Tuesday, 1 April 2008

Sejenak Pulang Ke Rumah


Persiapan dadakan atau sama sekali tidak ada persiapan membuat saya mengambil keputusan untuk pulang sejenak. Lagi pula orang tua sama sekali belum tahu kalau saya sudah masuk tempat TOP. Belum ada signal. HP pun belum dikenal. Komunikasi satu-satunya hanya dari Wartel atau Telkom. Itu pun kalau orang tua saya ke Maumere atau ke Geliting. Baru ada Wartel. Selebihnya komunikasi kami hanya melalui kontak batin.
Ikatan orang tua terhadap anak memang begitu kuat. Dalam kondisi apapun, orang tua selalu tahu seperti apa keadaan anaknya. Mereka juga tahu riak-riak yang sedang terjadi di hati anaknya. Betapa pun nakalnya, betapa pun menjengkelkan, betapa pun memprihatinkan, orang tua tetap tidak meninggalkan anaknya. Mereka begitu sayang pada anaknya. Orang tua adalah representan Tuhan yang Maha Pengasih. Tiada habis cinta-Nya. Tiada lelah Dia mendamping, menuntun, mencari yang hilang, dan menerima pertobatan. Merekalah Tuhan bagi saya.
Waktu kecil saya juga nakal. Bukan hanya sekali bapa mengayunkan tangannya dan menampar pantat saya. Kalau bukan dengan tangannya yang kokoh, pasti dengan kayu. Kalau sudah begitu, saya biasanya menangis. Kadang saya lari dari rumah. Bersembunyi di tempat yang tidak bisa dijangkaui orang tua. Tapi bapa punya cara sendiri untuk melerai hati saya. Sesudah memarahi saya, dia menghaluskan kembali hati saya yang carut marut. Terakhir kali dia menggendong saya, waktu saya kelas 1 SD. Setelah itu, saya ditempa untuk hidup mandiri.
Bapa dan ibu saya paling berjasa dalam menempa watak seni saya. Bapa sangat suka drama, terutama kisah sengsara Yesus. Seingat saya, bapa pernah menyutradarai pementasan drama kisah sengsara Yesus di Gereja Talibura.[1] Saya rasa bapa hebat. Dia melatih orang-orang biasa, yang tidak berpendidikan, biasanya di kebun, bergaul dengan cangkul dan tanah, menjadi aktor drama yang memukau sekaligus mengharukan. Kisah pementasan itu berakhir dengan tangisan massal.
Memori saya merekam dengan sangat baik, di balik kesuksesan pementasan itu, mama juga berperan besar. Semua kostum merupakan hasil jerih payah tangan terampil mama. Jenggot-jenggotan, pakaian serdadu dari kardus dan kertas minyak, rambut palsu dari ijuk, gambar wajah Yesus di kain putih, tombak dan perisai, bunga karam tempat Yesus minum, semuanya merupakan hasil karya mama. Ini sebuah kerja sama yang apik dan penuh kasih sayang.
Di waktu senggang, mama atau bapa selalu menceritakan dongeng-dongeng menarik. Bawang Merah Bawang Putih, Keong Mas, Sangkurian, Tangkuban Perahu, Candi Roro Jonggrang, Kancil dan Buaya, Biji Kacang Ajaib, merupakan dongeng-dongeng yang menghiasi masa kecil saya. Betapa indahnya mendengar dongeng-dongeng tersebut. Sepertinya dunia ini tersusun begitu indah. Tidak ada yang susah. Tidak ada tangisan. Kalau pun ada penderitaan pasti selalu diakhiri dengan kebahagiaan. Dongeng menciptakan sebuah garis lurus kebahagiaan dalam hati dan pikiran saya.
Hari Jumad adalah hari yang ditunggu-tunggu. Kami baru mempunyai TV pada saat saya kelas IV SD. Itu pun masih TV hitam putih. Listrik belum ada. Sampai sekarang listrik di Waigete[2] masih menyala dari jam enam sore menuju jam enam pagi. Belum dua puluh empat jam. Karena itu, kalau mau nonton TV, kami pakai accu. Serunya hari Jumad, karena mama pasti mengajak kami mendengarkan sandiwara radio, Radio Australia. Ada kisah Tutur Tinular, dengan pelaku-pelaku yang masih saya ingat terus sampai sekarang. Misalnya, Arya Kamandanu (Ini jagoan sekaligus favorit saya), Sakawuni, Ayu Wandira, Ranggalawe. Lucunya, kalau cuaca lagi mendung. Daya tangkap radio kami agak terganggu. Jadi harus pasang kuping rapat-rapat di radio supaya suaranya kedengaran. Mama biasanya mengatur posisi radio seapiknya, tahan posisi, supaya gelombang yang diterima dengan baik itu tidak segera berubah dan bunyinya menjadi kresek....kresek.... Kesal benar kalau ceritanya lagi seru, eh...malah bersambung ke minggu depan. Makanya, hari Jumad adalah hari yang paling ditunggu-tunggu.
Selain sandiwara radio, kami juga dibiasakan mendengarkan berita radio. Mama mengajarkan kami menyimak berita. Sesekali mendengarkan lagu. Sesekali mendengarkan pembacaan puisi. Maklum, mama orangnya puitis. Suka puisi. Saya pernah membacakan puisi karya mama. Dengan bangga saya sebutkan nama mama saya sebagai penulisnya.
Mama paling cerewet kalau saya salah berbahasa Indonesia. Sekalipun hanya perawat, logika alamiah mama begitu teratur. Mama tidak segan-segan membantai logika berpikir saya yang keliru. Tegas. Kritis. Mungkin dari sini saya belajar soal retorika dan seni berorasi. Banyak teman bilang, saya begitu luar biasa dalam soal pemilihan kata. Tapi itu semua keluar begitu saja dari pikiran dan hati saya. Tidak pernah ada yang dibuat-buat atau yang dicatut. Semua alami. Baru sesudah itu, saya menyadari kebiasaan mama membantai logika berpikir saya itu memacu saya untuk berpikir kritis. Mama juga mengilhami perkembangbiakan bahasa saya menjadi lebih sempurna.
Kalau soal tulis menulis, dua-duanya memang sama-sama hebat. Pernah sekali saya membuka diari bapa dan mama. Sembunyi-sembunyi. Mungkin sampai sekarang mereka tidak tahu. Biasanya mama hapal betul letak pakaian di lemari. Sedikit saja berkerut, mama langsung memanggil kami untuk mempertangungjawabkan keusilan kami mengobok-obok pakaian di lemari. Mama juga hapal betul cara kami mengobok-obok pakaian. Model seperti ini tentunya saya, kalau yang ini, pasti adik saya. Saya sendiri heran dari mana mama bisa tahu. Tapi waktu saya lihat diary itu, luput saya dari penglihatan mama.
Diary yang sudah usang di makan usia itu penuh dengan corat coret. Ada tulisan tangan bapa. Ada juga tulisan tangan mama. Semuanya dalam bentuk puisi. Indah berirama. Ternyata dari sini saya dilahirkan. Oleh tulisan-tulisan inilah saya ada. Dan karena kata-kata magis inilah, kami tumbuh menjadi anak-anak yang suka puisi, prosa, artikel. Buah jatuh tidak jauh dari pohon, kecuali di tebing.
Bapa dan mama biasanya sudah bangun tepat pukul lima pagi. Kami juga ikut bangun. Bapa langsung pegang sapu dan membersihkan halaman rumah. Mama langsung ke dapur untuk memasak. Saya menggunakan waktu itu untuk belajar, atau sekedar mengulang pelajaran kemarin. Jam enam, bapa sudah selesai membersihkan pekarangan rumah dan mama mempersiapkan sarapan pagi. Kami sarapan bersama. Kemudian mandi bergiliran. Biasanya saya duluan karena tidak mau terlambat ke sekolah. Kemudian baru bapa dan mama. Kebiasaan itu kami lakukan setiap pagi.
Sore hari, ketika semua sudah bercengkerama kembali, kami biasanya diajak ngobrol bersama. Mama atau bapa mengajak kami ngobrol tentang apa saja. Kadang saling kelakar, dan diakhiri dengan tawa panjang. Malam hari pun demikian. Tapi kalau saya ada PR atau tugas rumah, bapa atau mama mendampingi saya menyelesaikan tugas belajar. Bapa tidak terlalu keras dalam mendampingi belajar saya. Tapi mama, begitu keras. Mistar selalu di samping. Kalau saya tidak berhasil atau salah dalam menyelesaikan tugas, ibu jari saya selalu kena sasaran mistar. Mama mendidik kami untuk tidak malas, tekun, teliti, tidak pernah puas dengan keadaan yang sekarang.
Dalam memilih dan menentukan cita-cita, bapa dan mama tidak pernah memaksakan kehendak mereka. Mama pernah menganjurkan saya untuk menjadi dokter. Tetapi itu semua diserahkan sepenuhnya pada saya. Saya diberi kebebasan menentukan sendiri pilihan saya. Nah, waktu saya mengutarakan akan masuk seminari dan ingin menjadi pastor, keduanya begitu mendukung saya. “Kalau memang itu keinginanmu, kejarlah cita-citamu.” Saya begitu serius dengan pilihan saya itu. Sendiri mengisi formulir. Sendiri menghadap pastor paroki. Dan sendiri pula pergi testing. Bapa dan mama tidak pernah repot dengan cita-cita saya itu. Sekalipun saya anak laki-laki tunggal, penerus keturunan dan ahli waris menurut tradisi setempat, mereka tetap membiarkan saya ke seminari, setelah saya dinyatakan lulus testing.
Mama yang mengantar saya ke seminari. Bapa tinggal. Jaga rumah. Uang sekolah saya sudah dilunasi setahun. Mereka begitu percaya dengan saya. Saya tidak mungkin lari. Seperti kebiasaan anak yang baru masuk. Rindu akan rumah dan orang tua. Saya tidak. Malah ketika mama pamit untuk pulang. Saya tidak merasa kehilangan apa-apa. Tidak merasa sedih. Karena di sinilah cita-cita dan tempat saya.
Tetapi di satu masa saya pernah sangat merindukan kehadiran bapa dan mama. Malah membenci bapa dan mama. Karena saya cemburu dengan teman-teman yang lain. Selama kurang lebih enam tahun, hampir tidak pernah saya dikunjungi. Diberi kiriman “lombok”[3] atau “ikan balik tomat” atau “lombok ikan” misalnya. Sementara teman-teman lain mengalami hal yang berbeda dari saya. Hampir tiap minggu atau bulan, selalu saja ada waktu orang tua mengunjungi mereka. Selalu saja dapat kiriman. Mereka pun selalu bisa jajan dengan sesukanya. Karena hampir setiap kali kunjungan orang tua itu, saku mereka penuh uang dan ole-ole. Sementara saya, uang saku hanya Rp. 50.000 per tahun. Tidak ada tambahan lagi. Lima puluh ribu tok. Jadi saya harus hidup sederhana, sungguh-sungguh hemat. Hidup apa adanya.
Kadang saya harus bergantung dari kebaikan hati teman-teman. Kalau diajak ke rumah om, atau tanta, atau orang tua mereka, saya begitu senang. Saya tidak perlu jajan. Ajakan mereka membuat saya sesekali bisa makan enak. Kadang saya ikut nimbrung makan “kiriman” teman. Itu semata-mata karena saya punya jasa tertentu. Bantu menyelesaikan PR, misalnya. Merangkaikan kata-kata puitis untuk teman “kores”-nya. Atau menjadi tempat sampah untuk segala suka dan duka mereka. Memang tidak baik menghitung jasa sendiri. Tapi justru itulah yang saya dapat ketika saya berbaik hati dengan sesama teman tanpa pamrih.
Malu juga bergantung pada kebaikan teman. Kebetulan waktu itu majalah Mingguan DIAN punya kolom khusus untuk Opini Remaja. Berbekal bakat dan kemampuan menulis, saya coba mengirimkan artikel secara rutin ke DIAN. Dalam menulis saya mungkin jagonya. Selalu menjadi juara I pada lomba menulis. Hal ini ditunjang dengan hobi saya melahap buku-buku bacaan, apapun isi dan materinya. Saya mau tahu tentang segala hal. Karya orisinil saya yang diterbitkan pertama kali bertemakan “Kartini”. Saya tulis menyongsong Hari Kartini. Begitu senangnya saya karena karya saya itu diterbitkan.Ternyata kebanggan itu bukan saja menjadi kebanggaan saya. Romo perfek, teman-teman kelas, teman-teman seangkatan pun ikut berbangga. Saya menjadi perintis siswa menulis di koran. Artikel saya selalu saja dimuat. Terhitung sejak pertama diterbitkan, ada sekitar delapan sampai sepuluh artikel.
Suatu waktu, saya dipanggil Romo Perfek di kamarnya. Kalau dipanggil berarti ada sesuatu. Dan sesuatu itu umumnya soal pelanggaran tertentu. Ini sudah menjadi pendapat umum. Sejenak saya coba koreksi diri. Nihil. Romo tidak punya alasan untuk memanggil saya. Tidak ada pelanggaran berat yang saya buat sepanjang pekan ini. Apa ya!
Pintu bapa asrama saya ketuk. “Masuk!” Saya melangkah ragu-ragu. Selain Romo, menanti pula seorang bapak. Saya tidak tahu kalau itu wartawan DIAN.[4] “Duduk!”. Saya duduk dengan wajah penuh tanda tanya. “Ini Yopi Susanto”. Bapak itu angguk-angguk, tersenyum, lalu mengulurkan tangan, memperkenalkan diri. “Saya dari DIAN, mau memberikan sedikit ole-ole buat Yopi”, kata bapak itu. Saya sudah lupa namanya. “Artikel Yopi sudah banyak yang dimuat di DIAN. Dan semua artikel itu ada hitungannya. Ada royaltinya. Semuanya ada di sini. Hitung sendiri”, lanjut bapak tadi. Hati saya berbunga-bunga, bangga, senang, tak karuan. Ragu-ragu saya melihat ke arah bapa asrama saya. Dia mengangguk tersenyum. Kemudian saya hitung-hitung. Jumlahnya cukup banyak untuk standar dulu. Sekitar seratus lima puluhan lebih. Kemudian bapak itu pamit dan meminta saya untuk rajin menulis.
Aturan seminari, kami tidak boleh pegang uang saku sendiri. berlaku sampai kelas III SMA atau kelas enam. Jadi uang saku tersebut langsung saya berikan pada Romo. Rupanya Romo mengerti. Mungkin untuk pertama kalinya Romo melanggar sendiri aturan yang dibuatnya. “Kamu mau pegang berapa?” Saya ragu. Apa ini jebakan atau tulus. Sambil tersenyum, Romo mengulangi lagi perkataannya. “Kamu mau pegang berapa?” Saya lihat ke arah Romo. Masih juga tersenyum. Kemudian Romo melanjutkan. “Ini serius!”. Cepat-cepat saya bilang, “Lima puluh saja, Romo. Untuk kebutuhan harian saya!”
Kemarin mungkin saya membenci keluarga saya. Bapa mama saya. Menyesal dilahirkan di tengah keluarga seperti ini. Tapi hari itu, saya betul bahagia dengan diri saya. Hasil jerih payah saya. Dan keluarga saya. Kenapa! Secara tidak langsung mereka sudah memberikan saya kesempatan untuk mandiri dan membantu meringankan beban mereka. Mereka sangat percaya bahwa saya bisa membantu diri saya sendiri. Dan saya temukan apa yang ada pada diri saya. Apa yang sudah ditanam sejak dari rahim ibu. Apa yang diajarkan bapa dan mama saya. Yaitu kemampuan menulis. Merekalah guru pertama yang memberikan kata-kata pada pikiran, mulut, dan tangan saya. Saya terharu sekaligus merasa bersalah.
Sesungguhnya saya menyadari, begitu beruntungnya saya dilahirkan dalam keluarga seperti ini. Saya bangga dengan bapa dan mama saya. Mereka sudah melunaskan hutang yang Tuhan titipkan pada mereka dengan begitu indah. Mereka menyusun hati dan pikiran saya dengan rasa sayang, damai, kasih, ampunan. Menuliskan sejarah kehidupan saya dengan begitu rapi, teratur, dan tak tergantikan. Tidak ada goresan yang menyakitkan. Tidak ada celaan. Tidak ada kata kasar. Tidak ada gurat duka. Semua indah dan membahagiakan. Terima kasih bapa dan mama.
***
Saya tiba di rumah sore hari menjelang malam. Setelah mandi dan makan, langsung saya bicara dengan kedua orang tua saya. Tempat TOP sudah memanggil saya. Bapa dan mama tidak banyak komentar. Mereka juga tidak bisa berbuat banyak. Mereka sendiri sudah merelakan saya menjadi milik orang banyak, milik Tuhan. Karena itu, ke mana Tuhan membawa saya, ke situlah mereka mendukung dan mendampingi saya.
“Seminggu lagi kamu tinggal di sini. Setelah itu kamu ke tempat TOP” pinta mama. Saya tidak langsung mengiyakan. “Tapi tempat TOP sudah memaksa saya untuk hadir di sana”. “Kamu itu selalu begitu. Tidak hilang disiplin kamu. Tidak hilang juga sifat kamu yang tidak mampu menolak permintaan orang lain” kata mama lagi. Waktu berjalan. Saya akhirnya mengalah. Seminggu lagi saya berlibur. Toh saya akan pergi untuk jangka waktu dua tahun. Baiklah kesempatan ini saya gunakan untuk melepaskan rindu bersama kedua orang tua saya.
“Kamu mau bawa uang berapa?” tanya bapa. “Tidak usah! Saya ada uang sendiri. Di tempat TOP semua kebutuhan sudah tersedia. Tidak usah banyak repot!” Malu juga lah...sudah besar masih juga ngemis uang sama orang tua. Seharusnya di usia seperti ini saya sudah produktif. Tapi mau apa. Jadi calon imam dan imam berarti berani hidup miskin. Tidak punya apa-apa. Hanya berharap dari kebaikan umat. Tentunya juga Tuhan. “Jadi kamu tidak butuh uang?” tanya bapa lagi. “I-ya!”.
Saya benar-benar menikmati masa-masa liburan di rumah. Tapi tidak lagi seperti dulu. Saya sudah tumbuh menjadi laki-laki dewasa dengan otonomi berpikir sendiri. Makan olahraga, tidur, nonton, pesiar ke Wairterang, pantai yang indah, atau ke Nangablo, juga sama indahnya, atau mengunjungi keluarga di sekitar.[5] Makan ubi bakar, daun pepaya yang diasap, dan ikan pepes yang dikubur dalam tanah, di atas bara api menyala. Lama kelamaan bosan juga. Sudah terbiasa dengan selalu ada aktivitas kemudian berhenti total buat pikiran menjadi buntu, dan hati menjadi keruh. Karena itu, sesekali saya ke Maumere. Kunjungi teman-teman. Malam mingguan di Pelabuhan, sekalipun cuma jadi obat nyamuk buat teman-teman yang lagi pacaran.
Rencana semula hanya seminggu molor menjadi dua minggu. Kali ini tidak bisa ditunda lagi. Saya harus masuk tempat TOP dan mulai dengan pengabdian dan tugas yang baru.
Sehari sebelum saya berangkat, kami makan menu spesial buatan mama. Mama potong ayam. Seperti kebiasaan di keluarga kami kalau ada peristiwa besar atau istimewa, kami biasanya potong ayam. Sederhana dan seadanya. Yang penting kebersamaan dan ucapan syukurnya. Ini juga satu bentuk dukungan keluarga atas diri saya. Senang rasanya dibuat acara seperti ini. Teringat akan masa dulu, waktu saya ulang tahun. Ada ayam dan ada nasi kuning. Teman-teman di samping, dan bapa mama mengapiti saya. Semua nampak bahagia, seperti pada malam ini.
Ada yang mungkin berpikir, pergi TOP saja potong ayam, bagaimana dengan acara wisuda, sambut baru, tahbisan. Orang Maumere kan suka pesta dan “tukang” buat pesta besar.[6] Sejujur-jujurnya kami tidak pernah dipestakan. Acara sambut baru alias komuni pertama saya juga berlangsung seadanya saja. Teman-teman lain pada buat pesta besar-besar. Makan ongkos. Kemudian pikul utang di hari esoknya. Kalau saya, tidak ada undangan. Tidak ada nari menari. Tidak ada pemotongan sapi. Hanya syukuran kecil-kecilan bersama keluarga dekat saja. Kami sudah terbiasa dengan hidup sederhana, apa adanya, tidak boros, juga tidak egois.
Setelah makan, saya siapkan segala sesuatu yang perlu. Buku-buku yang perlu saya bawa dan sekiranya akan saya gunakan untuk mengajar nanti. Pakaian seadanya. Sabun, odol, sikat gigi, alat cukur, dan yang paling penting: jubah dan brevir! Satu tas dan satu dos. Enteng. Saya biasanya tidak mau repot-repot. Simpel saja. Hidup sudah susah, jangan buat beban baru. Praktis. Dan yang perlu saja.
Besoknya, saya pamitan. Meninggalkan lagi rumah yang penuh dengan kenangan masa kecil itu. Meninggalkan busur yang senantiasa melesatkan saya. Meninggalkan Tuhan yang saya puja dan sanjung selalu. Meninggalkan rahim saya. Sesungguhnya hanya rumah yang saya tinggalkan. Mereka tetap hadir selalu di hati saya. Ke mana pun saya pergi dan berada.(*)
Permenunganku:
“Keluarga adalah dunia pertamaku dan dunia pertamamu. Keluarga itu rasa syukur dan anugerah terbesar. Ke mana pun anda pergi dan berada, keluarga tidak mungkin akan bisa lepas dari dirimu. Semuanya adalah bingkisan keluarga. Sampai jiwamu, watakmu, kata-katamu, mimikmu, adalah keluargamu. Apa pun yang terjadi dalam keluargamu, anda mesti selalu punya waktu untuk memaafkannya. Karena dengan begitu, anda tidak akan dihantui oleh rasa luka yang terus menyayat. Keluarga adalah sumber kegembiraan dalam hidupmu. Dia inspirasi sejati. Membenci keluargamu berarti merusak dirimu sendiri. Memaafkan keluargamu adalah rahmat terbesar. Sekali-kali jangan membenci bapa dan mamamu. Sebab anda tidak akan lagi dan tidak akan pernah mempunyai bapa dan mama kelak, di surga atau pun di neraka, kalau anda membenci bapa dan mamamu. Percayalah, mereka adalah orang-orang yang paling menyayangi kamu, sebagaimana adanya kamu.”

[1] Sekitar 30 kilometer dari Kota Maumere, Flores, NTT
[2] Dulunya perwakilan kecamatan Talibura. Sekarang sudah menjadi kecamatan sendiri. Sekitar 23 kilometer dari Kota Maumere, Flores, NTT
[3] Kebiasaan orang Flores, sambal selalu disebut dengan lombok, apapun bentuk olahannya
[4] Sebuah Surat Kabar Mingguan yang beredar di hampir seluruh daratan Flobamora
[5] Kabupaten Sikka terkenal memiliki garis pantai yang indah. Selain pantai pasir putih yang masih sangat asli, panorama taman laut yang eksotis, juga indah karena persetubuhannya yang alamiah dengan barisan nyiur melambai. Banyak turis yang berdatangan ke Kota Maumere dan sekitarnya hanya untuk menikmati keindahan pantai dan lautnya.
[6] Rata-rata orang Flores suka pesta. Peristiwa-peristiwa penting dalam hidup, semuanya dipestakan. Secara sosiologis kultural, pesta merupakan moment persaudaraan. Semua keluarga besar, sahabat dan kenalan berkumpul dan merayakan moment bersejarah itu. Pesta diidentikkan juga dengan korban binatang. Tidak jarang ada yang sampai tiga empat binatang korban. Memang agak berbau pemborosan. Tetapi mau bilang apa, pesta sudah menjadi tradisi. Budaya yang susah diubah.

No comments: