panggil mereka secara pribadi. Membedah persoalannya mereka. Menyadarkan mereka. Menuntun mereka untuk melepaskan orientasi seksual yang keliru itu. Terutama saya menguatkan mereka. Membuat mereka merasa yakin bahwa Tuhan masih tetap memilih dan memanggil mereka. Tuhan tetap mencintai mereka. Dan tempat ini merupakan yang paling cocok, pas untuk perkembangan kepribadian mereka.
Yang paling banyak saya temukan adalah onani atau masturbasi. Di toilet. Dalam selimut. Sudut kamar tidur. Loteng kapela. Jumlahnya bukan lagi segelintir. Tapi sebagian. Mereka terangsang oleh gambar-gambar porno. Cerita porno. Mau coba-coba. Sharing dari sesama teman. Nonton “bokep”. Sebagian bahkan melakukan dengan frekuensi tetap. Seminggu dua sampai tiga kali. Ketagihan. Tidak bisa kendali diri. Bahkan mengarah pada permanen. Mereka juga mengaku, kepribadian mereka menjadi terganggu, setelah melakukan onani. Risih. Cemas. Kurang percaya diri. Rendah diri. Merasa tidak layak.
Yang lain lagi. Ada yang kleptomania berat. Suka sekali kumpul celana olahraga teman, baju seragam teman, celana dalam teman, atau gantungan kunci. Tidak untuk dipakai, tidak juga untuk dijual, hanya sekedar mengumpulkan. Merasa begitu nikmat dan senang ketika berhasil mengumpulkan “benda-benda” itu.
Memang yang paling susah dijaga di asrama laki-laki adalah celana dalam. Baik baru maupun sudah pernah dipakai, tidak bakalan selamat. Bertahan seminggu, lalu hilang. Paling sering hilang di jemuran. Salah angkat. Sengaja diambil. Salah pakai. Sengaja dipakai. Semua menjadi bagian dari alasan hilangnya celana-celana dalam itu.
Para pembina sendiri tahu akan fenomena hilang-pakai celana-celana dalam ini. Sudah ditegaskan berulang-ulang untuk pakai celana dalam sendiri. Tidak boleh gonta-ganti. Malas cuci lalu ambil punya teman. Bahaya penyakit kulit selalu ada. Tetapi memang susah sekali kebiasaan ini dihilangkan. Saling pakai memakai celana dalam itu berlangsung terus, turun temurun, sampai sekarang.
Pernah sekali, teman saya sama sekali tidak punya satu pun stok celana dalam. Saat yang sama, celana dalamnya hilang. Menurut pengakuannya, dia hanya punya tiga celana dalam. Satu masih dalam ember. Satu dipakai. Dan satu hilang. Mau ke kios, Romo pasti tidak izinkan. Alasan “beli celana dalam” sudah menjadi klise. Saking terus-terusnya, Romo sendiri bosan dan tidak percaya. Alasannya beli celana dalam. Ternyata hanya mau makan enak di warung. Jadilah, teman saya itu tidak pakai celana dalam. Dua hari “menggantung” begitu saja tanpa “sarang”, tanpa hambatan (he...he...he....!!!).
Saya menyadari, porsi pendidikan seksualitas kurang diberikan secara memadai. Siswa mencari informasi dan pengetahuan seksualitas sendiri. Pengetahuan tanpa penghayatan. Pengetahuan telanjang. Dan digunakan secara salah. Eksplorasi dan pembuktian pengetahuan. Siswa dibiarkan mengalami perubahan pertumbuhannya sendiri. Tanpa penjelasan. Tanpa pendasaran. Sesuatu yang normal. Anugerah. Sakral.
Seingat saya, kami diberi pemahaman seksualitas yang memadai mulai dari kelas satu SMP. Tentang perubahan-perubahan biologis yang akan kami alami. Kelas dua dan tiga SMP pengetahuan seksualitas kami terus dipupuk. Semua penggambaran itu selalu dibarengi dengan penanaman nilai penghayatan seksualitas yang normal dan sakral. Melihat segala perubahan itu sebagai sebuah anugerah istimewa.
Saat yang paling kami nanti-nantikan di masa remaja adalah mimpi basah. Kami begitu gembira, ketika untuk pertama kalinya mimpi basah. “Selamat memasuki masa remaja!”. Biasanya kalau mimpi basah, tikar, bantal, selimut dijemur. Semua siswa lantas tahu. Dia ini mimpi basah semalam. Ada yang usil, “dengan siapa?”. Karena dingin, sebagian tidak mandi. Kalau sudah begitu, bau amis sperma pasti kerasa. Apalagi kalau stok celana dalam terbatas.
Zaman berganti, tuntutan dan godaan pun semakin beragam. Batas antara yang tabu dan yang diperbolehkan, yang profan, yang hedonis, dan yang sakral, yang suci semakin tipis. Penghargaan terhadap nilai seksualitas yang seimbang pun berkurang. Seks dilihat sebagai sesuatu yang mendatangkan “kenikmatan” semata. Seks menjadi hanya sebuah “alat” mencapai kepuasan. Seks bukan lagi menjadi “zat” pertumbuhan. Sebatas “erotisme” di zaman Cleopatra. Bebas dan murah. Dangkal dan lumrah.
Tidak pandai-pandai menyajikan sebuah pandangan yang sehat terhadap seks, sama saja menjerumuskan generasi sekarang dalam dunia kepuasaan itu. Tirai yang membatasi dunia tabu itu sudah lama tersingkap dan semua orang mempunyai akses tak terbatas, tak terkendali, tak kenal usia terhadap seks. Dan tidak mungkin ada yang bisa menghentikan laju “ketelanjangan” massal ini. Termasuk di seminari!
Terlalu di kekang, justru malah main belakang. Terlalu disumbat, justru malah bocor tipis-tipis. Disumbat mati-matian sampai kelelep, akan timbul pemberontakan. Penyaluran yang frontal, ganas, brutal, tidak punya etiket, memalukan. Justru dalam kekangan ini, selalu saja ada godaan menyimpang.
Namun bagi saya, semua pengalaman menjadi dan mendampingi siswa adalah saat-saat istimewa. Banyak hal yang membuat saya harus memaafkan masa lalu saya, menobatkan diri saya sendiri ketika berhadapan dengan kepolosan, kemurnian mereka. Tergambar di pelupuk mata, masa lalu saya, ketika saya dibentuk oleh pengalaman yang berbeda. Dan saat itu saya belum sepenuhnya menyadari arti dari pendidikan itu. Saya mungkin seperti adik-adik saya ini, merasa terpaksa, dipaksakan, tidak bebas lalu berontak. Tidak tahu maksud di balik semua kerja ajaib, agung, dan penuh rahmat ini. Saya bersyukur bahwa bisa bertumbuh secara normal dan sehat. Menjadi diri saya sendiri, apa adanya saya. Ini sungguh-sungguh istimewa. Puji Tuhan!
Satu hal yang saya pelajari dari adik-adikku, yaitu hidup jujur, tanpa topeng. Terima kasih, adik-adikku! Ini permata paling berharga dalam hidup ini.*
Permenunganku:
“Sebenarnya, yang paling mendasar dalam menghadapi pertumbuhan dan perkembangan anak adalah keterbukaan, kejujuran, dan keteladanan. Dari hati ke hati. Sedikit menceburkan diri dalam dunia anak. Jangan sampai mereka mengalami lingkungan pendidikan penuh topeng-topengan, munafik, terbiasa “main sembunyi”, “main belakang”, dipaksa, terpaksa, selalu disalahkan. Dunia topeng-topengan selalu menganjurkan mereka berbuat lain dari yang diminta, menyimpang dari kebiasaan, aturan, dan betah di tempat tersembunyi. Hati-hati, sebab kebiasaan ini akan terus dibawa. Menjadi penipu ulung, pemberontak, pemuja kegelapan, dan main samping. Mesti dekati mereka secara terbuka, jujur, tunjuk teladan, sentuh hati mereka, dan cintailah mereka apa adanya. Seperti cinta Tuhan yang selalu konsisten, sabar, tidak pernah berprasangka buruk, termasuk dalam kedosaan kita.
Kepada teman-teman, bersyukurlah bahwa kita pernah menjadi anak dan dididik dalam panti pendidikan seminari yang istimewa.”


[1] Istilah yang sering kami kapai untuk menggambarkan wajah merah seseorang karena menahan malu. Merah seperti tomat masak.
[2] Daging anjing yang dimasak campur dengan kelapa parutan
[3] Rumah Ret Ret , persis di seberang jalan, berhadapan dengan seminari kami
[4] Tugas mengawasi siswa belajar sore dan malam
[5] Sebenarnya “teror” berangkat dari kebiasaan OSIS mempermalukan teman-teman lainnya yang kedapatan menyimpang dari kebiasaan atau aturan asrama. Layaknya seorang penjahat perang, pelaku indisipliner diminta berdiri di muka umum. Biasanya di kamar makan pada saat jam makan. Setelah si pelaku berdiri, satu per satu perbuatan salahnya itu ditelanjangi di depan umum. Semua anggota asrama lantas tahu. Cap atau stempel negatif sudah tentu dihujatkan. Malu memang. Sangat malu. Terpukul. Apalagi untuk teman-teman yang terlibat dalam kelainan orientasi seksual itu.

Saya dan Para Guru


Sidang dewan guru pertama kali di tahun ajaran baru. Beda sekali warnanya dengan sidang akhir tahun. Tahun ajaran baru selalu ada semangat baru. Ada perubahan-perubahan. Konsolidasi. Semua guru menyumbangkan pikirannya demi kemajuan siswa dan seminari. Ada juga yang mengungkapkan kesan-kesan di tahun ajaran lalu. Disusul dengan evaluasi dan saran. Ada yang menyatakan target untuk tahun ajaran baru ini. Pokoknya semua mengarah pada tekad dan semangat baru.
Saya duduk bersebelahan dengan Mr. Stef. Mantan guru bahasa Inggris saya. Seingat saya hanya beberapa orang yang fasih bahasa Inggris untuk angkatan kami. Saya termasuk yang pas-pasan. Bukan karena saya tidak mampu. Bukan juga karena bahasa Inggris tidak menjadi minat saya. Rasanya stres, karena tidak mampu menguasai bahasa Inggris dengan baik. Kosa katanya, grammarnya, apalagi speaking dan listening. Semua seperti buta. Padahal semangat begitu kencang untuk dapat menguasainya.
Sejarah bahasa Inggris yang buruk itu dipengaruhi oleh guru kami yang tidak berkompeten. Kelas satu sampai setengah semester kelas dua, kami ditangani oleh guru yang buruk. Bahasa Inggris adalah pelajaran percakapan, mengafal kata-kata, tanpa pemahaman dasar grammar yang jelas. Semua kelihatan tidak masuk akal. Tidak bisa dipahami.
Keluhan demi keluhan mengalir. Bukan saja dari kami, tetapi juga dari guru-guru lain. Inggris mundur untuk angkatan kami. Kepala sekolah turun tangan. Dan cek punya cek, kesalahan bukan ada pada kami. Guru Inggris kami diminta pertanggungjawaban. Dan entah dengan mekanisme apa, guru Inggris kami itu akhirnya dipindahtugaskan.
Kelas tiga kami ditangani Mr. Stef. Ada perubahan. Tapi tidak mengurangi kekawatiran kami mengikuti ujian akhir. Terpaksa kami autodidak. Beli buku Inggris lalu SKS (Sistem Kebut Semalam). Mujur bahwa kami lulus. Entah dari mana pertolongan itu datang. Mungkin juga Roh Kudus. Inggris yang menakutkan itu kami lalui dengan enteng. Hanya kami sendiri malu. Inggris yang menjadi kebanggaan Seminari, nampak tinggal masa lampau untuk angkatan kami. Kami sendiri benar-benar kecewa.
