Tuesday, 1 April 2008

Kembali Ke Mataloko


Untuk kedua kalinya saya harus tinggal di Mataloko. Kalau mau dihitung hari per hari, tidak tahu berapa lamanya. Masa perkenalan pertama saya dengan Matalako dimulai saat saya diterima menjadi siswa Seminari St. Yoh. Berkhmans di Mataloko.[1] Awalnya memang berat. Dingin. Sampai bibir dan kulit pada pecah-pecah. Tergerak hati ingin pulang ke Maumere.[2] Sekalipun panas, kulit dan bibir saya tidak pecah-pecah seperti ini. Namun apa daya. Jarak Maumere – Bajawa terlampau jauh. Sudah begitu jalannya pun rusak parah. Kalau tidak hati-hati, sedikit lengah, jurang Ende – Maumere sudah menanti ganas.
Sekarang saya bukan lagi seorang siswa. Surat Keputusan (SK) menunjukkan penempatan TOP[3] saya di Seminari Mataloko. Senang juga kembali lagi ke almamater dan mengabdi di sana. Satu kesempatan diberikan. Mengucapkan terima kasih kepada ibu yang sudah membesarkan saya selama kurang lebih enam tahun.
Kata teman-teman saya, “Kamu itu sama saja pindah tempat tidur. Tidak ada bedanya seminari tinggi dan seminari kecil.”[4] Ada juga yang mengatakan dengan nada mengejek, “Selamat weh...jadi guru buat siswa seminari. Saya tidak bisa mengelak dari komentar-komentar ini. Setengahnya saya setuju. Kemudian hanya bisa menyimpan semua itu dalam hati. Sama seperti Bunda Maria yang menyimpan segala sesuatunya dalam hati. Pasrah. Saya yakin bahwa SK penempatan itu merupakan perpanjangan tangan Tuhan dari rencana yang sudah Ia tulis buat saya. Sekarang Ia sedang mewujudkan rencana-Nya itu dalam diri saya.
Tidak ada yang perlu dipersiapkan secara istimewa. Hanya pengabdianlah yang sebenarnya dibutuhkan. Makanya, saya lebih memilih jalan-jalan ke rumah teman-teman, ketimbang mempersiapkan TOP saya. Saya ke Ende, ke rumah seorang teman dekat. Beberapa hari di sana, saya lanjutkan perjalanan ke Bajawa. Salah satu teman baik saya ulang tahun. Kami seangkatan memang sudah sepakat akan merayakan bersama-sama sebelum kami benar-benar berpisah ke tempat TOP masing-masing.
Tiga hari di sana, tahu-tahu saya “diambil paksa” oleh Romo Praeses[5] Seminari Mataloko dari rumah teman saya itu. Benar-benar tanpa persiapan. Baju dan celana seadanya. Handuk masih basah karena memang musim dingin. Tidak ada buku-buku. Tidak ada jubah. Saya diberikan sebuah kunci kamar. Saya pikir kamar sudah diatur rapih. Eh, ternyata masih berantakan. Cuma ada tempat tidur kosong tanpa kasur dan sebuah lemari.
Pas benar. Ada pertemuan guru dan pembina. Istilah guru dan pembina ini agak unik. Dari dulu memang sudah dibedakan. Kalau guru, berarti yang dimaksudkan adalah guru-guru awam. Dan pembina berarti imam, frater, suster yang ada dalam komunitas kecil Unit C[6], dan menjadi pendamping para calon imam setiap harinya. Hari itu saya bertemu kembali dengan mantan pembina, pendamping, dan guru-guru saya dulu. Memang tidak semuanya. Ada juga wajah-wajah asing yang mengisi bangku guru-guru. Ini sebuah reuni tampaknya. Saya disambut dengan tepuk tangan. Tersanjung. Benar-benar tersanjung. Karena tidak menyangka tepukan tangan itu diberikan pada saya. Oleh mereka-mereka yang nota bene pernah menjadi guru dan pembina saya. Sebuah kehormatan istimewa yang tidak pernah saya lupakan.
Malam hari saya makan di unit C. Saya teringat waktu masih menjadi siswa. Unit C memang merupakan kerinduan semua siswa. Dari sana kami melihat ada tumpukan roti, keju, buah-buahan, daging, susu, sayuran segar. Jauh berbeda dengan menu makan yang menjadi bagian kami waktu itu. Nasi jagung atau jagung nasi, karena tidak bisa lagi dibedakan antara nasi dan jagung, saking banyaknya jagung ketimbang nasi. Sayurnya “kol berenang”. Sudah kuah lebih banyak dari sayurnya, tidak ada rasa lagi! Kadang kami temukan ulat di sana. Sesekali kami selingi menu makan kami dengan buah alpukat dicampur pisang. Alpukat kami “curi” (seminari koq nyolong!) dari kebun. Atau kalau ada minyak ikan, wah...lezat benar! Syukur-syukur kalau teman-teman dapat kiriman lombok dan ikan. Cukup baunya saja sudah membuat selera makan meningkat sampai dua piring. Itu berarti kami siap-siap “bon” alias minta nasi di meja makan tetangga.
Pernah sekali saya punya kesempatan makan di Unit C. Tapi harus didahului dengan sebuah “tragedi”. Saya juga sudah lupa kelas berapa waktu itu. Kalau tidak salah, kelas dua SMP. Jam makan malam sudah berbunyi. Biasanya kalau saat makan semua orang pada senang. Lain dengan siswa seminari. Ada beban tersendiri. Terpaksa makan. Semua berarak menuju kamar makan. Setelah doa, lalu mulai makan. Kamar makan waktu itu ramai sekali, seperti pasar. Semua berebutan mau cerita. Ini makan atau ngobrol (?) Tapi begitulah caranya kami memupuk kebersamaan dan mengimbangi menu makan yang tidak membangkitkan selera itu.
Tiba-tiba suasana di ruangan makan menjadi senyap. Tahulah apa yang sedang terjadi. Pasti ada Romo di sebuah sudut. Selang beberapa detik, bunyi lonceng kecil disusul suara Romo memberikan pengarahan dan pengumuman. Bergema di semua sudut kamar makan. Di pertengahan pengumuman itu, tanpa sengaja saya mencecap. Nasi ada yang tersangkut di sela-sela gigi saya. Celakanya, Romo mendengar suara cecapan saya. “Siapa itu! Jujur dan angkat tangan!” Hati saya mulai kebat-kebit. Sesuatu pasti akan terjadi atas diri saya. Saya dipanggil ke tengah ruangan. “Apa maksud kamu?” Saya diam saja. “Kamu mau melawan saya?”. Kali ini saya bersuara karena saya merasa suasana sudah tidak menguntungkan saya. “Ti...” Baru saja saya mau mempertanggungjawabkan cecapan saya itu, sebuah tamparan dengan tangan kiri mendarat pas di muka saya. Pedis rasanya. Mungkin juga merah meramu. “Kembali!” kata Romo.
Saya duduk. Tidak ada niat lagi untuk melanjutkan makan. Saya menangis dalam hati tanpa ada setetes air mata pun mengalir. Malu. Sepertinya saya ditelanjangi. Dan saya coba untuk menutupi ketelanjangan saya itu dengan tidak menangis. Tetap tegar dalam tengkurap. “Ini sebagai peringatan bagi siapa saja yang tidak mau mendengarkan saya!” lanjut Romo. Saya tunduk, tahu bahwa semua orang lagi memperhatikan saya.
Selesai Romo bicara, kami diajak berdiri dan berdoa. Makan telah selesai. Semua bergegas menuju kelas untuk belajar. Yang bertugas mencuci piring, lap meja, dan sapu kamar makan dengan segera menuntaskan tugas-tugas kecil mereka itu. Waktu itu saya lagi tidak ada tugas. Karena itu, saya mau langsung ke kamar makan. Tahu-tahunya salah seorang adik kelas saya menyampaikan pesan Romo supaya saya segera menghadap beliau. “Apa lagi? Belum puas juga?”
Saya segera menghadap Romo. “Kenapa kamu tadi?” tanya Romo, kali ini dengan suara yang sudah agak reda. Saya menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. “Kamu dengar pengumuman Romo?” Kemudian saya menjelaskan isi ringkas pengumuman Romo. “Kamu sudah makan?” Saya mengangguk.“Mari ikut saya”, ajak Romo. Kemudian Romo minta maaf atas kesalahannya. Tapi tamparan dan rasa malu tadi tidak bisa kembali dengan sendirinya bersamaan dengan permintaan maaf Romo. Saya diajak ke kamar makan Unit C. “Kamu temani Romo makan.” Blessing in this guest. Saya memang lagi lapar. Tuhan memberkati. Setelah penderitaan, Dia memberikan saya kesukaan baru dan istimewa. Ayam goreng, sayur labu jepang, pisang, dan susu. Empat sehat lima sempurna sekaligus aksi “balas dendam”.
***
Makan malam selesai, saya diajak doa malam bersama. Ini kebiasaan orang biara. Setelah makan atau sesudah rekreasi ada doa malam bersama. Kalau tidak diambil dari “brevir”[7], berarti dari ibadat malam biasa. Kadang-kadang juga ibadat sabda dengan penekanan pada permenungan tertentu. Saya tidak sabaran mengikuti ibadat malam. Kata dan ajakan “ibadat malam” mengingatkan saya pada kapel seminari tercinta. Dengan serta merta saya begitu merindukan bau khas dan suasana kapel.
Dilihat dari bentuknya, kapel seminari itu khas artistikal Eropa. Gaya gotik dengan ruang-ruang misa pribadi, loteng menjulang memberi makna Tuhan yang ada di atas di ketinggian yang maha kuasa, dan lampu Allah yang selalu berkelap kelip. Selain suasananya yang agung, ada dua tempat favorit di kapel itu yang membuat saya terus menerus tidak merasa jenuh berkunjung ke situ. Secara pribadi maksudnya, dan terkesan “sembunyi-sembunyi”. Takut dicap teman-teman sebagai “tabernakel berjalan” atau “beato”. Kami selalu memberikan stempel-stempel seperti itu kepada teman-teman yang rajin berdoa dengan sikap doa yang betul-betul religius. Gestikulasi dan oratorialnya seolah-olah seperti seorang “beato”, kudus yang patut ditertawai, kudus yang dilecehkan, dan “tabernakel berjalan”, karena nampak begitu sakral dan tidak bisa digangu. Dua tempat itu, ialah tabernakel dengan patung Hati Kudus Yesus yang besarnya menyerupai manusia, dan organ di samping soundsystem.
Waktu-waktu luang saya selalu sembunyi-sembunyi datang ke kapela untuk melatih keterampilan organis dan pianis saya. Tidak semua orang bisa menggunakan organ tersebut. Hanya mereka yang terpilih menjadi organis yang bisa menggunakannya. Saya termasuk organis. Tapi dibandingkan teman-teman, kemampuan saya tidak seberapa. Piano dan organ hanya sebuah pelarian saya, lebih tepat penyaluran dari rasa seni saya yang menggebu-gebu. Biasanya saya bermain tanpa irama, ketukan, nada, lagu yang jelas. Tergantung suasana hati dan ke mana jari jemari saya itu melentik. Ada kala dengan tekanan dan volume yang keras, kadang-kadang mengalir, cuma satu dua nada, cuma akord mayor, lembut mendayu-dayu, sampai menangis-nangis. Beruntung bahwa tidak pernah ada yang tahu kelakukan saya itu. Kalau tahu, saya bisa dibilang gila.
Saya juga datang ke kapela untuk berdoa, bermeditasi, atau hanya sekedar duduk di depan tabernakel dan patung hati kudus Yesus. Kedekatan saya itu ada ceritanya. Begini. Saya dilahirkan dari keluarga yang disiplin dan punya pengalaman istimewa dengan Tuhan. Ini soal kedisiplinan. Mengenang masa-masa SD, saya tergolong anak yang tidak mau teman-teman lain datang lebih dulu dari saya. Saya harus menjadi yang pertama ke sekolah. Sekalipun sekolah masih sepi, pintu kelas belum dibuka, dan lonceng peringatan masuk sekolah belum dibunyikan. Sedikit saja terlambat, atau sudah keduluan siswa lain, saya merasa “kegagalan” besar dalam hidup saya untuk hari itu. Saya juga dididik untuk selalu jujur, hidup apa adanya, suka damai, dan penurut.
Lain lagi cerita soal kedekatan saya dengan Tuhan. Dua hari lagi mau ujian kenaikan kelas, saya masih terbaring di tempat tidur karena demam tinggi. Waktu itu saya berontak. Mama saya, sekalipun perawat tidak bisa menyembuhkan saya dengan cepat. Obat dan suntikan sudah saya terima, tetapi demam belum juga reda, dan pusing di kepala saya semakin menjadi-jadi. Saya tidak mau ikut ujian susulan. Saya tidak mau gagal dalam sekolah. Saya tidak mau tahan kelas. Pantang bagi saya untuk “gagal” atau “tahan kelas”. Karena itu, saya berjuang untuk sembuh tapi tetap tidak bisa.
Melihat kegundahan hati saya, mama menganjurkan saya berdoa di patung keluarga kudus. Saya bangkit dari tidur dan berlutut di depan patung keluarga kudus. Saya pasang lilin sendiri. Tangan saya gemetaran. Gigi gemeletuk. Tapi saya sudah bertekad untuk berdoa mohon kesembuhan dari sakit dan bisa ikut ujian secara normal. Satu demi satu kata-kata saya luncurkan. Dengan polos saya minta pada Yesus agar menyembuhkan saya. Setelah itu, saya kembali ke tempat tidur. Hati saya menjadi begitu tenang. Damai. Pasrah. Saya tertidur begitu pulas. Tidak seperti hari-hari kemarin. Susah tidur karena memang panas tinggi dan kepala pusing. Suhu tubuh saya berangsur-angsur turun. Keringat membasahi tubuh saya.
Tepat jam enam sore, saat sayup-sayup terdengar lonceng gereja berbunyi tanda angelus dimulai, saya terbangun. Dan ajaib...saya sembuh. Suhu tubuh saya normal. Kepala saya pun tidak lagi pusing. Langsung saya doa angelus dan mengucap syukur pada Tuhan.
Peristiwa ini membuat saya begitu mencintai Yesus. Dia menjadi sahabat di masa kecil saya dan terus menjadi sahabat saya, ke mana saja saya pergi dan berada.
Terulang kembali. Kali ini terjadi di seminari. Cuma ceritanya berbeda. Pola kedisiplinan saya, tidak kompromi, taat, rajin yang sudah terbentuk dalam dirinya saya itu, terus saya bawa ke seminari. Tidak ada kesulitan sedikit pun mengadaptasikan diri dengan pola pendidikan seminari. Saya merasa seminari seperti rumah saya sendiri. Tapi sikap saya itu justru tidak diterima oleh kebanyakan siswa. Barangkali juga dilatarbelakangi oleh kecemburuan sosial. Saya menjadi siswa yang cukup menonjol dengan kecerdasan, bakat seni saya, kedisiplinan, ketaatan, tata krama saya. Para guru dan pembina pun memberikan perhatian plus buat saya. Ini barangkali pemicunya. Saya merasa dipecundangi teman-teman, dijauhi bahkan dicap sebagai “spion” alias “tukang lapor” alias “penjilat” alias “cari muka”. Saya benar-benar tidak mengerti dengan sikap teman-teman. Memang tidak semua, tetapi begitu dominan. Perasaan hati saya benar-benar diinjak-injak. Saya merasa begitu dilecehkan dan tidak ada artinya sama sekali. Terbuang dan terhempas. Dan perasaan itu semakin berkecamuk, menghujam perasaan hati saya dan tumpah ruah menjadi sebuah tangisan dan penderitaan.
Ke mana akan saya labuhkan kegundahan hati saya itu? Bersama tuntunan kaki melangkah, saya dibawa oleh perasaan itu menuju kapela. Di situ, untuk pertama kalinya saya menangis sebagai seorang siswa seminari. Menangis, kenapa teman-teman memperlakukan saya begitu kejam! Menangis, kenapa sesuatu yang sebenarnya baik kok dianggap salah di mata teman-teman. Menangis, kenapa harus saya? Di hati kecil, sama sekali saya tidak menaruh dendam, benci, marah terhadap teman-teman saya itu. Malah saya berdoa mohon agar mereka kembali lagi menjadi teman baik saya. Mohon agar “kesalahan” saya diampuni. Mohon agar “kesalahan” teman-teman saya diampuni. Dan luar biasa, saya merasakan sebuah “kesunyian yang membahagiakan”, sebuah kedalaman perasaan yang sedemikian dekatnya dengan Sang Tuhan itu. Waktu itu, seolah-olah Tuhan mengangkat tangisan saya. Dia menguliti kedukaan saya dan menggantikan sebuah perasaan yang sedemikian damai, tenang, pasrah, bahagia. Dia seolah-olah memeluk saya, memegang tangan saya dan mengajak saya berada dalam kerajaan-Nya. Ini mungkin perasaan yang sama, seperti yang dirasakan oleh Petrus, Yakobus, dan Yohanes di Kemah Tabor. Saya bahkan bisa mendengarkan suara-Nya berkata pada saya, “Tenanglah, Aku tetap akan menyertaimu. Sekarang bangkit berdirilah, dan kembalilah ke teman-temanmu!”
Serentak saya sadar. Melamun atau tertidur, saya sendiri tidak tahu. Sedemikian cepat dan tanpa saya sadari. Cuma saya masih merasakan bahwa Tuhan itu ada dan selalu mencintai saya. Kemudian saya keluar kapela dengan sebuah perasaan yang sulit dijelaskan. Sejak saat itu, saya kembali berada dalam kegembiraan teman-teman dan adik-adik kelas saya.
Peristiwa itu terus mengajak saya untuk senantiasa kembali ke kapela. Berlutut di depan tabernakel dan berdoa di hadapan Hati Kudus Yesus. Dalam segala situasi, gembira dan duka, saya selalu berpulang pada Yesus.
Satu cerita lagi. Kisah klasik yang selalu terulang dari generasi ke generasi, yang menarik, lucu, sekaligus memacu adrenalin adalah kisah SEMAT dan KARMAT.[8] Setiap generasi pasti punya kekhasannya dalam hubungan cinta monyet itu. Mungkin sudah diatur dari sononya, tidak tahu dari mana, siswa seminari itu pacaran dengan siswi SMP Kartini Mataloko. Ada yang terus langgeng sampai ke jenjang perkawinan suci. Seperti saya! (he...he...he...!).
Perkenalan saya dengan seorang siswi SMP Kartini dimulai dengan kedekatan saya dengan seorang adik kelas. Dia mengatakan bahwa ada kakak saya yang selevel dengan saya di Kartini. Kalau “kae” mau, “kores” saja dia. Cek punya cek, ternyata kakak adik kelas saya di Kartini itu memang jadi bintang di Seminari. Waktu itu, masih ada juga “teman dekatnya” di Seminari. Kakak kelas saya pula. Saya surut. Masak saya harus bersaing dengan kakak kelas saya. Dekat pula dengan saya. Biasa main badminton dan kerubuti “Konguan” bersama-sama. Tapi adik kelas saya itu terus desak. “Kae, kores saja dia, bilang saya yang suruh!” Tapi itu tidak boleh terjadi.
Satu langkah maju. Adik kelas saya itu titip “salam” buat kakaknya sendiri mengatasnamai saya. Katanya, saya mau kenalan dekat dengannya. “Salam” saya disambut dengan “salam” balasan. Saya heran, kok bisa-bisanya dia balas “salam” itu. Padahal dia masih punya hubungan dekat dengan kakak kelas saya itu. Tak terbendung. Gosip beredar di kalangan seminari dan kartini bahwa kami sudah jadian. Semua pada bertanya-tanya kebenaran gosip itu. Seperti Cek and Ricek. Saya menampik. Saya bilang ini ulah adik kelas saya itu. Tapi gosip tetap tak terbendung. Saya tidak berdaya.
Dalam sebuah kesempatan makan “kue” bareng, kakak kelas saya itu menanyakan kebenaran hubungan saya. Mati saya! Bisa-bisa supply kue dihentikan. Karena memang kami bergantung dari kiriman kue kakak kelas saya itu. Orangnya “tajir” bo![9] Saya bilang, itu tidak benar. Hanya isapan jempol. Gosip murahan. Tapi kemudian dia bilang. “Kalau kamu mau sama dia, “kores” saja. Saya kasih ke kamu!” “Ha...ha...!”
Saya adakan pendekatan lebih jauh. Saya intip dia, mau lihat mukanya seperti apa. Itu persoalan gengsi juga. Dapat yang “parah” bisa-bisa saya kena olok habis-habisan. Biar begitu, anak seminari juga pandai menilai mana cewek cakep dan mana yang “parahiyangan” alias re’e.[10] Habis misa saya cepat-cepat ambil ember. Pura-pura siram bunga di samping jalan keluar Gereja paroki Roh Kudus Mataloko. Siswi Kartini misa pagi di situ. Dan kami biasanya saling intip pada saat itu.
Salah seorang teman saya memberitahukan bahwa yang namanya “itu” sedang jalan dengan “itu”. Dia pakai jaket “itu” dan pita rambut “itu”. Saya perhatikan dengan saksama. Cantik juga orangnya. Tidak rugi. Waktu saya perhatikan dia, tanpa sengaja dia juga lihat ke arah saya. Wuah...dag dig dug jantung saya. Malu, ketahuan intip. Dia lantas tersenyum. Ehm...manis.
Sepanjang pelajaran hati saya tidak tenang. Mengenang wajahnya tadi. “Sedang apa dia ya?” Memang benar-benar saya tidak kosentrasi. Tugas matematika saya biarkan saja. Biasanya saya tertib. Sehabis pelajaran, kalau masih ada waktu tersisa, saya pasti langsung mengerjakan tugas matematika. Tapi pikiran dan hati saya lagi tidak mood. Diganggu terus menerus oleh perasaan yang sudah tertambat pada si “dia” itu.
Jam istirahat kedua biasanya lebih lama. Saya cari adik kelas saya, yang kakaknya digosipkan bersama saya itu. Baik teman-teman maupun adik-adik kelas pada komentar kalau saya dekat dengan adik kelas itu. Katanya, “eja o...!” alias “adik ipar o!”. Saya bilang ke dia, saya mau tulis surat buat kakak kamu. Dia bilang tulis saja, nanti saya yang antar. Ini adik kelas baik sekali. Kok kakaknya dikasih gratis buat saya. Sudah begitu dukung seratus persen.
Jam pelajaran terakhir, pas les geografi. Gurunya membuku amat. Sudah ada buku paket di masing-masing siswa, dia baca pula lurus-lurus dari buku tersebut, tanpa menghilangkan titik koma sedikit pun. Tidak ada penjelasan tambahan. Jadi benar-benar bukuisme, alias diktator. Karena sudah ada buku paket, ya bisa baca sendiri. Kesempatan itu saya gunakan untuk tulis surat.
Kertas suratnya istimewa. Waktu itu, yang paling digandrungi siswa seminari adalah kertas surat harvest. Sudah harum mewangi dengan gambar bunga mawar, ada juga kata-kata mutiara yang romantis di sebelah bawahnya. Satu per satu saya mulai rangkaikan kata-kata. Mimik saya waktu itu mirip seorang penyair. Chairil Anwar, barangkali. Sesekali saya berpikir, apa yang seharusnya saya tuangkan. Saya mau tampil beda. Tidak seperti kebanyakan surat siswa seminari. Selalu dimulai dengan ungkapan “Nyalakan api persahabatan”. Kemudian, “Kepada Yts. Bla bla bla di Meja Belajar”. Disusul, “Maksud kedatangan surat saya ini, ingin berkenalan denganmu. Karena itu, perkenankanlah saya memperkenalkan biodota singkat saya: nama.....dst”. Terus surat akan ditutup dengan salam demi salam yang panjangnya sampai berlembar-lembar. Ada salam “kirfus: kirim foto untuk saya”, “jalus: jangan lupa saya”, dll.
Akhirnya selesai juga. Tiga lembar. Saya lipat rapi, kemudian masukkan ke dalam amplop. Selesai pelajaran, saya serahkan surat saya itu ke adik kelas saya itu. Sore harinya, adik kelas saya itu minta izin ke Romo untuk keluar asrama. Dia bilang, mau singgah Kartini dan menyerahkan surat saya tersebut. Dag dig dug lagi hati saya. Dibalas apa tidak ya!
Selang tiga hari setelah surat saya itu tiba di tangannya, saya belum dapat balasan sama sekali. Dalam masa-masa penantian itu, hati saya tidak karuan. Segala sesuatu menjadi tawar dan tidak menggairahkan. Ada juga perasaan menyesal. “Kenapa saya berani tulis surat itu ya! Kenapa saya harus tulis seperti itu dan tidak mengikuti saja kebiasaan konvensional yang sudah ada”. Kalau saya tidak tulis surat, saya mungkin tidak terjebak dengan perasaan seperti ini. Malu juga kalau tidak dibalas.
Saya tidak sabaran. Kaki saya melangkah ke kapela dan berlutut di depan tabernakel, persis di Hati Kudus Yesus. Saya berdoa dengan khusuk meminta supaya dia bisa menjadi teman baik saya, kalau bukan menjadi “pacar” saya. Hari pertama saya berdoa, tidak ada hasilnya. Hari kedua, juga tidak ada hasilnya. Saya sudah putus asa dan mungkin tidak lagi ada harapan buat saya. Tapi saya tetap berdoa semoga dia menjadi teman baik saya. Hari ketiga, sore hari pada saat jam belajar kedua, menjelang makan malam, sepucuk surat tiba di hadapan saya. From: Karmat!
Semua anggota kelas pada heboh. Saya dapat surat dari Kartini. Biasanya ketua kelas bertindak membacakan nama dan alamat si pengirim, ditujukan kepada siapa di depan kelas. Jadi semua anggota kelas akan tahu. Di meja makan, soal surat itu menjadi salah satu topik hangat yang diperbincangkan. Dan semua siswa seminari akan tahu, siapa berpasangan dengan siapa. Tidak boleh ada lagi yang nekat tulis surat pada orang yang sama. Semacam rambu-rambu tanda larangan. Surat itu diserahkan pada saya. Teman-teman pada memaksa untuk buka dan baca beramai-ramai. Tapi saya tidak mau surat saya itu jadi konsumsi umum. Saya simpan dan nanti akan saya baca sendiri.
Lonceng makan berbunyi. Hati saya tidak tenang. Belum ada waktu yang pas untuk baca surat itu. Makan menjadi lebih bersemangat. Saya coba tenangkan diri. Merasa seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tapi dalam hati, ada kegembiraan luar biasa. Anak kalbu saya sepertinya meloncat-loncat. Menari-nari. Sebuah kegembiraan luar biasa. Kegembiraan seorang laki-laki normal. Kegembiraan seorang pejantan, calon bujang lapuk. Selesai makan, saya langsung ke kapel. Saya duduk pada bangku di bagian tengah. Kemudian keluarkan surat itu dari saku celana dan mulai membacanya. Doa saya terkabul. “Dia jadi sahabat saya”.
Saya semakin mencintai Tuhan. Dia selalu memberikan saya kegembiraan dan mukjizat-Nya. Cinta-Nya tidak pernah habis-habisnya buat saya.
***
Saya melangkah masuk ke dalam kapela. Kebetulan memang tidak di kunci. Berbagai perasaan mengalir di sekujur tubuh. Bahagia, haru, bangga, damai, pasrah, semua bercampur aduk. Sejak saya meninggalkan kapela ini lima tahun yang lalu, sama sekali dandanannya tidak berubah. Bau khasnya pun masih seperti dulu. Letak organ dan tabernakel dengan lampu kelap kelip juga tidak berubah. Semua masih di tempat yang sama. Sekelebat semua pengalaman haru biru mengalir dalam benak saya. Kapela ini sudah menyimpan banyak peristiwa hidup saya di sini. Dia menjadi sumber inspirasi saya sepanjang ziarah hidup saya hingga kini.
Saat itu, saya berjanji, segala yang sudah saya timba dari kekayaan anugerah Tuhan di kapela ini, kelak akan saya bagi-bagikan juga buat adik-adik saya. Mereka mesti mencintai kapela ini, sama seperti saya mencintainya.(*)

Permenunganku:“Anda benar-benar akan memiliki sebuah tempat di hati anda, bila anda berhasil menemukan makna kehidupan ini di tempat itu. Dengan cara apapun, anda akan selalu berusaha kembali ke tempat itu. Sebab tempat itu selalu menjadi memori yang melantasi jiwa anda. Dia selalu melumuri semangat anda dan membuat hidup anda menjadi lebih bergairah. Jika anda tidak mampu kembali ke tempat itu, bernostalgialah dengan teman-teman yang juga mengetahui persis tempat itu. Dengan itu anda membangun keakraban dan persaudaraan, buah lain yang diberikan oleh anugerah karena anda mencintai tempat itu. Kalau pun itu tidak juga bisa, berdoalah dalam hatimu dan ciptakanlah tempat itu bersama saudaramu, keluargamu, teman-temanmu, lingkunganmu, karena tempat itu menghendaki anda melakukannya demikian. Dengan begitu, anda tidak akan pernah lagi merasa kehilangan. Dia selalu ada bersamamu!”



[1] Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko adalah panti pendidikan khusus untuk sekolah calon imam. Selain sudah banyak alumni yang ditahbiskan, baik sebagai imam maupun uskup, sekolah ini juga menjadi pencetak terbanyak awam yang unggul. Dari rahimnya sudah banyak yang dilahirkan menjadi tokoh-tokoh terkemuka. Baik di pentas nasional, internasional, maupun daerah. Sebut saja, nama-nama seperti Daniel Dhakidae, Frans Meak Parera, Primus Dorimulu, Yos Daniel Parera, Ansel da Lopes, Servas Sadipun, Aloy Lele Maja, Abraham Runga, Donatus Djagom, Ishak Doera, Kerubim Parera, Eduardus Sangsung adalah mereka yang pernah mengenyam pendidikan di almamater Mataloko ini.
[2] Maumere adalah ibu kota kabupaten Sikka, Flores Propinsi Nusa Tenggara Timur. Sebenarnya rumah saya di Waigete, 23 kilometer lagi dari Maumere, ke arah Larantuka. Ini sebuah gaya pars pro toto, tanpa mengurangi kekampungan saya di Waigete.
[3] Tahun Orientasi Pastoral merupakan kesempatan praktik bagi calon imam setelah menyelesaikan gelar kesarjanaannya. Kesempatan ini merupakan ajang refleksi, pendewasaan panggilan, juga merupakan cara “turun gunung”, mengenal secara dekat kondisi pastoral umat.
[4] Pendidikan calon imam dimulai sekurang-kurangnya dari pendidikan menengah atas. Siswa yang tertarik menjadi imam, dibimbing secara khusus di panti pendidikan calon imam. Dari pendidikan menengah atas, calon-calon imam melangkah ke sebuah pendidikan tinggi jurusan filsafat dan teologi.
[5] Pemimpin sebuah komunitas atau biara. Ada juga yang menyebutnya Rektor, Magister, dan untuk komunitas susteran biasanya dikepalai oleh seorang Muder.
[6] Komunitas Seminari Mataloko terbagi dalam tiga unit kecil. Unit A, untuk siswa dan para pembina sekolah menengah atas, Unit B, untuk siswa dan para pembina sekolah menengah pertama, dan unit C untuk komunitas para pastor dan suster.
[7] Doa wajib gereja. Biasanya menjadi doa wajib kalangan biawaran-biarawati. Doa Brevir terbagi atas lima waktu: Ibadat bacaan (Pukul 3.00), Ibadat Pagi (Pukul 6.00), Ibadat Siang (Pukul 12.00), Ibadat Sore (Pukul 18.00), dan Ibadat Penutup (Pukul 20.00). Ada komunitas yang secara ketat mengikuti aturan doa lima waktu ini. Ada yang hanya pagi, siang, sore, dan malam.
[8] SEMAT akronim dari Seminari Mataloko dan KARMAT akronim dari Kartini Mataloko. Kedua sekolah ini berdampingan dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Sekitar 200 m. Yang satu, semua siswanya pria dan yang lainnya, perempuan.
[9] Maksudnya orang kaya, dari keluarga berada
[10] Re’e, bahasa daerah setempat, yang artinya jelek, buruk rupa

1 comment:

Unknown said...

Sungguh menyentuh pengalaman masa lalu saya... cerita yang dituangkan di sini merupakan hasil refleksi yang patut diperhatikan tidak hanya oleh para alumni atau mereka yang pernah singgah di Mataloko, tetapi wajib pula dibaca para pembina, terutama mereka yang berstatus frater TOP...

Selamat Ulang tahun ke-79 untuk Seminari Mataloko... semoga makin jaya...