Tuesday, 1 April 2008

Saya dan Para Guru


Sidang dewan guru pertama kali di tahun ajaran baru. Beda sekali warnanya dengan sidang akhir tahun. Tahun ajaran baru selalu ada semangat baru. Ada perubahan-perubahan. Konsolidasi. Semua guru menyumbangkan pikirannya demi kemajuan siswa dan seminari. Ada juga yang mengungkapkan kesan-kesan di tahun ajaran lalu. Disusul dengan evaluasi dan saran. Ada yang menyatakan target untuk tahun ajaran baru ini. Pokoknya semua mengarah pada tekad dan semangat baru.
Saya duduk bersebelahan dengan Mr. Stef. Mantan guru bahasa Inggris saya. Seingat saya hanya beberapa orang yang fasih bahasa Inggris untuk angkatan kami. Saya termasuk yang pas-pasan. Bukan karena saya tidak mampu. Bukan juga karena bahasa Inggris tidak menjadi minat saya. Rasanya stres, karena tidak mampu menguasai bahasa Inggris dengan baik. Kosa katanya, grammarnya, apalagi speaking dan listening. Semua seperti buta. Padahal semangat begitu kencang untuk dapat menguasainya.
Sejarah bahasa Inggris yang buruk itu dipengaruhi oleh guru kami yang tidak berkompeten. Kelas satu sampai setengah semester kelas dua, kami ditangani oleh guru yang buruk. Bahasa Inggris adalah pelajaran percakapan, mengafal kata-kata, tanpa pemahaman dasar grammar yang jelas. Semua kelihatan tidak masuk akal. Tidak bisa dipahami.
Keluhan demi keluhan mengalir. Bukan saja dari kami, tetapi juga dari guru-guru lain. Inggris mundur untuk angkatan kami. Kepala sekolah turun tangan. Dan cek punya cek, kesalahan bukan ada pada kami. Guru Inggris kami diminta pertanggungjawaban. Dan entah dengan mekanisme apa, guru Inggris kami itu akhirnya dipindahtugaskan.
Kelas tiga kami ditangani Mr. Stef. Ada perubahan. Tapi tidak mengurangi kekawatiran kami mengikuti ujian akhir. Terpaksa kami autodidak. Beli buku Inggris lalu SKS (Sistem Kebut Semalam). Mujur bahwa kami lulus. Entah dari mana pertolongan itu datang. Mungkin juga Roh Kudus. Inggris yang menakutkan itu kami lalui dengan enteng. Hanya kami sendiri malu. Inggris yang menjadi kebanggaan Seminari, nampak tinggal masa lampau untuk angkatan kami. Kami sendiri benar-benar kecewa.
Kelas empat sampai kelas lima, kami masih ditangani Mr. Stef. Perubahan yang kami harapkan belum mencapai maksimal. Dasarnya memang kami buta grammar. Karena itu, kurang percaya diri. Kurang yakin. Padahal, omong Inggris butuh kepercayaan diri. Pendasaran harus kencang. Saya sendiri begitu ngotot. Berusaha keras. Belajar dari teman-teman yang lebih paham. Namun kemajuan itu hanya sedikit.
Kelas enam, kelas terakhir, kami dibimbing oleh guru senior. Tangan dingin guru ini sudah melahirkan banyak siswa yang handal Inggris. Cas cis cus. Mr. Cleopas. Gigi ompong, ramput putih, logat Manggarai, dan kuat ngeledek alias de’i. “Penampilan oke, jam tangan, sepatu mengkilat, rompi adat, tapi beli kampus Echols tidak bisa!” demikian guru kami itu selalu mengolok-olok kami. “Andalkan kamus sepuluh ribu kata!”, tambahnya pula.
Di tangannya, beberapa siswa bisa maju. Saya sendiri punya kemajuan. Tapi sedikit. Bahkan kesimpulan guru kami ini, “angkatan kami Inggris rusak parah!” Kembali kami menjadi tidak percaya diri. Kejayaan masa lampau hanya cerita manis dan tidak bisa kami ulang. Lagi-lagi Inggris menjadi sandungan kami. Kecemasan di ujian akhir. Minta bantuan Roh Kudus. Dan kami kembali lulus. 69 orang di kelas enam. 100%.
Di kelas enam sebenarnya saya sudah diplot ke jurusan IPA. Tetapi saya lebih tertarik dengan sosiologi, antropologi, tata negara, dan ekonomi. Karena itu, saya minta untuk dipindahkan ke kelas IPS. Jadilah saya anak kesayangan Ibu Martina Moi. Ibu guru ekonomi kami. Ibu yang selalu rajin memberikan kami ulangan. Sekalipun kami tidak siap. Ibu yang khas dengan sapaan rutin kalau masuk kelas. Dari les ke les. Hari ke hari. Turun temurun. Dari angkatan ke angkatan. “Selamat pagi, silahkah duduk, ambil kertas, nomor satu, langsung jawab”. Siswa IPS sudah luar kepala dengan sapaan ini.
Saya ketemu kembali dengan Ibu Martina, jelang pertemuan guru. Ibu nampak kaget. Sudah sekian tahun tidak ketemu. Ibu bilang saya banyak perubahan. Dan saya bilang, “Ibu tidak berubah”. Masih seperti yang dulu. “Bantu Ibu mengajar ekonomi. Ibu sudah tua!” katanya kemudian. “Semua tergantung kepala sekolah. Kami tinggal ikut.” Kata saya kemudian.
Kelas IPA juga punya ibu favorit. Namanya Ibu Sil. Spesifikasi bidang studi Kimia dan Biologi. Saya sendiri pernah bertemu Ibu Sil di kelas lima. Pelajaran Biologi. Ibu yang satu ini terkenal “sadis” alias “tukang teror”. Semua siswa pernah merasakan dibantai Ibu Sil. Maksudnya dengan kata-kata. Tapi kami kagum. Penguasaan ilmunya luar biasa. Nampak sekali cerdasnya. Kami benar-benar beruntung dibimbingnya.
Biologi juga pelajaran favorit saya. Apalagi soal anatomi dan kosmologi. Mempelajari anatomi itu sama saja membedah sebuah sistem. Benar-benar menakjubkan. Tidak ada satu pun yang nampak kurang. Semua begitu tersusun secara ajaib dengan fungsinya masing-masing. Demikian juga dengan kosmologi. Keseimbangan alam. Rantai makanan. Jaring kehidupan. Saya sendiri begitu kagum dengan kerja alami. Yang oleh agama disebut sebagai “ciptaan”. Betapa luar biasanya karya Tuhan. Semua sepertinya sudah terpikirkan dengan begitu rapi.
Saya baru menyadari betapa pentingnya Biologi sewaktu di kelas empat. Pak Yustinus yang mengilhami saya keindahan Biologi itu. Dengan gaya yang “lucu kering”, sudah buat lucu tapi tidak pernah ketawa, Pak Yustin memberikan kami visi kehidupan yang total dan seimbang. Gaya mengajarnya membuat kami yakin bahwa tidak ada yang keliru dengan ciptaan ini. Saya sendiri sungguh menyadari nilai itu. Kesadaran itu muncul bersamaan dengan perasaan keindahan saya yang menggebu-gebu. Segala sesuatu ternyata sangat teratur dan seimbang. Istilah saya waktu itu, “Tidak ada tempat yang salah”. Kecuali kalau sudah ada campur tangan manusia yang berlebihan. Bahkan merusak. Menggunakan secara semena-mena. Tidak ada tanggung jawab ekologis.
Guru lain yang secara khusus meminta saya untuk membantu mata pelajarannya adalah Bapak Guru. Sejak dari pertama kami masuk seminari, Bapak Mikhael Remi, nama aslinya, meminta kami memanggilnya dengan Bapak Guru. Dia adalah guru bahasa Indonesia kami. Guru menulis saya. Guru orator saya. Guru logika. Guru diskusi. Guru debat. Dan guru imajinasi saya. Wajar saja kalau beliau meminta kesediaan saya. Ini sebuah penghormatan luar biasa. Bahwa seorang guru yang saya kagumi, dengan rendah hati mengajak saya untuk berbagi ilmu bahasa Indonesia. Saya sama sekali tidak bisa menolak. Tetapi semua tergantung kepala sekolah.