Kelas empat sampai kelas lima, kami masih ditangani Mr. Stef. Perubahan yang kami harapkan belum mencapai maksimal. Dasarnya memang kami buta grammar. Karena itu, kurang percaya diri. Kurang yakin. Padahal, omong Inggris butuh kepercayaan diri. Pendasaran harus kencang. Saya sendiri begitu ngotot. Berusaha keras. Belajar dari teman-teman yang lebih paham. Namun kemajuan itu hanya sedikit.
Kelas enam, kelas terakhir, kami dibimbing oleh guru senior. Tangan dingin guru ini sudah melahirkan banyak siswa yang handal Inggris. Cas cis cus. Mr. Cleopas. Gigi ompong, ramput putih, logat Manggarai, dan kuat ngeledek alias de’i. “Penampilan oke, jam tangan, sepatu mengkilat, rompi adat, tapi beli kampus Echols tidak bisa!” demikian guru kami itu selalu mengolok-olok kami. “Andalkan kamus sepuluh ribu kata!”, tambahnya pula.
Di tangannya, beberapa siswa bisa maju. Saya sendiri punya kemajuan. Tapi sedikit. Bahkan kesimpulan guru kami ini, “angkatan kami Inggris rusak parah!” Kembali kami menjadi tidak percaya diri. Kejayaan masa lampau hanya cerita manis dan tidak bisa kami ulang. Lagi-lagi Inggris menjadi sandungan kami. Kecemasan di ujian akhir. Minta bantuan Roh Kudus. Dan kami kembali lulus. 69 orang di kelas enam. 100%.
Di kelas enam sebenarnya saya sudah diplot ke jurusan IPA. Tetapi saya lebih tertarik dengan sosiologi, antropologi, tata negara, dan ekonomi. Karena itu, saya minta untuk dipindahkan ke kelas IPS. Jadilah saya anak kesayangan Ibu Martina Moi. Ibu guru ekonomi kami. Ibu yang selalu rajin memberikan kami ulangan. Sekalipun kami tidak siap. Ibu yang khas dengan sapaan rutin kalau masuk kelas. Dari les ke les. Hari ke hari. Turun temurun. Dari angkatan ke angkatan. “Selamat pagi, silahkah duduk, ambil kertas, nomor satu, langsung jawab”. Siswa IPS sudah luar kepala dengan sapaan ini.
Saya ketemu kembali dengan Ibu Martina, jelang pertemuan guru. Ibu nampak kaget. Sudah sekian tahun tidak ketemu. Ibu bilang saya banyak perubahan. Dan saya bilang, “Ibu tidak berubah”. Masih seperti yang dulu. “Bantu Ibu mengajar ekonomi. Ibu sudah tua!” katanya kemudian. “Semua tergantung kepala sekolah. Kami tinggal ikut.” Kata saya kemudian.
Kelas IPA juga punya ibu favorit. Namanya Ibu Sil. Spesifikasi bidang studi Kimia dan Biologi. Saya sendiri pernah bertemu Ibu Sil di kelas lima. Pelajaran Biologi. Ibu yang satu ini terkenal “sadis” alias “tukang teror”. Semua siswa pernah merasakan dibantai Ibu Sil. Maksudnya dengan kata-kata. Tapi kami kagum. Penguasaan ilmunya luar biasa. Nampak sekali cerdasnya. Kami benar-benar beruntung dibimbingnya.
Biologi juga pelajaran favorit saya. Apalagi soal anatomi dan kosmologi. Mempelajari anatomi itu sama saja membedah sebuah sistem. Benar-benar menakjubkan. Tidak ada satu pun yang nampak kurang. Semua begitu tersusun secara ajaib dengan fungsinya masing-masing. Demikian juga dengan kosmologi. Keseimbangan alam. Rantai makanan. Jaring kehidupan. Saya sendiri begitu kagum dengan kerja alami. Yang oleh agama disebut sebagai “ciptaan”. Betapa luar biasanya karya Tuhan. Semua sepertinya sudah terpikirkan dengan begitu rapi.
Saya baru menyadari betapa pentingnya Biologi sewaktu di kelas empat. Pak Yustinus yang mengilhami saya keindahan Biologi itu. Dengan gaya yang “lucu kering”, sudah buat lucu tapi tidak pernah ketawa, Pak Yustin memberikan kami visi kehidupan yang total dan seimbang. Gaya mengajarnya membuat kami yakin bahwa tidak ada yang keliru dengan ciptaan ini. Saya sendiri sungguh menyadari nilai itu. Kesadaran itu muncul bersamaan dengan perasaan keindahan saya yang menggebu-gebu. Segala sesuatu ternyata sangat teratur dan seimbang. Istilah saya waktu itu, “Tidak ada tempat yang salah”. Kecuali kalau sudah ada campur tangan manusia yang berlebihan. Bahkan merusak. Menggunakan secara semena-mena. Tidak ada tanggung jawab ekologis.
Guru lain yang secara khusus meminta saya untuk membantu mata pelajarannya adalah Bapak Guru. Sejak dari pertama kami masuk seminari, Bapak Mikhael Remi, nama aslinya, meminta kami memanggilnya dengan Bapak Guru. Dia adalah guru bahasa Indonesia kami. Guru menulis saya. Guru orator saya. Guru logika. Guru diskusi. Guru debat. Dan guru imajinasi saya. Wajar saja kalau beliau meminta kesediaan saya. Ini sebuah penghormatan luar biasa. Bahwa seorang guru yang saya kagumi, dengan rendah hati mengajak saya untuk berbagi ilmu bahasa Indonesia. Saya sama sekali tidak bisa menolak. Tetapi semua tergantung kepala sekolah.
Saya memang sangat menonjol di pelajaran bahasa Indonesia. Nilai tertinggi di rapor saya selalu bahasa Indonesia. Dalam setiap kali lomba menulis, saya pasti juara satu. Jurinya, Bapak Guru. Dan beliau kenal betul dengan kemampuan saya. Jalan pikiran saya. Bentuk kebahasaan saya. Dia juga tahu potensi alami yang ada pada diri saya. Akan menjadi apa saya nanti. Kalau mau ditanya, guru mana yang paling membekas di hati, yang paling berpengaruh dalam hidup saya sekarang, saya tentu akan menjawab dengan jujur, Bapak Guru.
Tanpa mengecilkan peran guru yang lain, Bapak Guru-lah yang justru selalu mengingatkan saya akan jasa besar Seminari Mataloko dalam sejarah hidup saya. Dalam diri Bapak Guru saya menemukan peran besar Seminari Mataloko yang telah menempa saya bertahun-tahun lamanya. Kenangan akan Bapak Guru juga menjadi cerita penuh syukur, rahmat terbesar, yang tidak bisa saya balas, meskipun dengan uang bermiliaran rupiah. Diri saya, seperti apa saya sekarang, merupakan hasil rajutan yang sempurna dari tangan ahli sang Bapak Guru dan komunitas Seminari. Mereka selalu menjadi inspirasi dan terang yang selalu saya bawa, di mana pun saya berada.
Saya mendapat tugas mengajar Agama, Sejarah, Bahasa Latin, dan Keterampilan. Kami memang tenaga siap pakai. Di mana ada kekurangan guru, di situ kami dipakai. Suka atau tidak suka, bisa atau tidak bisa, kami mesti ambil risiko itu. Sedikit mengecewakan. Saya pikir bisa bantu Bapak Guru. Atau paling tidak Ekonomi. Semua perkiraan meleset. Apa boleh buat.
Agama memang bukan bidang studi yang susah. Tidak ada soal. Selain bahasa Indonesia, saya juga menonjol di Agama. Tokoh yang selalu menjadi inspirasi saya adalah Yesus. Ketika saya diharuskan untuk mengajar agama, saya berpikir sharing pengalaman merupakan metode yang paling efektif untuk pelajaran ini. Kesempatan yang saya tunggu-tunggu itu datang. Yaitu saya bisa berbagi pengalaman iman dengan adik-adik saya. Mereka harus tahu bahwa tempat favorit saya di sini adalah tabernakel, di depan Hati Kudus Yesus.
Guru sejarah saya adalah Bapak Agus Retu. Orangnya sangat idealis. Politikus tulen. Pantang menyerah. Sederhana. Nilai tertinggi yang pernah saya raih untuk pelajaran ini, yaitu 8,8. Ini nilai tertinggi, mungkin untuk semua siswa. Siswa lain paling cuma dapat 7. Guru yang satu ini selalu punya kriteria penilaian yang lain dari yang lain. Sebab yang ditekankan bukan soal mengapal tokoh, peristiwa, tanggal-tanggal bersejarah, tempat-tempat bersejarah, atau kronologi peristiwa, melainkan soal sikap kritis, penalaran, dan logika. Banyak siswa yang kurang paham kemauannya. Atau mungkin juga tidak mampu menyesuaikan diri dengan standarnya. Karena itu, selalu anjlok nilainya.
Saya suka cara mengajarnya. Cara berpikir dan penalarannya. Sistematikanya lugas dan tegas. Tanpa memberi ruang yang terlalu banyak bagi “tindakan penipuan” sebuah sejarah. Karena itu, sisi-sisi sejarah yang ditampilkannya adalah mengupas hakikat dari sebuah kebenaran dan keadilan. Bukan sekedar mengingat sejarah masa lampau. Bukan sekedar menghormati masa lalu. Tetapi berjuang untuk memperbaiki dan melampaui masa lalu. Karena itu, Bapak Agus Retu adalah pelopor kami, perintis kami. Dia membuka mata kami untuk menelanjangi sejarah negeri ini secara jujur dan terang. Lebih dari itu, dia memupuk kami untuk selalu bersikap kritis, mencari dan mengupas kebenaran sampai ke hakikat yang paling dalam.
Generasi kami, bahasa Latin bukan lagi menjadi pelajaran utama. Bau yang menakutkan dari bahasa Latin memang sempat tercium. Angkatan di atas kami mungkin masih merasakan keangkeran pelajaran ini. Lima di Bahasa Latin, tanpa kompromi, kami di”cedok” alias keluar. Ini akibat campur tangan pemerintah. Khususnya dalam hal kurikulum. Bahasa Latin bukan lagi pelajaran yang menentukan.
Sekalipun demikian, bahasa Latin punya andil besar dalam sejarah hidup saya. Pelajaran ini menjadi “olahraga pikiran” yang menyehatkan. Sama seperti tubuh yang butuh kebugaran. Bahasa Latin adalah kebugaran dalam berpikir. Menuntun logika. Sistematis. Jelimek. Analitis. Juga moralis dan artistik. Kalau mau disamakan, mempelajari bahasa Latin seperti mempelajari strategi bermain catur. Kita dipacu untuk berpikir tepat dan cepat. Menganalisa keadaan. Tujuan. Dan mengambil keputusan dengan menentukan langkah secara elegan.
Karena itu, pelajaran ini menjadi hobi saya. Tidak pernah tidak menarik. Dan bukan merupakan sesuatu yang menakutkan. Apalagi pesan-pesan moral, keterampilan berbicara, berpidato, singkatnya retorika orang Roma dapat saya pelajari dari karya-karya besar penulis Latin. Kadang seperti melahap sebuah dongeng. Indah, menawan, namun universal dan perrenis. Dalam bidang studi ini, saya juga sangat menonjol. Nilai sempurna selalu saya raih untuk bidang studi ini. Demikian sumbangan terbesar bahasa Latin.
Saya tidak pernah melupakan jejak-jejak pembelajaran saya di seminari. Saya juga tidak egois. Toh dengan memberi saya menjadi kaya. Karena itu, semua yang rasa rasakan, saya alami, saya tahu bermanfaat besar untuk kehidupan saya sekarang dan di masa datang, saya curahkan sepenuhnya untuk adik-adik, anak didik saya. Mereka pantas menerimanya. Rahmat cuma-cuma dan anugerah istimewa yang sudah saya rasakan selama saya ditempa di seminari ini mesti saya bagikan secara tuntas. Itu tekad saya, ketika saya dipercayai untuk melanjutkan karya pendidikan di seminari ini.
Sebenarnya siapa saya dan akan menjadi apa saya sekarang sudah begitu jelas menyembul dalam memori kehidupan saya di seminari. Gambar diri saya itu nampak begitu terang. Seperti serial Harry Potter. Karakter, penokohan, sifat, dan bakat pesulapnya sudah tertulis habis di cerita pertama. Kisah-kisah pada buku selanjutnya hanya merupakan petualangan dari semua yang dikenal pada buku pertama. Dan seminari adalah buku pertama kehidupan saya. Selanjutnya adalah petualangan saya, seperti orang mengenal saya di tempo dulu itu.
Bukan merupakan sebuah kebetulan saya kurang menyukai ilmu berhitung. Fisika lebih-lebih. Hitungannya membuat saya pusing. Susah masuk diakal. Padahal guru fisika kami waktu itu hebat-hebat. Mencetak siswa dengan kepandaian berhitung dan menganalisis di atas rata-rata. Lebih cepat dari calculator. Dia juga suka humor.
Di Matematika saya juga kurang menonjol. Ada teman saya yang sangat pintar. Panjang akalnya. Satu rumus tidak bisa digunakan, ada rumus lain. Satu jalan tidak ketemu, ada jalan lain. Matematika dan Fisika baginya seperti bermain petak umpet. Dan dia menjadi penemu paling sukses.
Saya hanya suka mengambil teori-teorinya. Logika-logikanya. Malas menghitung. Teori-teori itu biasanya saya kaitkan dengan pengalaman sehari-hari. Aritmatika, deret ukur, gaya gravitasi, teori Kepler, Newton, termodinamika, pegas, kecepatan, percepatan, semuanya adalah pembelajaran isi alam. Kalau ditelusuri, nampak begitu teratur, serasi, indah dalam sebuah persesuaian.
Karena itu, teman-teman seangkatan saya selalu bilang kalau saya punya daya analisis yang tajam. Logika tak terbantahkan. Gaya menulis yang unik. Selalu ada alasan. Selalu punya jawaban. Teknik debat dan oratorial yang persuasif. Tak tersanggahkan. Jiwa seni sampai ke tulang-tulang. Mungkin juga ke bulu-bulu.
Teman-teman selalu takut kalau saya sudah mulai berbicara di forum diskusi debat, Akademi St. Agustinus. Sebuah forum asah pendapat dan diskusi ilmiah. Kalau saya jadi panelis, pasti tidak terbantahkan. “Percuma”, kata teman-teman. Giliran saya jadi peyanggah, “mati kutu!” Kalau masalah tidak terselesaikan, saya menjadi titik fokus. Pasti ada “second opinion”. Dan masalah selesai. Saya tumbuh menjadi “harimau corong”, siap mangsa kawan dan lawan. Dan inilah diri saya. Bertumbuh dari tangan telaten para guru.
***
Pertemuan guru memasuki tahap pembagian wali kelas. Dipercayakan pada guru-guru senior. Juga untuk yang pegawai negeri. Katanya bisa menambah kredit point. Buat naik pangkat dan gaji. Nasib guru memang tidak selalu sebanding dengan jasanya. Susah naik pangkat. Gaji kecil. Tetapi pengorbanannya luar biasa besarnya. Karena itu, perlu pintar-pintar mengakalinya. Ada kesempatan yang bisa mendongkrak pangkat dan gaji, langsung saja disabet. Seminari memberikan peluang untuk itu.
Soal gaji juga selalu menarik. Banyak guru swasta dan yayasan yang sudah mengabdi sekian tahun di seminari, mengadu nasib jadi pegawai negeri. Mereka memang guru-guru unggul. Susah dapat guru seperti mereka. Tapi Seminari juga tidak bisa membendung niat mereka. Maklum, gaji guru di Seminari belum bisa menjamin masa depan keluarga para guru. Bukan soal memupuk kekayaan. Bukan juga soal status di tengah masyarakat. Tapi soal tuntutan hidup, kelayakan, dan masa depan. Dan Seminari harus mengakui bahwa standar gaji di Seminari belum cukup untuk menjamin kelayakan itu.
Syukurlah bahwa pemerintah juga tidak tutup mata. Guru-guru itu, sekalipun sudah menjadi pegawai negeri dan siap ditempatkan di mana saja, toh akhirnya kembali juga ke Seminari. Kerjasama yang apik. Tapi juga sudah sepantasnya. Sumber daya manusia yang berkiprah di ajang pemerintahan lokal sebagian besar merupakan produk Seminari. Kiprah mereka yang begitu menonjol, membuat warna tersendiri bagi peran besar Seminari untuk masyarakat luas. Dari perut yang sama, lahir begitu banyak pemimpin yang menonjol di kalangan masyarakat.
Kadang saya gelisah. Nasib guru itu tidak pernah sama-sama gemilang dengan mantan-mantan muridnya. Rata-rata murid-muridnya suskes. Bahkan sangat kaya. Hidup bergelimpangan uang. Tapi penjasa mereka itu tetap saja hidup dalam kondisi “dari dulu sampai sekarang”. Sudah banyak seruan untuk mengupayakan sebuah “penghargaan” yang setimpal dengan jasa para guru itu. Namun baru sebatas kata. Belum ada gerakan “balas budi” itu. Semoga tulisan ini juga merupakan sebuah seruan sekaligus ajakan ber”balas budi”.
Satu yang saya pelajari dari para guru ini. Kesabaran dan keikhlasan tanpa batas. Juga terhadap kenakalan-kenakalan kami. Pernah sekali kami dihukum harus mengepel seluruh ruangan yang ada di SMP. Akibat kesalahan fatal kami. Les kosong. Artinya tidak ada guru yang masuk atau karena memang tidak ada pelajaran. Supaya terlihat mengkilat, lantai kami lumuri dengan lilin. Kami gosok-gosok dengan sepatu. Pekerjaan seperti ini selesai barang lima belas menit. Kami tidak menyadari bahwa selain lantai mengkilat, juga menjadi licin.
Selang 30 menit kemudian, les matematika. Ibu Agus. Sudah tua memang, tapi terus saja mengabdi sebagai pengajar. Ibu Agus termasuk salah satu guru senior. Katanya, hanya berbekal ijazah SMU. Tapi kalau soal matematika, tidak diragukan lagi kemampuannya. Spesialisasinya, deret ukur, deret angka, peluang, logaritma, dan bangun bersegi. Berhadapan dengan ibu yang satu ini, kami seakan-akan dipacu dalam sebuah test IQ.
Dari sudut lorong kelas kami, Ibu Agus nampak berlangkah dengan sangat hati-hati. Tumpuan dan keseimbangan tubuhnya sudah mulai goyah. Kelas nampak tenang. Semua duduk rapi. Tidak ada yang bisa merasakan sesuatu bakal terjadi kemudian. Pintu kelas dibuka. Kami memberikan ucapan selamat. Ibu Agus masuk dengan hati-hati. Selangkah dua langkah. Sampai mendekati podium guru, sesuatu terjadi. Ibu Agus terpeleset. Jatuh. Untung saja Ibu Agus mampu menggapai meja guru. Jadi tidak benar-benar jatuh.
Lantai licin memakan korban guru tua itu. Ibu Agus nampak sangat marah. Ulah kami berbuah keburukan. Kemudian Ibu Agus meninggalkan kami. “Tidak ada les matematika hari ini dan seterusnya”, kata Ibu Agus. Kami tidak bisa berbuat banyak. Diam. Kaku. Kemudian kami berunding. Ujung-ujungnya staf kelas jadi sasaran. Tanggung jawab kelas sepenuhnya menjadi tanggung jawab staf kelas. Mau tidak mau, staf kelas mesti minta maaf atas perbuatan kami.
Terlambat. Perbuatan kami sudah sampai di telinga kepala sekolah. Dari kepala sekolah ke telinga perfek. Masalah melebar dan menjadi ruwet. Kami pasti didamprat habis-habisan. Benar. Makhluk yang paling kami takuti itu kini menuju ke kelas kami. Di belakangnya, staf kelas menguntit seperti bulan kesiangan. Pucat. Seolah tidak ada darah. Kami sudah pasrah. Hukuman apapun akan kami terima. Yang penting jangan sampai makan korban. Dikeluarkan. Ini perbuatan bersama. Tanggung jawab bersama. Tidak ada yang boleh menjadi kambing hitam.
Ketika ditanya soal perbuatan ini, kami diam saja. Tidak ada yang mau mengaku. Perfek bertambah geram. Kami dinilai kompak dalam hal yang tidak baik. Tidak ada yang jujur. Semua pembohong. Tidak layak jadi calon imam. Ketua kelas pun ditanyai. “Saya sendiri tidak tahu siapa yang mulai. Hanya saja saya lihat semua ramai-ramai melicinkan lantai dengan lilin”, kata ketua kelas. “Termasuk saya”, tambahnya pula. Perfek sudah tidak mampu lagi menampung emosinya. Saya rasa kalau dia bertahan dengan kondisi seperti ini sekitar setengah jam, kami bakalan dapat pukulan.
Dua jam pelajaran matematika kami benar-benar tegangan tinggi. Terasa di ujung tebing. Tinggal sedikit nyawa copot dari tubuh. Sedikit lega, kami hanya mendapat hukuman. Yaitu, mengepel seluruh ruangan yang ada di SMP. Plus permintaan maaf seluruh anggota kelas, tanpa kecuali ke rumah Ibu Agus. Pekerjaan mengepel harus dimulai setelah jam makan siang berakhir. Tanpa istirahat. Dan harus selesai sebelum jam belajar sore. Kalau belum selesai, dilanjutkan esok harinya.
Sewaktu kelas satu, saya sendiri pernah dapat strap dari guru ekonomi. Bukan Ibu Martina, tetapi Pak Sely Raga. Orangnya memang galak. Kalau mengajar, kepala kami selalu jadi sasaran empuk. Diketok pakai penghapus. Kalau tidak kepala, berarti pipi. Pipi kami dilepoti kapur. Bekas putih muncul di mana-mana. Seperti ketumpahan bedak. Lebih tepat, mirip badut. Lucu. Tapi kami tidak boleh ketawa.
Urusan saya dengan guru ekonomi ini bermula dari rambut saya yang sudah panjang. Rambut saya memang lurus. Jatuh ke muka. Susah diatur. Ini menjadi gangguan serius. Harus dibasmi. Saya diperingati supaya memotong pendek rambut saya. Jangan sampai terlalu panjang dan jatuh menutupi dahi. Peringatan itu tidak saya gubris. Karena saya merasa sudah enjoy dengan model rambut saya itu.
Les berikut, saya pikir Pak Sely sudah lupa dengan peringatannya. Petaka datang. Sebelum les, Pak Sely mencari sebuah gunting. Saya sudah berprasangka buruk. Rambut saya pasti akan dipotong. Kenyataannya memang benar. Tanpa ampun, rambut saya memang langsung diobrak-abrik. Tidak peduli ini model jalan tikus, atau sarang tawon. Tinggi pendek, lubang kiri kanan, botak atas bawah, semua menjadi satu di kepala saya. Untunglah kemudian masih bisa dipermak. Lebih pendek dari biasa. Bahkan menurut saya sangat pendek. Polisi abis!
Ada juga kisah yang jorok. Teman saya ini terkenal “tukang kentut”. Baunya seperti tikus mati. Kalau si “dia” sudah kentut, seluruh ruangan kelas bisa tercemar. Bau menyengat. Mungkin, tidak beol tiga hari. Diimbangi dengan tingkah nakalnya, gas beracun dan berbau amis itu disimpan rapat-rapat di sebuah kaleng bekas susu Dancow. Persisnya, pantat diarahkan tepat pada kaleng Dancow. Setelah angin dilepas, kaleng itu cepat-cepat ditutup. Selayaknya tabung elpiji. Kami sendiri tidak tahu apa maksudnya. Kami hanya berpikir, ini bagian dari kenakalan seorang siswa.
Tiga hari lamanya gas beracun dan berbau amis itu disimpan dalam kaleng Dancow. Tiba les ekonomi, kami diminta duduk per kelompok. Masing-masing kelompok lima sampai enam orang. Setiap kelompok diberi soal. Kami diharapkan menyelesaikan soal itu sampai tuntas, kemudian satu per satu akan dipertanggungjawabkan di depan kelas. Semua pada serius. Cuma satu kelompok yang tidak serius. Yaitu kelompok si “dia” itu.
Ibu guru berjalan dari satu kelompok ke kelompok lain. Memastikan bahwa kami benar-benar sedang mengerjakan tugas atau buat yang lain. Kelompok satu, kelompok dua, kelompok tiga. Semua bekerja dengan serius. Hitung-hitung juga buat persiapan ujian akhir. Baru saja mau mendekati kelompok si “dia”, secara tiba-tiba Ibu mundur. Seakan-akan kabur dari hadapan kelompok si “dia”. Sambil menutup hidung. Kemudian disusul dengan bau menyengat. Kami semua pun kabur dari ruang kelas. Mencari udara segar.[1]
Kalau les pertama sampai ketiga matematika, kami punya taktik. Supaya jam pelajaran berkurang, kami menyetel ulang jam dinding di kelas kami. Lebih cepat lima belas menit. Guru selalu berpatokan pada jam dinding. Dan tidak tahu kalau jam sudah kami atur lebih cepat. Lumayan. Walau cuma lima belas menit. Potong jam doa pelajaran dimulai. Bisa jadi dua puluh sampai dua puluh lima menit. Sudah doanya panjang, kami juga biasa menyanyikan sebuah lagu pujian. Bisa sampai tiga empat ayat. Setelah masing-masing, reffrein selalu dinyanyikan. Jadi bisa potong waktu sampai sepuluh menit.[2]
Atau kalau lesnya menjemukan, secara sembunyi-sembunyi kami mengerjakan hal lain. Seperti baca novel, komik, atau meditasi tertulis. Ada juga yang tulis surat. Siasatnya seperti ini. Semua buku di laci meja ditumpukan di atas meja. Benteng buatan itu memang ada maksudnya. Sebagai penghalang pandangan mata guru. Kemudian buku paket pelajaran bersangkutan ditegakkan. Sepertinya sedang serius membaca sambil mendengarkan pelajaran. Tidak tahunya, di dalam buku pelajaran itu ada buku lain, seperti novel, atau komik. Atau pura-pura sedang menulis. Meringkas. Padahal yang dikerjakan adalah meditasi tertulis harian. Tugas asrama yang selalu dikumpulkan setiap hari.
Ada guru yang tahu tingkah laku kami. Tanggapannya pun berbeda-beda. Ada yang langsung meradang marah. Ada yang sengaja membiarkannya. Ada yang menegur secara halus. Semuanya bermuara pada kesadaran kami sendiri. Bahwa perbuatan yang kami lakukan tersebut sebenarnya tidak baik. Kurang menghormati orang lain. Melecehkan guru bersangkutan. Jadi kebiasaan, kami tumbuh menjadi siswa yang tidak mau mendengarkan orang lain. Sok pintar. Ngotot walaupun salah. Terbiasa dengan prilaku menyimpang. Tidak konsentrasi. Kontradiksi. Tumpang tindih. Dan ini yang tidak diinginkan semua guru.
Baru saya rasakan sendiri. Ternyata jadi guru itu tidak mudah. Memang butuh kesabaran dan ketabahan. Pikiran anak-anak tidak selalu sama dengan pikiran kita. Ulah anak-anak itu menjengkelkan, sakit hati. Ada anak yang daya tangkapnya lemah. Diberi penjelasan berulang-ulang juga tidak mengerti. Tertantang tapi juga menjengkelkan. Pelahan-lahan. Diajarkan lagi. Dengan segala cara dan metode. Juga tidak mengerti. Putus asa. Dibiarkan saja dengan kemampuan yang ada. Kasihan. Iba. Mulai lagi. Pelan-pelan. Sampai mengerti.
Kalau yang cepat tangkap, kita bangga. Ada godaan untuk “memanjakan” yang pintar. Tapi itu salah. Tidak boleh. Tidak sehat untuk perkembangan anak-anak. Ada juga yang kritis. Suka menyela. Suka debat. Sekalipun dengan pengetahuan sepotong. Mati-matian. Berkelahi dengan logika. Tidak mau menyerah.
Ada yang memang benar-benar malas. Sama sekali tidak mau berusaha. Selalu ingat rumah. Mau dimanja. Menarik perhatian. Cari muka. Suka lapor kesalahan teman lain. Egois. Tidak mau bekerja sama. Sombong. Sebaliknya, ada juga yang selalu minder. Rendah diri. Pemalu. Lugu. Polos.
Semua adalah bagian dari ujian terhadap kesabaran, keikhlasan, dan kerja keras saya.
Pertemuan guru berakhir pukul 14.30 WITA. Semua sudah pada lapar. Setelah pertemuan selalu ada makan bersama. Menu tetap, ayam goreng, mie goreng, sayur sawi, juice, atau puding. Kebersamaan di ruang makan. Korps para guru. Menyisakan senda gurau di balik tembok seminari.
Terima kasih guruku. Kalian adalah bagian dari anugerah terbesarku.*
Permenunganku:
“Nasib guru memang selalu tidak sebaik muridnya. Pilihan hidup menjadi guru adalah kesadaran untuk mengabdi secara tulus, tanpa pamrih, hidup pas-pasan. Padahal, kalau mau dihitung jasa-jasanya, pengabdian seorang guru mempunyai nilai yang tidak terkirakan, tidak dapat dibalas dengan cara dan bentuk apapun. Mulia. Karena yang dicerdaskan adalah manusia. Humanisasi. Sebuah pekerjaan demi kebaikan dan kemajuan. Sama dengan pekerjaan Sang Pencipta. Mengajar, mengingatkan, membentuk, menobatkan, dan memberikan jalan, terang, dan kebenaran itu sendiri. Satu yang pasti, tempat guru adalah di surga”.



[1] Saya teringat akan Tan Lape. Ulah ini memang khas si jangkung yang punya bakat di musik. Tan Lape kapan-kapan kita ulangi lagi kenakalan ini.
[2] Kelas III IPS, ada-ada saja taktikmu.

Saya dan Para Pembina


Bus Surya Agung yang saya tumpangi berjalan begitu cepat. Sore, sekitar jam empat, saya sudah tiba di Mataloko. Ini sebuah kemajuan zaman. Teringat waktu masih menjadi siswa dulu. Siswa Maumere pasti datangnya paling telat. Saat semua siswa sudah pada tidur. Atau pas doa malam. Jalan selalu rusak. Jadi kami ektra hati-hati.
Surya Agung dari dulu sudah menjadi langganan tetap. Pulang Surya Agung, datang juga Surya Agung. Sampai-sampai bus-bus lain seperti Sayang Indah pada cemburu. Sekali waktu mereka mogok. Bukan mogok jalan tetapi tidak mau menerima titipan atau kiriman orang tua siswa asal Maumere. Sampai pada liburan berikut, kami kemudian bersikap adil. Kami pakai dua-duanya. Satu Surya Agung dan satu Sayang Indah. Supaya tidak ada lagi yang ngambek atau mogok. Bisa berabe juga. Soalnya urusan perut, duit, dan komunikasi tidak bisa ditunda-tunda. Kalau mau cepat, ya mesti lewat bus-bus ini.
Tempat tidur sudah diatur rapi. Bantal, kasur, selimut, meja, lemari. Kain jendela sudah dipasang dan kelihatan baru. Lampu sudah diperbaiki. Kamar mandi sudah bersih. Cuma saya perlu menambah beberapa aksesoris. Supaya betah. Juga supaya lebih menarik. Jangan sampai tidak ada yang mau masuk kamar saya. Sebuah kecelakaan besar kalau sampai orang takut masuk kamar saya. Saya juga suka pernak-pernik. Hias sana hias sini. Taruh bunga sana dan sini. Balik meja, atau kursi supaya kelihatan tampil beda. Ini gaya saya. Klasik tapi postmodernisme.
Cepat-cepat saya mandi. Kalau telat, wah...kayak mandi di kolam es. Dinginnya minta ampun. Ada juga beberapa siswa yang sudah datang. Mereka nampak heran. Ada juga yang tersenyum-senyum. Ada yang lihat sembunyi-sembunyi. “Ini frater baru kita ko...galak tidak?”.
Segar. Bau keringat dan rasa capek perjalanan hilang seketika. Nikmat memang kalau habis mandi. Terasa dunia ini milik sendiri. Kalau tidak, tubuh sepertinya ditusuk seribu jarum. Gatal-gatal. Panas sekujur. Sangat tidak nyaman. Saya sendiri heran, ada teman saya yang jarang mandi. Sepertinya pekerjaan mandi itu berat dan menguras banyak tenaga. Padahal tinggal gayung air dan sabunan, terus basuh. Tapi itu bukan pekerjaan mudah baginya. Masuk kamar mandi saja pakai hitungan jari, apalagi mau mandi. Jalan tengahnya, semprot parfum banyak-banyak. Jarak satu kilometer, kita pasti sudah bisa tahu, yang di sana itu tentu “makhluk yang jarang mandi itu”. Sumpah. Tidak tahu kenapa. Katanya, bawaan bayi.
Setelah mandi, bereskan kamar sebentar lalu saya putar-putar seminari. Mengenang masa silam. Pertama saya bergerak menuju ke kelas-kelas. Sengaja saya lewat halaman tengah. Menikmati bunga-bunga yang ada. Nampak indah dan segar. Ada bunga aster, mulut singa, mawar, dahlia, pukul sembilan, sampai bunga tahi ayam. Baunya, memang seperti tahi ayam. Bunga itu selalu menjadi pilihan terakhir. Kalau semua bunga lain tidak bisa hidup dengan baik di taman, bunga tahi ayam menjadi pilihan satu-satunya. Soalnya bunga yang satu ini cocok dengan segala kondisi tanah.
Saya teringat, taman depan kamar Romo Prefek alias bapa asrama itu pernah menjadi taman saya. Saya suka bunga mawar, aster, dan beberapa jenis bunga lain yang saya sendiri sudah lupa namanya. Setiap hari saya selalu menyiramnya. Sama seperti manusia yang membutuhkan air dan makanan, bunga juga butuh itu. Kalau ada dahan atau ranting yang kering, saya bersihkan. Rumput liar tidak saya biarkan membesar. Sedikit saja ada rumput liar, pasti sudah saya bersihkan.
Bunga punya masa bertumbuh, berbunga, kemudian layu dan mati. Pada masa-masa bertumbuh, dari pembibitan menuju masa berbunga, perlu ekstra perhatian. Kalau tidak, bisa jadi bunga tidak akan tumbuh sempurna, tidak akan pernah ada bunga, bahkan ada yang kerdil dan mati. Karena itu, sebelum menanam, tanah harus diolah dulu. Diberi pupuk kalau memungkinkan.
Saya sendiri paling rajin memberi pupuk pada lahan, tempat bunga itu mau ditanam. Pupuk alami. Saya ambil dari Tanjung.[1] Di sana kan banyak tahi sapi dan bekas dedak yang sudah menjadi tanah subur. Kompos. Karena tahi sapi itu terdiri atas rumput-rumputan yang sudah diolah terlebih dahulu di perut sapi. Keluar sebagai tahi dan tercampur dengan tanah. Mengalami masa penghancuran bersama bakteri dalam derajat suhu tertentu. Dan kemudian untuk masa yang lama, pupuk kompos itu siap dipakai. Sama halnya juga dengan dedak makanan babi. Prosesnya tidak terlalu jauh beda.
Semula saya merasa jijik. Tapi kemudian saya berpikir, ini kan alamiah. Sama seperti tubuh kita yang alamiah. Karena itu, saya ambil itu pupuk dan saya sebarkan atau campurkan bersama tanah di taman saya. Saya olah menjadi lahan basah siap tanam. Dibiarkan seminggu supaya tanah bisa beradaptasi dengan kondisi barunya. Kemudian tanah siap ditanami bunga.
Metode seperti ini ternyata berhasil. Bunga-bunga mengalami perkembangan pertumbuhan yang menyenangkan. Akar-akarnya kuat, batang-batangnya berisi, daunnya segar, dan tiba saat berbunga, bunga-bunganya begitu indah.
Ada perbedaan dalam merawat bunga. Ada bunga yang susah waktu menanam dan merawat, tapi kemudian bertahan lama, dan terus berbunga. Ada juga yang mudah ditanam dan dirawat, tapi tidak bertahan lama dan hanya satu kali berbunga. Mawar termasuk bunga yang susah dalam menanam dan merawat, tetapi bertahan lama dan terus berbunga. Sementara aster, tidak bertahan lama dan hanya satu kali berbunga.
Ada kebanggaan tersendiri kalau bunga-bunga hasil jerih payah saya dipakai untuk dihias di kapela. Itu berarti bunga-bunga saya layak untuk pujian kepada Tuhan. Teman-teman koster selalu mengambil bunga dari taman-taman itu pada hari Rabu dan Sabtu, pas kerja pos, kerja wajib mingguan di pos-pos pembagian. Ada teman-teman yang tidak mau memberikan bunga-bunga terbaiknya untuk dijadikan hiasan pot di kapela. Kata mereka, “Sudah capek-capek menanam, dipetik pula!” Beda dengan pikiran saya. Biarkan bunga itu juga turut memuji keagungan Tuhan, sebab semua makhluk memuji Dia. Semua bunga ikut bernyanyi dan gembira hatiku. Secara tidak langsung saya pun turut dalam pujian pada Tuhan.
***
Sampailah saya di kelas paling ujung. Berhadapan langsung dengan jalan raya. Kelas ini mengingatkan saya pada waktu jam belajar sore. Jendela-jendela selalu kami buka lebar-lebar. Sekali pun dingin, tidak menjadi masalah. Kami paling senang melihat ke luar jendela. Siapa tahu ada yang lewat dan kami bisa menyalurkan insting keusilan kami. Apalagi kalau yang lewat itu teman-teman dari Kartini. Heboh seluruh kelas. Semua kepala pasti dilongokkan ke jendela. Ada juga yang bersuit siul panjang dan melambai-lambaikan tangan. Kalau tidak Kartini, siswi-siswi SMP Supra Mataloko. Kalau tidak SMP Supra berarti SMA Thomas Aquinas. Lebih tua juga tidak apa-apa. Yang penting makhluk yang bernama perempuan. Langka dan unik.
Di kelas berikut. Kelas deretan tengah. Jendela selalu ditutup. Karena memang berhadapan langsung dengan tempat sampah umum. Pemandangan yang tidak mengenakkan. Lebih-lebih kalau ada yang bakar sampah. Asma bisa kumat karena sering asap masuk kelas. Kelas tanpa jendela ini punya kesibukan lain. Main karambol dari laci meja, tendang gawang dengan bola yang dibuat dari kaus kaki atau kumpulan kertas, juga sampai main kartu. Kelas ini paling kreatif dalam menciptakan permainan. Maklum. Tidak ada yang bisa dijadikan objek usil. Karena itu, mesti pandai-pandai mengisi kejenuhan.
Kami pernah dihukum sekelas karena kedapatan main karambol pakai laci meja. Seingat saya hari itu hari Senin. Kelas memang dalam keadaan tenang. Kelihatan dari luar semua pada belajar. Kami tahu, kalau kelas tenang berarti tidak banyak menarik perhatian Romo atau Frater. Frater atau Romo pasti tidak datang ke kelas kami. Mereka menyangka kami memang lagi belajar. Sebagian sementara belajar. Yang lain rupanya sibuk dengan papan karambol. Seolah-olah seperti belajar kelompok. Empat orang melingkar di satu meja. Buku tetap terbuka. Tetapi halamannya yang itu-itu saja. Hanya tangan yang bergerak. Kutak sana kutik sini. Tahu-tahunya perfek muncul dari jendela. Kepalanya dijulurkan ke dalam kelas. Dan ketahuan. Empat teman kami tertangkap basah.[2] Kami semua digelandang keluar. Persisnya di halaman depan kelas kami. Di situ kami berlutut ramai-ramai.
Keempat teman kami memimpin di lorong kelas kami. Sambil berlutut, meja karambol diletakkan di atas kepala mereka. Seperti menjinjing sebuah beban. Kata perfek, “supaya orang tahu, kalian dihukum atas alasan apa. Dan supaya teman-teman kelas lain belajar dari kesalahan kalian”. Muka mereka nampak sudah setengah matang. Merah tomat. Lucunya, dari antara empat teman kami itu, tidak ada yang sama tinggi. Ada yang begitu pendek dan ada yang begitu tinggi. Ketika mereka diperintahkan berlutut berapat-rapat dan menjinjing laci karambol itu, teman saya yang pendek itu hanya memikul angin, alias sama sekali tidak kena. Karena itu, hanya ada tiga kepala yang menjinjing laci itu. Mereka harus menjaga keseimbangan supaya laci itu tidak jatuh. Susah memang dengan kekurangan satu tumpuan.
Sampai jam Salve[3], kebiasaan hari Senin, kami tidak disuruh ke kapela. Tetap dalam posisi berlutut. Bayangkan, sudah sejak dari jam belajar pertama. Kakak dan teman-teman kelas mengejek-ejek kami. Memang kelas kami lagi benar-benar apes. Setelah salve, jam makan. Kami pikir perfek akan membiarkan kami makan. Tidak juga. Kami masih dalam posisi berlutut. Terasa lutut mulai asam. Perut juga kelihatannya keroncong. Dengan tenaga sisa kami lanjutkan hukuman ini.
Perfek masuk kamar makan. Semua hening. Suara sang perfek kedengaran sayup-sayup. Satu point pengumuman adalah tentang kami. Beliau menjelaskan kejadian di kelas kami. Dan semua diminta untuk tidak mengikuti sikap buruk kami. Kemudian pengumuman sekaligus penegasan ditutup dengan sebuah perintah. “Setelah makan, semua nasi, sayur, dan lauk langsung dibuang. Tidak usah simpan untuk mereka yang masih berlutut!” Lemaslah kami yang mendengarkan perintah terakhir itu. Hari ini kami mungkin tidur dengan perut keroncongan.
Efek dari pengumuman itu, kelas kami mulai terpecah belah. Ada yang mulai saling menyalahkan. Terutama teman-teman yang ada di depan kami. Mereka menjadi sasaran empuk kekesalan kami. Kemudian ketua kelas dan kami semua berembuk. Sebaiknya kita minta maaf. Ini jalan keluar yang kami pikirkan waktu itu. Karena itu, keempat teman kami bersama ketua kelas berinisiatif menghadap perfek. Kami semua menanti hasil. Selang lima belas sampai setengah jam, kelima teman kami kembali. Tidak tahu hasil pembicaraannya apa, tapi kami disuruh berdiri, masuk kelas, dan menyesuaikan diri dengan aturan seperti biasa. Berarti kami tidak diperbolehkan makan. Padahal sudah lapar.
Beruntung bahwa sebagian besar anggota meja makan kami tidak mentaati perintah perfek. Mereka masih menyimpan nasi dan sayur untuk kami. Sebuah solidaritas yang buruk, tapi penting di saat genting ini. Setelah doa, dengan mengendap-ngendap kami makan. Sekedar mengisi perut yang keroncong. Kami bagi-bagi. Ada yang kurang beruntung. Sama sekali tidak disimpan. Sepiring bisa makan dua tiga orang. Yang penting kebersamaan.
***
Rata-rata semua kelas tidak berubah. Meja dan papan tulis tetap seperti yang dulu. Dinding selalu ada bekas sepatu dan upil. Bendera merah putih pasti bau keringat. Kalau keringatan bermain, bendera itu jadi sasaran. Pantas saja Nagabonar marah besar. Anak zaman sekarang sudah lupa akan darah para pahlawannya. Cuma ada yang beda. Kursi sudah diganti. Bukan lagi kursi kayu yang bikin pantat tepos dan sakit. Sekarang pakai kursi plastik. Rupanya para pembina sudah pada kapok. Soalnya kursi kayu, baik baru atau pun lama, tidak akan bertahan lama. Kalau tidak patah berarti goyang kanan kiri. Daya perusak kami waktu itu memang tinggi.
Dari kelas saya ke dapur. Tidak ada yang berubah sedikit pun. Bahkan tempat cuci sayur yang super jorok itu masih juga digunakan. Sekali limbah dalam sebuah baskom besar, sayuran siap dicemplungkan ke kuali untuk dimasak. Kotornya juga tidak karuan. Untung dibuat mati dengan dinding. Pakai lepas mungkin sudah ada siswa yang angkat dan buang itu tempat cuci sayur. Kemudian tempat menanak nasi pun tetap sama.
Sengaja saya intip ke gudang beras dan ikan. Juga tetap sama. Ikan-ikan itu masih juga bersahabat akrab dengan tikus, cecak dan rayap. Kami adalah generasi kedua yang makan ikan itu setelah tikus. Tapi kami gemuk-gemuk dan sehat-sehat. Sampai-sampai saya berpikir, penyakit itu tidak mungkin datang dari makanan, seburuk apa pun makanan itu. Yang buat siswa seminari sakit bukan makanannya tetapi cara hidupnya yang tidak teratur. Pernyataan ini sudah terbukti sepanjang pengalaman. Saya toh sampai sekarang tetap sehat walafiat, tidak ada penyakit yang begitu mengkawatirkan. Seperti hepatitis, virus yang paling menakutkan siswa seminari karena bisa menggagalkan panggilan. Ada hepatitis berarti tamatlah panggilan. Dan yang biasanya kena hepatitis adalah mereka yang kurang tertib dalam pola hidupnya. Terlalu banyak olahraga sampai lupa makan, minum, istirahat yang cukup, doa dan belajar. Barangkali ini yang lebih tepat, dalam kondisi yang serba kekurangan itu, orang dituntut untuk hidup seimbang dan teratur. Sebab kekurangan sana sini bisa diimbangi atau ditutup dengan kelebihan sana sini. Tidak teratur atau tidak seimbang mendatangkan celah, bolong pada tubuh jasmaniah dan roh. Inilah yang mengakibatkan tubuh bereaksi dan munculah penyakit. Jadi, hidup tertib menjamin keseimbangan dalam tubuh, sekalipun tidak higienis (perlu lagi diperdebatkan dengan pakar kesehatan, seperti para perawat Lela atau Maumere).
Tak terasa. Pukul 18.30 WITA. Jam makan malam. Saya bergegas ke Unit C. Makan bersama. Orang bilang, cinta pertama itu terus akan diingat, selebihnya urusan masing-masing. Orang juga bilang, kesan pertama membekas, selebihnya atur saja bos! Makanya, saya harus tunjukkan kedisiplinan saya. Sebagai seorang pembina sekarang. Juga mantan siswa. Sekurang-kurang mereka menjadi bangga. Karena telah menjadi bagian dari hidup saya sebagai seorang pembina.
Semula saya merasa canggung. Sewaktu saya menjadi siswa, mereka jugalah yang menjadi pembina, pendamping saya. Baik dan buruknya saya sudah mereka ketahui. Saya seperti raja telanjang. Tidak ada yang bisa saya tutup-tutupi dari mereka. Malu-malu. Segan. Tak terukur perasaan saya. Berkecamuk.
Saya duduk dekat seorang guru Bahasa Inggris asal Inggris. Bujang lapuk juga, karena memang belum kawin. Guru bantuan Ausaid, yang ditugaskan di wilayah Ngada. Tingggal di seminari. Makan di Unit C. Kentang goreng dengan merica dan salay Inggris. Enak. Cuma kentut yang nantinya lebih bau. He...he..he...
Di samping kiri saya, teman-teman frater TOP lainnya. Ada yang sudah setahun di seminari, ada yang masuk sama-sama dengan saya. Baru mulai belajar makan di Unit C. Sama-sama kikuk. Sama-sama tidak tahu harus mulai dari mana. Lucunya, saya bawa senduk lengkap dengan garpu ke meja hidangan menu makan. Padahal, senduk dan garpu itu sebenarnya tidak perlu dibawa. Cukup piring. Karena segala sesuatu sudah disediakan di sana. Senduk sayur ada. Senduk sup ada. Senduk nasi ada. Senduk lauk ada. Kenapa saya harus capek-capek lagi bawa senduk dan garpu? Lihat kiri lihat kanan, syukur tidak ada yang menertawai saya. Tapi was-was juga, jangan sampai rahasia perusahaan ini terbongkar. Dan matilah saya! Pasti jadi objek tertawaan.
Nasi, sayur, lauk secukupnya. Langsung saya santap. Romo di hadapan saya, mantan guru saya juga nyeletuk. “Tidak sup duluan?” Saya kelabakan. Tapi tidak hilang akal. “Makanan penutup saja!” Romo ketawa. Baru kali ini saya lihat Romo yang satu ini ketawa. Saya tidak pernah lihat dia ketawa sebelumnya. Saking seriusnya. Semua siswa, termasuk kami dulu, segan bahkan takut dengan Romo ini. Aura sangarnya jelas kelihatan. Apalagi kalau lagi marah. Uh...seperti auman harimau. Menyeramkan.
Sementara asyik makan, pintu kamar makan terbuka. Pater Engels. Sudah tua sekali tetapi masih juga tegak berjalan. Semangat 45. Walaupun dari Jerman. Pater kadang terlambat masuk kamar makan. Sebenarnya bukan karakter dia untuk terlambat. Kalau tidak ada halangan yang penting. Dan itu tidak lain soal poliklinik. Selain sebagai guru bahasa Jerman, Pater rutin menangani polik dan siswa yang sakit. Ada juga orang luar yang datang berobat. Pater selalu siap dua puluh empat jam untuk polik.
Kebanyakan siswa takut berobat ke Pater Engels. Bukan apa-apa. Gaya pelayanan Pater seratus persen diadopsi dari gaya militer. Maklum pernah menjadi dokter tentara. Kadang sadis, kadang menakutkan, kadang mengerikan, tapi juga ada lawaknya. Ada siswa yang trauma berhadapan dengan Pater. Itu berawal dari sakit gigi. Karena sudah tidak bisa mengatasi sendiri sakit giginya, teman saya itu berani menghadap Pater dan minta obat. Pater tidak beri obat. Malah Pater sibuk mempersiapkan tang, obat bius, dan benang. Dilebarkannya mulut teman saya itu. Digoyang-goyangkan gigi yang sakit itu. Sebenarnya teman saya itu mau berteriak saking sakitnya tapi takut sama Pater. Jadi, tahan saja.
“Ini harus dicabut!” kata Pater. Kemudian Pater ambil obat bius dan jarum suntik. Memasukan obat bius, kemudian menyuntikkan obat bius itu persis di gusi gigi yang mau dicabut. Selang beberapa menit, Pater ambil tang. Digoyang-goyangkannya gigi yang sakit itu dengan tang. Ke kiri ke kanan, seperti hendak mencabut paku yang sudah terlanjur tertanam kuat dalam sebuah balok. Pertarungan antara gigi, tang, dan kekuatan Pater itu berlangsung sekitar lima belas menit. Tapi gigi itu tidak kunjung juga lepas dari cangkangnya. Pater berusaha lagi. Kakinya yang satu ditumpukan pada kaki meja. Seperti hendak mencabut rumput dengan akar yang kuat. Juga tidak berhasil.
Rupanya Pater sudah kehabisan tenaga. Pater mengambil seutas benang. Mirip benang untuk menjahit sepatu. Ujung yang satu diikatkan pada gigi yang sudah terombang-ambing itu. Sementara ujungnya yang lain diikatkan pada gagang pintu. Sambil mengikat Pater bercerita. Ceritanya lucu dan membuat kita tersenyum-senyum. Puncak dari rasa lucu itu, kami semua ketawa termasuk teman yang giginya sakit ini. Pada saat teman saya itu asyik tertawa, brak....sekali tendangan, gigi teman saya itu roboh dan copot bersama dengan gerakan kencang pintu. Terlihat gigi teman saya itu benar-benar lepas dan masih terikat pada ujung benang yang satu. Tergeletak di lantai. Kami semua kaget setengah mati. Cabut gigi ala Pater Engels memang “sadis”.
Kebanyakan siswa lebih cepat sembuh kalau sudah berurusan dengan Pater Engels. Pertama memang karena obat-obatnya mujarab. Dan kedua karena takut. Tidak mau diobati Pater Engels. Apalagi kalau mau disuntik. Kita disuruh sandaran di tembok, dan Pater akan menusuk jarum itu dari jarak yang jauh. Seperti latihan tembak menembak. Selesai dengan obat pertama, spoit dilepas, dan jarum dibiarkan. Obat kedua dengan spoit berbeda tapi dimasukkan dengan jarum yang sama, yang masih melekat di pantat atau lengan kita.
Tapi berkat jasa Pater, banyak siswa yang tertolong. Tangan patah, kaki patah, muntaber sampai kritis, penyakit kuning, ginjal, hepatitis, semua dapat sembuh berkat tangan dingin Pater. Satu hal yang selalu Pater tekankan. Pater selalu menyembuhkan siswa bukan hanya dengan obat-obatan, tetapi terutama dengan doa. Siswa yang pernah masuk polik, karena cacar air, malaria, muntaber, mungkin tahu akan hal itu. Pater selalu mengajak berdoa, pagi, siang, dan malam bersama siswa-siswa yang sakit.
Pater juga menjadi anutan semua orang, baik para pembina, guru, maupun para siswa. Pengabdiannya tulus, tuntas, total, dan tanpa pamrih. Ia juga sangat disiplin. Sampai-sampai harus potong lari halaman tengah, kalau ia tahu sudah terlambat untuk mengajar. Dalam hal doa, Pater selalu terdepan. Imam yang selalu dekat dengan Brevir, Bunda Maria, dan Hati Kudus Yesus. Tidak berlebihan kalau Pater Engels disebut sebagai representan “para santo” yang hidup di tengah-tengah komunitas Seminari Mataloko.
Satu bangku lagi kosong. Mungkin ada kesibukan yang tidak bisa ditunda. Paginya, bangku itu juga kosong. Siang terulang kembali. Sedang puasa atau memang betul-betul sibuk pada saat jam makan. Saya melirikan mata saya ke papan absensi. Keterangannya ADA. Berarti bukan sedang di luar. Kalau begitu, di mana? Ini urusan pribadi. Tetapi kalau sudah masuk dalam sebuah komunitas, ya kapan lagi persaudaraan itu ditunjukkan secara nyata kalau bukan di saat makan. Banyak efek yang bermanfaat, yang bisa dipetik, kalau sama-sama makan dan berbicara secara akrab dengan sesama saudara anggota komunitas. Seperti sebuah keluarga. Bukan orang asing. Atau sengaja mengasingkan diri.
Mantan Prefek saya persis di samping Pater Engels. Orangnya tegap dan tegas. Tidak kompromi dengan segala tindakan indisipliner. Tidak segan-segan menjatuhkan hukuman bila siswa salah. Semasa kami, Romo masih suka pukul. Sejalan dengan waktu, barangkali Romo sudah menemukan pola yang tepat dalam mendampingi siswa. Lebih matang dan dewasa. Dan untuk ini, kami telah memaafkan apa yang sudah terjadi atas diri kami. Justru kami patut berterima kasih. Sebab dari telapak tangan itu, muncul buah-buah kebajikan yang kami sendiri rasakan gunanya untuk diri kami.
Banyak hal yang bisa kami pelajari dari teladan hidupnya. Yang paling utama adalah disiplin. Romo kami ini super disiplin. Sebelum kami bangun, Romo sudah duluan bangun. Yang bangun terlambat atau tanpa sadar terlelap tidur, Romo bangunkan dengan semprotan air. Pakai alat penyemprot air untuk bunga. Ketika kami sudah tidur, Romo masih terjaga. Sampai keadaan benar-benar aman.
Ada Romo yang telat bangun. Juga lupa giliran misa. Mesti selalu harus dibangunkan. Atau tidak harus cari pengganti. Kalau ini terjadi pas pekan ujian, menjengkelkan. Apalagi misanya dibuat lama. Berarti makan akan cepat-cepat. Supaya masuk kelas tidak terlambat. Sialnya, kami tidak punya kesempatan buka catatan lagi untuk sekedar segarkan ingatan. Dan inilah yang menjengkelkan kami.
Romo Perfek kami juga suka tanam bunga, selalu rapi dan bersih. Lucunya, satu waktu Romo inpeksi mendadak. Sampailah di kelas deretan tengah. Di sana Romo menjumpai kelas penuh kertas dan sampah. Melihat itu, semua siswa disuruh berdiri di samping meja. Sejenak Romo memperingati siswa soal pentingnya kebersihan. Siswa diminta menjaga kebersihan kelas. Sebagai hukuman, siswa pungut sampah dengan menggunakan mulutnya. Semua tunduk ke lantai dan pungut kotoran dengan menggunakan mulut menuju ke tempat sampah. Mirip badut.
***
Kecanggungan saya lama-lama surut. Kami diterima bukan lagi sebagai siswa melainkan sebagai bagian dari para pembina dan pendamping siswa. Kami dipercayakan untuk menjalankan tugas-tugas perfektur sejauh dalam batas-batas kewenangan kami. Ini penting. Supaya tidak asal serobot dan makan gigi. Soalnya, hal utama yang harus diperhatikan dalam kehidupan komunitas adalah tata krama, saling menghormati pribadi, wewenang dan jabatan. Melecehkan seseorang, baik secara pribadi maupun dalam fungsi dan wewenangnya sama saja menoreh luka komunitas. Masalahnya bisa bertambah runyam kalau sudah ada blok-blok, praduga-praduga, perspektif tertentu, apalagi sampai negative-thinking.
Komunitas yang baik adalah komunitas yang menghargai satu sama lain, sekecil apapun dia. Menciderai hakikat komunitas ini berarti menimbulkan pecah belah yang sulit untuk dimaafkan. Tidak ada saling percaya. Selalu curiga. Cemburu tanpa alasan. Menjadi pemarah. Egois. Pendendam. Berlomba untuk mengalahkan. Sulit mempercayai teman. Tidak pernah mau mengakui kelebihan anggota komunitas lain.
Dalam situasi seperti itu, siswa yang bakalan menerima akibatnya. Stres dengan kehidupan komunitas, jenuh dengan kebersamaan, letih dengan persaudaraan ke dalam, siswa menjadi sasaran, pelampiasan. Jadilah siswa dihukum seberat-beratnya. Salah sedikit, masalah menjadi besar. Hukumannya pun seberat-besatnya. Seperti tanpa ada akhir. Berjam-jam. Tidak makan. Tidak mandi.
Kami pernah mengalami masa-masa pahit dengan pembina kami. Waktu itu, prefek kami itu merangkap jabatan sebagai kepala sekolah. Sementara itu keadaan komunitas runyam. Dengar-dengar ada bentrokan besar antarsesama anggota komunitas. Dalam masa-masa itu, kami selalu menjadi puncak pelampiasan kemarahan. Kami juga menjadi tempat hujatan, cacian, hukuman. Sering kami tidur di luar asrama. Memang sebagian dari kami ribut. Tapi tidak semuanya harus dihukum. Kami digelandang keluar dari kamar tidur tanpa sempat membawa apa-apa. Tidur beralaskan lantai dan rumput beratapkan langit. Dingin lagi. Terus jam lima empat lima pagi kami sudah harus bangun seperti biasa. Menjalankan rutinitas seperti biasa.
Kami menjuluki prefek kami dengan “si gila yang lagi kumat”. Kalau sudah kumat pusingnya, ada-ada saja ulahnya. Kami juga tidak kenal minggu pesiar. Padahal kami butuh minggu pesiar. Sekedar cuci mata dari kejenuhan di dalam asrama. Juga beli kebutuhan harian kami. Atau sekedar cari variasi makanan. Barang-barang kebutuhan pokok kami itu terpaksa Romo pembantu prefek yang beli. Atau kalau tidak kami titip lewat kakak-kakak SMA yang selalu punya waktu pesiar.
Minggu pesiar kami tergantung pada hari Sabtu sampai jelang waktu pesiar. Kami harus silentium alias diam. Tidak boleh ada yang ribut, baik di kamar tidur, kamar makan, maupun kelas, pada saat belajar. Kalau ada yang ribut, sial! Peluang untuk pesiar kami tertutup. Segera kami akan dikumpulkan di kamar makan. Duduk pada meja masing-masing. Kemudian kami menjalani hukuman rutin, yaitu menandukkan kepala kami ke meja makan, sampai ada yang benjol-benjol. Ciri khas siswa SMP Seminari waktu itu adalah benjol di dahi seperti sebuah telor.
Sesudah tanduk, kami disuruh membersihkan kamar makan dengan menggunakan serbuk kayu dicampur dengan oli kotor. Kami harus gosok lantai kamar makan sampai bersih mengkilat. Sedikit ada noda saja disuruh harus ulang. Sementara kami membersihkan kamar makan, perfek kami itu terus saja menjaga kami, seperti seorang mandor. Dengan sapu di tangan, dia akan mengejar kami dari satu sudut ke sudut yang lain. Tanpa ampun dia akan mengayunkan sapu ke arah kami. Tidak peduli kena atau tidak. Kami lantas berlari menjauhi dia ketika dia mendekat ke arah kami dengan sebuah pentungan atau sapu. Jadilah kami saling kejar mengejar tiada henti, mirip sebuah drama.
Tidak ada satu pun dari para pembina yang bisa menghentikan kegilaan ini. Bahkan Pater Engels pun tidak. Buktinya ada dalam cerita ini. Karena waktu itu musim sakit malaria, kamar khusus orang sakit dan polik pada penuh. Polik hanya untuk yang sudah sedemikian parah dan butuh perhatian serius. Sementara yang masih bisa ditangani sendiri oleh teman-temannya, ditempatkan di kamar khusus orang sakit. Saking penuhnya, kamar tidur pun jadi kamar orang sakit.
Sekalipun sakit, menu makan tidak terlalu dibedakan. Nasi jagung dan kol berenang. Bedanya cuma telan obat. Waktu itu, Malanuza, kebun Seminari lagi panen jagung. Kami tidak makan nasi malam itu. Jagung tok. Termasuk orang sakit.
Sampai dengan jam doa malam, tidak ada kejadian yang terlalu istimewa. Berlangsung seperti biasa. Setelah doa malam, kami semua menuju tempat tidur masing-masing. Ada yang sikat gigi, rendam pakaian, cuci muka, dan sudah tentu buang air kecil. Antrian buang air kecil selalu panjang pada saat selesai doa malam. Karena semua kelas, dari kelas satu sampai kelas tiga, burung besar kecil, pada antri di tempat kencing. Jumlah tempat kencing waktu itu hanya enam, untuk sekitar mendekati 300-an siswa. Dan tidak boleh ada yang kencing di toilet. Ada petugas khusus yang jaga supaya tidak ada yang kencing di toilet. Kasihan benar untuk siswa yang betul-betul sudah tidak tahan. Alias di ujung. Bisa-bisa kencing di celana. Ada yang kalau sudah tidak bisa tahan, ya terpaksa sembunyi-sembunyi cari tempat kencing. Di kamar jemur, di lapangan bola, atau juga di kamar mandi. Yang penting tidak ketahuan!
Lampu kamar tidur nyaris ditutup semua. Tiba-tiba saja perfek kami itu mengamuk hebat. Kami semua was-was. Pasti tidur lagi di luar. Karena ribut. Kami semua diusir keluar. Tidak ada yang berani melawan. Termasuk orang sakit yang ada di kamar tidur. Semua keluar. Kami sendiri tidak tahu apa kesalahan kami. Yang penting selamatkan diri dari lonceng yang ada di tangan perfek kami itu. Tidak bangun dan lekas lari berarti kena hantam itu lonceng. Besi pula. Semua pada berhamburan keluar sambil mencari-cari kambing hitam. Siapa kali ini yang punya ulah, ribut sampai kami digiring keluar seperti pesakitan.
Sampai di luar, perfek kami itu memanggil semua orang sakit dan mengumpulkan di satu tempat. Kami kira mereka dikecualikan dan disuruh kembali tidur. Tahu-tahunya, mereka berlutut beramai-ramai di halaman tengah. Sudah dingin. Embun. Kena angin malam. Kasihan juga. Ada yang sampai menggigil. Bercampur demam dan dinginnya malam.
Kami baru tahu ternyata biang keladinya ada pada orang sakit. Mereka makan jagung tetapi tidak jaga kebersihan kamar tidur. Tongkol jagung dibuang begitu saja di lantai. Biji jagung berserakan di bawah tempat tidur. Ini yang membuat perfek kami berang. Lantas kami digelandang keluar.
Di satu sisi kami begitu jengkel dengan teman-teman yang sakit itu. Ulah mereka, kami semua kena getahnya. Pupus sudah harapan untuk bisa tidur dengan nyenyak. Pupus sudah harapan untuk mimpi basah malam ini. Tapi di sisi lain, kami juga kasihan. Sudah sakit, disuruh berlutut, malam hari pula. Merasa senasib sepenanggungan, ada beberapa teman yang memberikan kain selimut yang berhasil dibawa keluar pada teman-teman yang lagi sakit. Ada yang sama sekali tidak pakai selimut dan hanya mengenakan celana pendek. Telanjang kaki dan hanya pakai baju dalam.
Melihat kejadian tragis itu, Pater Engels turun tangan. Penanggung jawab polik ini minta pada perfek kami untuk membebaskan mereka yang sakit dari hukuman itu. Tapi perfek kami tidak peduli. Sekali berlutut tetap berlutut. Kemudian pembantu perfek datang membujuk ketua perfeknya. Juga tidak luluh. Terbuat dari apakah hati orang ini? Keras seperti cadas. Semua tidak berdaya. Orang sakit tetap berlutut malam itu. Dan kami yang lain hanya bisa menyaksikan dari jauh.
Datang perintah. Semua masuk ke kamar tidur dan angkat tempat tidur keluar. Segera mungkin. Suara perfek kami itu bagai malaikat pencabut maut. Tidak ada yang tidak bergerak. Dengan cepat semua bekerja. Bahu membahu keluarkan tempat tidur. Tanpa kecuali. Dan dalam tempo lima belas sampai dua puluh menit, kamar tidur sudah menjadi sebuah ruang kosong. Tidak ada satu pun tempat tidur yang masih tersisa.
Datang lagi perintah. Ambil ember dan slaber, bukan pel. Kami lalu bagi tugas. Masing-masing kelas tanggung bloknya sendiri-sendiri. Ada yang tampung air dari kamar mandi. Ada yang siram. Ada yang gosok pakai sabun rinso. Kami disuruh membersihkan kamar tidur malam itu juga. Sekitar pukul 21.15 WITA. Dan tidak boleh ada bagian yang masih basah. Harus dikeringkan malam itu juga.
Semua ember dan kain pel kami kerahkan. Pakaian-pakaian bekas yang sudah tidak dipakai kami terjunkan untuk mengeringkan air slaberan. Semua bekerja keras. Tidak ada yang tinggal diam. Bekerja tanpa suara. Tapi juga mengantuk. Mungkin kebutuhan untuk istirahat inilah yang membuat kami bahu membahu menyelesaikan pekerjaan ini. Sekitar pukul 3.15 WITA pekerjaan pel dan mengeringkan selesai. Tempat tidur boleh dimasukkan. Kemudian kami diperkenankan istirahat. Lega rasanya. Tidur sampai bodoh. Karena memang sudah sangat capek. Tapi kami harus bangun pagi. Tidak boleh telat. Tidak apa-apa. Yang penting bisa tidur.
Lain waktu kami diusir dari kamar tidur. Alasannya sama, karena ribut. Waktu itu, jam istirahat siang. Kami diusir menuju kebun belakang kelas kami. Siang sampai sore kami diperintahkan sekaligus membabat rumput dan ilalang yang sudah setinggi kepala manusia, mencangkul, meratakan tanah, dan membuat bedeng. Harus sampai selesai. Pekerjaan gila. Untuk anak SMP seusia kami. Tapi harus kami lakukan. Taruhannya adalah panggilan kami sendiri.
Staf OSIS bergerak cepat. Kami dibagi dalam beberapa kelompok. Kelas satu sampai kelas tiga bercampur baur. Kelompok pertama yang punya parang ditugaskan membabat rumput. Kelompok kedua, dengan pacul, mencangkul. Kelompok tiga dengan sisir, pikuil, dan peralatan lainnya meratakan tanah. Dan terakhir, kelompok empat langsung membuat bedeng. Lalu tanah disiram. Sore hari menjelang malam, pekerjaan selesai. Beberapa bedeng rapi terbangun.
Tragedi kali ini memakan korban. Satu tangan patah. Lonceng yang sebesar pisang satu tandang itu menghantam seorang siswa. Persis jatuh di got, depan kamar tidur. Tangannya langsung patah. Pater Engels lagi-lagi tidak bisa berbuat banyak. Hanya bisa mengobati siswa yang menjadi korban itu.
Syukur pada Tuhan, ada pergantian perfektur. Selamat sudah kami dari cengkeraman maut. Tapi kemudian kami mendapatkan perfek yang sangat disiplin, rajin, dan kalau marah meledak-ledak minta ampun. Pelahan-lahan kami beradaptasi dengan tangan dingin beliau. Dan kami menemukan bahwa semua itu demi kebaikan kami. Beda dengan bapa asrama sebelumnya. Benar-benar tanpa pola. Kehilangan pola. Atau mungkin, asal tubruk. Kalau mau jujur, seminari mesti harus minta maaf pada angkatan-angkatan kami. Tidak selayaknya kami diperlakukan demikian. Tetapi kami sadar, banyak sudah jasa seminari yang tertanam dalam diri kami. Cuma kasihan yang keluar duluan. Rasa sakit hati mungkin masih ada sampai sekarang.
Dunia siswa memang ada-ada saja. Selalu ada cara untuk lolos dari “mata agent”[4] para pembina. Kadang kami mempunyai istilah sendiri dengan romo-romo tertentu. Ada “Roda”, “Roleks”, “Roki”, dan “Rona”. Ro sudah tentu berarti romo dan suku kata berikut menunjukkan nama masing-masing romo. Dengan istilah ini, kami bisa bersembunyi atau lebih cepat kamuflase dari pengawasan para romo. Tapi ada juga yang dijuluki romo dengan “filing kuat”. Itu artinya, romo tersebut selalu bisa mengetahui dan selalu bisa menangkap basah pelanggaran yang seharusnya tersembunyi, tersusun rapi, dan diduga bakalan tidak diketahui. Istilah “filing kuat” sangat disegani siswa. Karena pasti tidak mungkin lolos. “Filing kuat” juga diberikan buat romo yang selalu menangkap basah siswa yang bolos. “Menyamar” bagaimana pun pasti ketahuan.
***
Jam makan selesai. Wakil Praeses memperkenalkan orang baru yang bergabung dalam komunitas ini. Termasuk saya. Lagi-lagi disambut dengan tepuk tangan. Pater Engels juga. Secara resmi kami diterima di komunitas ini. Sebagai pembantu perfek. Tetapi lebih dari itu, sebagai frater TOP, yang sedang belajar mematangkan panggilan dalam sebuah proses pembelajaran di seminari. Saya merasa haru sekaligus bangga. Di tengah-tengah mereka saya menemukan bahwa Tuhan memberikan saya keanekaragaman dalam penghayatan imamat. Kekayaan ini menjadi kekuatan saya. Sebab dari sana saya bisa belajar banyak. Belajar untuk menemukan model imamat yang sesungguhnya, yang masih saya cari. Dari mereka, saya mengolah diri saya sendiri.
Ketika saya mengenal lebih dekat, mantan pembina dan pendamping saya itu, saya menemukan sisi lain di balik profil pembina mereka. Tidak seperti gambaran para siswa. Menyeramkan. Menakutkan. Mungkin karena harus bertindak demikian. Mesti tegas. Prinsipil. Tidak kompromi. Dan ini yang membuat para siswa ketakutan. Segan. Apalagi nasib para siswa ada di tangan para pendamping ini. Sekali dua kali kedapatan bersalah, apalagi sampai meninggalkan bekas pada ingatan para pembina itu, sudah cukup merupakan lampu hijau bahkan lampu merah untuk siswa tersebut. Keluar, dalam bahasa kerennya “cedok”, bisa menjadi kenyataan. Dari dekat, mereka juga bisa tersenyum, ketawa, melawak, ramah.
Sering di kamar makan, ulah siswa menjadi topik pembicaraan. Siswa yang nakal dan selalu kedapatan melanggar menjadi bahan diskusi panjang. Antara dua. Atau anak ini sudah tidak bisa diatasi karena itu layak untuk “dicedok”. Atau anak ini diberi kesempatan lebih, sambil tetap terus diperhatikan secara serius. Kadang juga hukuman atas siswa yang nakal menjadi bahan tertawaan di kamar makan. Sebenarnya para pendamping itu punya selera humor yang tinggi. Sewaktu berhadapan dengan siswa, tampang mereka betul-betul kaku, serius, dan tegas. Tapi kalau sudah di kamar makan, mereka bisa saja menertawakan diri sendiri, dan mimik rasa bersalah siswa yang dihukum. Sebenarnya ada sisi kelembutan dan rasa belas kasihan yang tinggi, tapi demi pendidikan, “kemanjaan” seperti itu harus ditinggalkan. Disiplin jauh bertentangan dengan “kemanjaan”. Itu membuat semua pembina harus bersikap tegas.
Siswa yang memang patuh dan rajin selalu disayang pembina. Mengapa demikian? Para pembina merasa “dihargai” oleh sikap patuh dan rajin itu. Segala jerih payah dan pola pendampingan mereka terasa ada hasilnya. Mereka pun turut bahagia dalam keberhasilan pertumbuhan itu. Mereka merasa tersanjung oleh “buah” pendampingan yang sudah kelihatan bentuk dan hasilnya itu. Karena itu, siswa yang patuh dan rajin, apalagi cerdas selalu menjadi kesayangan semua pembina.
Kadang saya berpikir, terlalu juga kita ini. Sewaktu di rumah, kita begitu patuh dan taat pada orang tua. Tapi setelah kita di seminari, sikap melawan justru yang kita tunjukkan pada para pembina. Padahal, para pembina itu sama saja dengan orang tua kita. Mereka mau kita bertumbuh dan berbuah baik. Tapi kita salah mengerti. Malah mencaci maki mereka. Membenci mereka. Seolah-olah mereka sudah merebut segala kebebasan yang kita miliki. Pada titik ini, patut kita minta maaf atas semua kekurangajaran kita di tempo dulu.
Tetapi ada juga yang terlalu disayang, sampai “dielus-elus”. Kecemburuan teman-teman jelas ada. Karena siswa bisa tahu dan merasakan mana yang lebih diperhatikan, disayang, dikecualikan, dan mana yang selalu dibenci, dimarahi, dihukum. Kadang keberpihakan seperti ini justru merusak hubungan siswa yang satu dengan siswa yang lain. Ada semacam gap antara para siswa. Dan itu melukai persaudaraan dan kebersamaan para siswa. Dalam diri siswa yang selalu nakal, melanggar aturan, ada juga sisi-sisi kerinduan siswa itu untuk diperhatikan dan disayang. Semua menuntut porsinya masing-masing.
Siswa juga punya lensa penglihatan yang istimewa. Mata hati kepolosan mereka itu ternyata tajam dan bisa merasakan apa yang sedang terjadi dalam diri pembina, pendamping, bapa asramanya. Kalau ada yang salah, tidak beres, dipaksakan menjadi benar, menjadi beres, siswa-siswa itu “seolah-olah” tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Tapi dalam hati kecil mereka sesungguhnya mereka mengatakan, “kami sedang dibohongi”. Mereka bisa melihat dan biasanya mengukur tingkat kedisiplinan, kerohanian, kerajinan, kebersihan para pembinanya. Mereka tahu jam-jam pembinanya tidak ada di kamar, keluar seminari, atau sedang tidur, olahraga, makan, atau kerja. Mereka juga tahu situasi batin: marah, bahagia, jengkel, cemburu, tidak mau diganggu dari para pembinanya. Karena itu, mereka juga pandai memainkan perasaan para pembinanya itu.
Yang paling menyakitkan mereka adalah kalau apa yang dikatakan seorang pembina tidak dibuktikan sendiri melalui tindakan nyata. Mereka selalu menanti anutan, contoh hidup, praktik. Mereka memang butuh kata-kata nasihat, tapi lebih dari itu mereka menunggu bukti nyata dari kata-kata itu dalam diri sang pembina. Inilah justru pendidikan alamiah yang paling efektif. Yaitu keteladanan. Seperti Sang Guru Ilahi yang memberikan teladan hidup-Nya kepada murid-murid-Nya sampai tuntas, mati di kayu salib.
Yang saya lihat, menjadi pembina sama saja dengan menjadi pekerja di sebuah taman. Sejak dari pembibitan sampai menghasilkan bunga, para pekerja taman dituntut untuk memberikan perhatian ekstra. Semak duri, kadang beling melukai tangan, berlepotan tahi sapi, dedak babi, semua dilakukan hanya untuk sebuah pertumbuhan yang baik dengan hasil yang menakjubkan. Sementara bunga, seolah-olah tidak tahu bahkan tidak mau peduli dengan kerja keras para pekerja taman. Kalau tidak diperhatikan, ia malah kerdil, mogok berbunga, bahkan mati. Kalau rumput liar dibiarkan, dia juga tidak peduli. Tugas membersihkan adalah tugas para pekerja. Yang dia tahu hanya berbunga sesuai dengan perhatian yang diberikan. Susah payah seorang pekerja taman sama sekali tidak sebanding dengan penghargaan yang diberikan oleh sebuah bunga.
Kalau bunga itu mekar, pertama-tama yang dipuji bukan para pekerjanya. Tapi bunga itu sendiri. Memang ada kebahagiaan tersendiri bagi para pekerja melihat dan menyaksikan bunga hasil kerja kerasnya dipuji. Dia sendiri puas, cukup dengan bunga itu dipuji. Giliran bunga itu kerdil atau bahkan mati, yang dipersalahkan bukan bunga itu, melainkan para pekerjanya. Dia dicela, dicaci karena ketidakberhasilannya. Kadang dia menyesal, kecewa, pesimis, tapi itu semua tidak dipedulikan. Baik oleh bunga maupun para penikmat bunga. Sesudah itu, dia akan terus bekerja dan bekerja, dengan luka yang dibawa pergi, menghasilkan bunga-bunga baru tanpa mempedulikan dirinya sendiri.
Tepukan tangan tadi sebenarnya merupakan sebuah tantangan tersendiri. Mampukah saya menjadi seorang pendamping dan pembina yang baik buat adik-adikku?*
Permenunganku:
“Di mana pun kita berada dan menjadi seorang guru atau pendamping, kita mesti selalu bersedia dibenci dan ditakuti baik oleh seorang anak didik, maupun orang tua atau wali. Dan kapan serta di manapun anak didik itu berada, mereka selalu punya sikap antipati, melawan, susah diatur. Jarak seperti ini hanya bisa diputuskan dengan gerakan “merunduk”, seperti padi yang berisi. Atau inkarnasi, seperti Sang Guru Ilahi. Menyapa mereka dengan hati, berdialog secara jujur dan terbuka, selalu bersimpatik dengan setiap perkembangan mereka, dan yang paling penting adalah contoh atau teladan hidupmu. Di sana mereka akan berkaca tentang hakikat diri mereka sendiri dan nilai yang patut mereka teladani. Kecuali model pendidikan itu benar-benar buruk, tanpa tujuan yang baik dan menjangkau masa depan, pendidikan seperti itu hanya menghasilkan para diktator-diktator baru, atau sekurang-kurangnya manusia yang sakit ingatan. Pendidikan dengan visi dan misi yang jelas, metode dan pola pendampingan yang berkesinambungan seperti seminari, baik atau buruknya para pembina, selalu mempunyai sisi-sisi memorial yang bernilai untuk dikenang di masa depan. Bahkan menjadi sumbu yang tetap bernyala, sekalipun dalam kegelapan yang paling gelap. Berbahagialah bahwa kita pernah menjadi pendamping dari sekelompok siswa. Karena mereka akan terus menyanjung dan mengingat kita. Dalam hatinya, tercatat juga nama kita”.

[1] Pusat peternakan seminari. Biara-biara selalu punya kandang peternakan sendiri. Untuk mencukupi kebutuhan domestik. Kalau tidak sapi perah, ada babi, ayam, dan bebek.
[2] Saya teringat akan teman-teman saya itu, Andi Dolo, Mans si pendek Lakapati, Yan Wikul, dan Yanto “Ngarupolo”. Di mana saja kamu berada, saya selalu terkenang akan kisah karambol ini.
[3] Penyembahan Sakramen Maha Kudus
[4] Di mata para siswa, pembina dan pendamping asrama adalah para pengintai, pengawas, mirip polisi militer. Setiap tindak tanduk siswa selalu diperhatikan, diawasi. Siswa tidak bisa bebas. Selalu dalam pengawasan pembina. Karena itu, para pembina selalu disamakan dengan agen mata-mata, spionase, seperti CIA, KGB, dan yang lainnya.