Saya memang sangat menonjol di pelajaran bahasa Indonesia. Nilai tertinggi di rapor saya selalu bahasa Indonesia. Dalam setiap kali lomba menulis, saya pasti juara satu. Jurinya, Bapak Guru. Dan beliau kenal betul dengan kemampuan saya. Jalan pikiran saya. Bentuk kebahasaan saya. Dia juga tahu potensi alami yang ada pada diri saya. Akan menjadi apa saya nanti. Kalau mau ditanya, guru mana yang paling membekas di hati, yang paling berpengaruh dalam hidup saya sekarang, saya tentu akan menjawab dengan jujur, Bapak Guru.
Tanpa mengecilkan peran guru yang lain, Bapak Guru-lah yang justru selalu mengingatkan saya akan jasa besar Seminari Mataloko dalam sejarah hidup saya. Dalam diri Bapak Guru saya menemukan peran besar Seminari Mataloko yang telah menempa saya bertahun-tahun lamanya. Kenangan akan Bapak Guru juga menjadi cerita penuh syukur, rahmat terbesar, yang tidak bisa saya balas, meskipun dengan uang bermiliaran rupiah. Diri saya, seperti apa saya sekarang, merupakan hasil rajutan yang sempurna dari tangan ahli sang Bapak Guru dan komunitas Seminari. Mereka selalu menjadi inspirasi dan terang yang selalu saya bawa, di mana pun saya berada.
Saya mendapat tugas mengajar Agama, Sejarah, Bahasa Latin, dan Keterampilan. Kami memang tenaga siap pakai. Di mana ada kekurangan guru, di situ kami dipakai. Suka atau tidak suka, bisa atau tidak bisa, kami mesti ambil risiko itu. Sedikit mengecewakan. Saya pikir bisa bantu Bapak Guru. Atau paling tidak Ekonomi. Semua perkiraan meleset. Apa boleh buat.
Agama memang bukan bidang studi yang susah. Tidak ada soal. Selain bahasa Indonesia, saya juga menonjol di Agama. Tokoh yang selalu menjadi inspirasi saya adalah Yesus. Ketika saya diharuskan untuk mengajar agama, saya berpikir sharing pengalaman merupakan metode yang paling efektif untuk pelajaran ini. Kesempatan yang saya tunggu-tunggu itu datang. Yaitu saya bisa berbagi pengalaman iman dengan adik-adik saya. Mereka harus tahu bahwa tempat favorit saya di sini adalah tabernakel, di depan Hati Kudus Yesus.
Guru sejarah saya adalah Bapak Agus Retu. Orangnya sangat idealis. Politikus tulen. Pantang menyerah. Sederhana. Nilai tertinggi yang pernah saya raih untuk pelajaran ini, yaitu 8,8. Ini nilai tertinggi, mungkin untuk semua siswa. Siswa lain paling cuma dapat 7. Guru yang satu ini selalu punya kriteria penilaian yang lain dari yang lain. Sebab yang ditekankan bukan soal mengapal tokoh, peristiwa, tanggal-tanggal bersejarah, tempat-tempat bersejarah, atau kronologi peristiwa, melainkan soal sikap kritis, penalaran, dan logika. Banyak siswa yang kurang paham kemauannya. Atau mungkin juga tidak mampu menyesuaikan diri dengan standarnya. Karena itu, selalu anjlok nilainya.
Saya suka cara mengajarnya. Cara berpikir dan penalarannya. Sistematikanya lugas dan tegas. Tanpa memberi ruang yang terlalu banyak bagi “tindakan penipuan” sebuah sejarah. Karena itu, sisi-sisi sejarah yang ditampilkannya adalah mengupas hakikat dari sebuah kebenaran dan keadilan. Bukan sekedar mengingat sejarah masa lampau. Bukan sekedar menghormati masa lalu. Tetapi berjuang untuk memperbaiki dan melampaui masa lalu. Karena itu, Bapak Agus Retu adalah pelopor kami, perintis kami. Dia membuka mata kami untuk menelanjangi sejarah negeri ini secara jujur dan terang. Lebih dari itu, dia memupuk kami untuk selalu bersikap kritis, mencari dan mengupas kebenaran sampai ke hakikat yang paling dalam.
Generasi kami, bahasa Latin bukan lagi menjadi pelajaran utama. Bau yang menakutkan dari bahasa Latin memang sempat tercium. Angkatan di atas kami mungkin masih merasakan keangkeran pelajaran ini. Lima di Bahasa Latin, tanpa kompromi, kami di”cedok” alias keluar. Ini akibat campur tangan pemerintah. Khususnya dalam hal kurikulum. Bahasa Latin bukan lagi pelajaran yang menentukan.
Sekalipun demikian, bahasa Latin punya andil besar dalam sejarah hidup saya. Pelajaran ini menjadi “olahraga pikiran” yang menyehatkan. Sama seperti tubuh yang butuh kebugaran. Bahasa Latin adalah kebugaran dalam berpikir. Menuntun logika. Sistematis. Jelimek. Analitis. Juga moralis dan artistik. Kalau mau disamakan, mempelajari bahasa Latin seperti mempelajari strategi bermain catur. Kita dipacu untuk berpikir tepat dan cepat. Menganalisa keadaan. Tujuan. Dan mengambil keputusan dengan menentukan langkah secara elegan.
Karena itu, pelajaran ini menjadi hobi saya. Tidak pernah tidak menarik. Dan bukan merupakan sesuatu yang menakutkan. Apalagi pesan-pesan moral, keterampilan berbicara, berpidato, singkatnya retorika orang Roma dapat saya pelajari dari karya-karya besar penulis Latin. Kadang seperti melahap sebuah dongeng. Indah, menawan, namun universal dan perrenis. Dalam bidang studi ini, saya juga sangat menonjol. Nilai sempurna selalu saya raih untuk bidang studi ini. Demikian sumbangan terbesar bahasa Latin.
Saya tidak pernah melupakan jejak-jejak pembelajaran saya di seminari. Saya juga tidak egois. Toh dengan memberi saya menjadi kaya. Karena itu, semua yang rasa rasakan, saya alami, saya tahu bermanfaat besar untuk kehidupan saya sekarang dan di masa datang, saya curahkan sepenuhnya untuk adik-adik, anak didik saya. Mereka pantas menerimanya. Rahmat cuma-cuma dan anugerah istimewa yang sudah saya rasakan selama saya ditempa di seminari ini mesti saya bagikan secara tuntas. Itu tekad saya, ketika saya dipercayai untuk melanjutkan karya pendidikan di seminari ini.
Sebenarnya siapa saya dan akan menjadi apa saya sekarang sudah begitu jelas menyembul dalam memori kehidupan saya di seminari. Gambar diri saya itu nampak begitu terang. Seperti serial Harry Potter. Karakter, penokohan, sifat, dan bakat pesulapnya sudah tertulis habis di cerita pertama. Kisah-kisah pada buku selanjutnya hanya merupakan petualangan dari semua yang dikenal pada buku pertama. Dan seminari adalah buku pertama kehidupan saya. Selanjutnya adalah petualangan saya, seperti orang mengenal saya di tempo dulu itu.
Bukan merupakan sebuah kebetulan saya kurang menyukai ilmu berhitung. Fisika lebih-lebih. Hitungannya membuat saya pusing. Susah masuk diakal. Padahal guru fisika kami waktu itu hebat-hebat. Mencetak siswa dengan kepandaian berhitung dan menganalisis di atas rata-rata. Lebih cepat dari calculator. Dia juga suka humor.
Di Matematika saya juga kurang menonjol. Ada teman saya yang sangat pintar. Panjang akalnya. Satu rumus tidak bisa digunakan, ada rumus lain. Satu jalan tidak ketemu, ada jalan lain. Matematika dan Fisika baginya seperti bermain petak umpet. Dan dia menjadi penemu paling sukses.
Saya hanya suka mengambil teori-teorinya. Logika-logikanya. Malas menghitung. Teori-teori itu biasanya saya kaitkan dengan pengalaman sehari-hari. Aritmatika, deret ukur, gaya gravitasi, teori Kepler, Newton, termodinamika, pegas, kecepatan, percepatan, semuanya adalah pembelajaran isi alam. Kalau ditelusuri, nampak begitu teratur, serasi, indah dalam sebuah persesuaian.
Karena itu, teman-teman seangkatan saya selalu bilang kalau saya punya daya analisis yang tajam. Logika tak terbantahkan. Gaya menulis yang unik. Selalu ada alasan. Selalu punya jawaban. Teknik debat dan oratorial yang persuasif. Tak tersanggahkan. Jiwa seni sampai ke tulang-tulang. Mungkin juga ke bulu-bulu.
Teman-teman selalu takut kalau saya sudah mulai berbicara di forum diskusi debat, Akademi St. Agustinus. Sebuah forum asah pendapat dan diskusi ilmiah. Kalau saya jadi panelis, pasti tidak terbantahkan. “Percuma”, kata teman-teman. Giliran saya jadi peyanggah, “mati kutu!” Kalau masalah tidak terselesaikan, saya menjadi titik fokus. Pasti ada “second opinion”. Dan masalah selesai. Saya tumbuh menjadi “harimau corong”, siap mangsa kawan dan lawan. Dan inilah diri saya. Bertumbuh dari tangan telaten para guru.
***
Pertemuan guru memasuki tahap pembagian wali kelas. Dipercayakan pada guru-guru senior. Juga untuk yang pegawai negeri. Katanya bisa menambah kredit point. Buat naik pangkat dan gaji. Nasib guru memang tidak selalu sebanding dengan jasanya. Susah naik pangkat. Gaji kecil. Tetapi pengorbanannya luar biasa besarnya. Karena itu, perlu pintar-pintar mengakalinya. Ada kesempatan yang bisa mendongkrak pangkat dan gaji, langsung saja disabet. Seminari memberikan peluang untuk itu.
Soal gaji juga selalu menarik. Banyak guru swasta dan yayasan yang sudah mengabdi sekian tahun di seminari, mengadu nasib jadi pegawai negeri. Mereka memang guru-guru unggul. Susah dapat guru seperti mereka. Tapi Seminari juga tidak bisa membendung niat mereka. Maklum, gaji guru di Seminari belum bisa menjamin masa depan keluarga para guru. Bukan soal memupuk kekayaan. Bukan juga soal status di tengah masyarakat. Tapi soal tuntutan hidup, kelayakan, dan masa depan. Dan Seminari harus mengakui bahwa standar gaji di Seminari belum cukup untuk menjamin kelayakan itu.
Syukurlah bahwa pemerintah juga tidak tutup mata. Guru-guru itu, sekalipun sudah menjadi pegawai negeri dan siap ditempatkan di mana saja, toh akhirnya kembali juga ke Seminari. Kerjasama yang apik. Tapi juga sudah sepantasnya. Sumber daya manusia yang berkiprah di ajang pemerintahan lokal sebagian besar merupakan produk Seminari. Kiprah mereka yang begitu menonjol, membuat warna tersendiri bagi peran besar Seminari untuk masyarakat luas. Dari perut yang sama, lahir begitu banyak pemimpin yang menonjol di kalangan masyarakat.
Kadang saya gelisah. Nasib guru itu tidak pernah sama-sama gemilang dengan mantan-mantan muridnya. Rata-rata murid-muridnya suskes. Bahkan sangat kaya. Hidup bergelimpangan uang. Tapi penjasa mereka itu tetap saja hidup dalam kondisi “dari dulu sampai sekarang”. Sudah banyak seruan untuk mengupayakan sebuah “penghargaan” yang setimpal dengan jasa para guru itu. Namun baru sebatas kata. Belum ada gerakan “balas budi” itu. Semoga tulisan ini juga merupakan sebuah seruan sekaligus ajakan ber”balas budi”.
Satu yang saya pelajari dari para guru ini. Kesabaran dan keikhlasan tanpa batas. Juga terhadap kenakalan-kenakalan kami. Pernah sekali kami dihukum harus mengepel seluruh ruangan yang ada di SMP. Akibat kesalahan fatal kami. Les kosong. Artinya tidak ada guru yang masuk atau karena memang tidak ada pelajaran. Supaya terlihat mengkilat, lantai kami lumuri dengan lilin. Kami gosok-gosok dengan sepatu. Pekerjaan seperti ini selesai barang lima belas menit. Kami tidak menyadari bahwa selain lantai mengkilat, juga menjadi licin.
Selang 30 menit kemudian, les matematika. Ibu Agus. Sudah tua memang, tapi terus saja mengabdi sebagai pengajar. Ibu Agus termasuk salah satu guru senior. Katanya, hanya berbekal ijazah SMU. Tapi kalau soal matematika, tidak diragukan lagi kemampuannya. Spesialisasinya, deret ukur, deret angka, peluang, logaritma, dan bangun bersegi. Berhadapan dengan ibu yang satu ini, kami seakan-akan dipacu dalam sebuah test IQ.
Dari sudut lorong kelas kami, Ibu Agus nampak berlangkah dengan sangat hati-hati. Tumpuan dan keseimbangan tubuhnya sudah mulai goyah. Kelas nampak tenang. Semua duduk rapi. Tidak ada yang bisa merasakan sesuatu bakal terjadi kemudian. Pintu kelas dibuka. Kami memberikan ucapan selamat. Ibu Agus masuk dengan hati-hati. Selangkah dua langkah. Sampai mendekati podium guru, sesuatu terjadi. Ibu Agus terpeleset. Jatuh. Untung saja Ibu Agus mampu menggapai meja guru. Jadi tidak benar-benar jatuh.
Lantai licin memakan korban guru tua itu. Ibu Agus nampak sangat marah. Ulah kami berbuah keburukan. Kemudian Ibu Agus meninggalkan kami. “Tidak ada les matematika hari ini dan seterusnya”, kata Ibu Agus. Kami tidak bisa berbuat banyak. Diam. Kaku. Kemudian kami berunding. Ujung-ujungnya staf kelas jadi sasaran. Tanggung jawab kelas sepenuhnya menjadi tanggung jawab staf kelas. Mau tidak mau, staf kelas mesti minta maaf atas perbuatan kami.
Terlambat. Perbuatan kami sudah sampai di telinga kepala sekolah. Dari kepala sekolah ke telinga perfek. Masalah melebar dan menjadi ruwet. Kami pasti didamprat habis-habisan. Benar. Makhluk yang paling kami takuti itu kini menuju ke kelas kami. Di belakangnya, staf kelas menguntit seperti bulan kesiangan. Pucat. Seolah tidak ada darah. Kami sudah pasrah. Hukuman apapun akan kami terima. Yang penting jangan sampai makan korban. Dikeluarkan. Ini perbuatan bersama. Tanggung jawab bersama. Tidak ada yang boleh menjadi kambing hitam.
Ketika ditanya soal perbuatan ini, kami diam saja. Tidak ada yang mau mengaku. Perfek bertambah geram. Kami dinilai kompak dalam hal yang tidak baik. Tidak ada yang jujur. Semua pembohong. Tidak layak jadi calon imam. Ketua kelas pun ditanyai. “Saya sendiri tidak tahu siapa yang mulai. Hanya saja saya lihat semua ramai-ramai melicinkan lantai dengan lilin”, kata ketua kelas. “Termasuk saya”, tambahnya pula. Perfek sudah tidak mampu lagi menampung emosinya. Saya rasa kalau dia bertahan dengan kondisi seperti ini sekitar setengah jam, kami bakalan dapat pukulan.
Dua jam pelajaran matematika kami benar-benar tegangan tinggi. Terasa di ujung tebing. Tinggal sedikit nyawa copot dari tubuh. Sedikit lega, kami hanya mendapat hukuman. Yaitu, mengepel seluruh ruangan yang ada di SMP. Plus permintaan maaf seluruh anggota kelas, tanpa kecuali ke rumah Ibu Agus. Pekerjaan mengepel harus dimulai setelah jam makan siang berakhir. Tanpa istirahat. Dan harus selesai sebelum jam belajar sore. Kalau belum selesai, dilanjutkan esok harinya.
Sewaktu kelas satu, saya sendiri pernah dapat strap dari guru ekonomi. Bukan Ibu Martina, tetapi Pak Sely Raga. Orangnya memang galak. Kalau mengajar, kepala kami selalu jadi sasaran empuk. Diketok pakai penghapus. Kalau tidak kepala, berarti pipi. Pipi kami dilepoti kapur. Bekas putih muncul di mana-mana. Seperti ketumpahan bedak. Lebih tepat, mirip badut. Lucu. Tapi kami tidak boleh ketawa.
Urusan saya dengan guru ekonomi ini bermula dari rambut saya yang sudah panjang. Rambut saya memang lurus. Jatuh ke muka. Susah diatur. Ini menjadi gangguan serius. Harus dibasmi. Saya diperingati supaya memotong pendek rambut saya. Jangan sampai terlalu panjang dan jatuh menutupi dahi. Peringatan itu tidak saya gubris. Karena saya merasa sudah enjoy dengan model rambut saya itu.
Les berikut, saya pikir Pak Sely sudah lupa dengan peringatannya. Petaka datang. Sebelum les, Pak Sely mencari sebuah gunting. Saya sudah berprasangka buruk. Rambut saya pasti akan dipotong. Kenyataannya memang benar. Tanpa ampun, rambut saya memang langsung diobrak-abrik. Tidak peduli ini model jalan tikus, atau sarang tawon. Tinggi pendek, lubang kiri kanan, botak atas bawah, semua menjadi satu di kepala saya. Untunglah kemudian masih bisa dipermak. Lebih pendek dari biasa. Bahkan menurut saya sangat pendek. Polisi abis!
Ada juga kisah yang jorok. Teman saya ini terkenal “tukang kentut”. Baunya seperti tikus mati. Kalau si “dia” sudah kentut, seluruh ruangan kelas bisa tercemar. Bau menyengat. Mungkin, tidak beol tiga hari. Diimbangi dengan tingkah nakalnya, gas beracun dan berbau amis itu disimpan rapat-rapat di sebuah kaleng bekas susu Dancow. Persisnya, pantat diarahkan tepat pada kaleng Dancow. Setelah angin dilepas, kaleng itu cepat-cepat ditutup. Selayaknya tabung elpiji. Kami sendiri tidak tahu apa maksudnya. Kami hanya berpikir, ini bagian dari kenakalan seorang siswa.
Tiga hari lamanya gas beracun dan berbau amis itu disimpan dalam kaleng Dancow. Tiba les ekonomi, kami diminta duduk per kelompok. Masing-masing kelompok lima sampai enam orang. Setiap kelompok diberi soal. Kami diharapkan menyelesaikan soal itu sampai tuntas, kemudian satu per satu akan dipertanggungjawabkan di depan kelas. Semua pada serius. Cuma satu kelompok yang tidak serius. Yaitu kelompok si “dia” itu.
Ibu guru berjalan dari satu kelompok ke kelompok lain. Memastikan bahwa kami benar-benar sedang mengerjakan tugas atau buat yang lain. Kelompok satu, kelompok dua, kelompok tiga. Semua bekerja dengan serius. Hitung-hitung juga buat persiapan ujian akhir. Baru saja mau mendekati kelompok si “dia”, secara tiba-tiba Ibu mundur. Seakan-akan kabur dari hadapan kelompok si “dia”. Sambil menutup hidung. Kemudian disusul dengan bau menyengat. Kami semua pun kabur dari ruang kelas. Mencari udara segar.[1]
Kalau les pertama sampai ketiga matematika, kami punya taktik. Supaya jam pelajaran berkurang, kami menyetel ulang jam dinding di kelas kami. Lebih cepat lima belas menit. Guru selalu berpatokan pada jam dinding. Dan tidak tahu kalau jam sudah kami atur lebih cepat. Lumayan. Walau cuma lima belas menit. Potong jam doa pelajaran dimulai. Bisa jadi dua puluh sampai dua puluh lima menit. Sudah doanya panjang, kami juga biasa menyanyikan sebuah lagu pujian. Bisa sampai tiga empat ayat. Setelah masing-masing, reffrein selalu dinyanyikan. Jadi bisa potong waktu sampai sepuluh menit.[2]
Atau kalau lesnya menjemukan, secara sembunyi-sembunyi kami mengerjakan hal lain. Seperti baca novel, komik, atau meditasi tertulis. Ada juga yang tulis surat. Siasatnya seperti ini. Semua buku di laci meja ditumpukan di atas meja. Benteng buatan itu memang ada maksudnya. Sebagai penghalang pandangan mata guru. Kemudian buku paket pelajaran bersangkutan ditegakkan. Sepertinya sedang serius membaca sambil mendengarkan pelajaran. Tidak tahunya, di dalam buku pelajaran itu ada buku lain, seperti novel, atau komik. Atau pura-pura sedang menulis. Meringkas. Padahal yang dikerjakan adalah meditasi tertulis harian. Tugas asrama yang selalu dikumpulkan setiap hari.
Ada guru yang tahu tingkah laku kami. Tanggapannya pun berbeda-beda. Ada yang langsung meradang marah. Ada yang sengaja membiarkannya. Ada yang menegur secara halus. Semuanya bermuara pada kesadaran kami sendiri. Bahwa perbuatan yang kami lakukan tersebut sebenarnya tidak baik. Kurang menghormati orang lain. Melecehkan guru bersangkutan. Jadi kebiasaan, kami tumbuh menjadi siswa yang tidak mau mendengarkan orang lain. Sok pintar. Ngotot walaupun salah. Terbiasa dengan prilaku menyimpang. Tidak konsentrasi. Kontradiksi. Tumpang tindih. Dan ini yang tidak diinginkan semua guru.
Baru saya rasakan sendiri. Ternyata jadi guru itu tidak mudah. Memang butuh kesabaran dan ketabahan. Pikiran anak-anak tidak selalu sama dengan pikiran kita. Ulah anak-anak itu menjengkelkan, sakit hati. Ada anak yang daya tangkapnya lemah. Diberi penjelasan berulang-ulang juga tidak mengerti. Tertantang tapi juga menjengkelkan. Pelahan-lahan. Diajarkan lagi. Dengan segala cara dan metode. Juga tidak mengerti. Putus asa. Dibiarkan saja dengan kemampuan yang ada. Kasihan. Iba. Mulai lagi. Pelan-pelan. Sampai mengerti.
Kalau yang cepat tangkap, kita bangga. Ada godaan untuk “memanjakan” yang pintar. Tapi itu salah. Tidak boleh. Tidak sehat untuk perkembangan anak-anak. Ada juga yang kritis. Suka menyela. Suka debat. Sekalipun dengan pengetahuan sepotong. Mati-matian. Berkelahi dengan logika. Tidak mau menyerah.
Ada yang memang benar-benar malas. Sama sekali tidak mau berusaha. Selalu ingat rumah. Mau dimanja. Menarik perhatian. Cari muka. Suka lapor kesalahan teman lain. Egois. Tidak mau bekerja sama. Sombong. Sebaliknya, ada juga yang selalu minder. Rendah diri. Pemalu. Lugu. Polos.
Semua adalah bagian dari ujian terhadap kesabaran, keikhlasan, dan kerja keras saya.
Pertemuan guru berakhir pukul 14.30 WITA. Semua sudah pada lapar. Setelah pertemuan selalu ada makan bersama. Menu tetap, ayam goreng, mie goreng, sayur sawi, juice, atau puding. Kebersamaan di ruang makan. Korps para guru. Menyisakan senda gurau di balik tembok seminari.
Terima kasih guruku. Kalian adalah bagian dari anugerah terbesarku.*
Permenunganku:
“Nasib guru memang selalu tidak sebaik muridnya. Pilihan hidup menjadi guru adalah kesadaran untuk mengabdi secara tulus, tanpa pamrih, hidup pas-pasan. Padahal, kalau mau dihitung jasa-jasanya, pengabdian seorang guru mempunyai nilai yang tidak terkirakan, tidak dapat dibalas dengan cara dan bentuk apapun. Mulia. Karena yang dicerdaskan adalah manusia. Humanisasi. Sebuah pekerjaan demi kebaikan dan kemajuan. Sama dengan pekerjaan Sang Pencipta. Mengajar, mengingatkan, membentuk, menobatkan, dan memberikan jalan, terang, dan kebenaran itu sendiri. Satu yang pasti, tempat guru adalah di surga”.



[1] Saya teringat akan Tan Lape. Ulah ini memang khas si jangkung yang punya bakat di musik. Tan Lape kapan-kapan kita ulangi lagi kenakalan ini.
[2] Kelas III IPS, ada-ada saja taktikmu.

No comments: