Tuesday, 1 April 2008

Saya dan Siswa Seminari


Keistimewaan saya adalah pernah menjadi siswa, pembina, dan guru. Hidup dalam tiga tingkat yang berbeda ini membuat saya menjadi lebih banyak mengerti. Yang dulunya tersembunyi, tertutup, tidak masuk akal akhirnya terbuka dengan lebar. Yang dulunya hanya sebatas “caci maki”, sekarang lebih banyak “bersyukur”. Memang menjadi siswa selalu tidak enak. Under preasure! Tapi siapa bilang jadi pembina atau guru itu enak. Sangat tidak mengenakkan juga. Sama-sama dalam posisi tertekan.
Tetapi yang selalu dalam posisi terjepit adalah frater. Ditekan dari atas, juga dari bawah. Kalau tidak punya daya tahan kuat, frater akan lebih ramping. Kurus karena pikiran. Pikir di atas dan pikir di bawah. Dalam posisi serba salah. Telinga kanan untuk Romo dan telinga kiri untuk siswa. Menampung arus atas dan arus bawah. Antara perintah dan pengertian. Larangan dan izinan.
Kalau kedua-duanya sama-sama mengamuk, ya sasarannya pasti frater. Aspirasi siswa yang tidak terpenuhi hanya bisa dilampiaskan pada frater. Takut ke Romo. Frater yang jadi sasaran. Kalau keinginan Romo tidak juga terpenuhi. Frater juga yang salah. Tidak mampu mengendalikan anak-anak. Tidak bisa menegakkan aturan. Sama dengan siswa. Tidak konsisten. Tidak menjalankan pedoman TOP.
Kalau siswa ada maunya, frater selalu jadi bempers. Mau tidak diaspirasikan, anak-anak sebenarnya butuh wadah penyaluran. Butuh variasi. Tapi tidak semua maunya siswa dipandang baik oleh Romo. Kemudian siswa berontak. Siswa indisipliner. Siswa menunjukkan mosi tidak percaya. Siswa terlukai perasaannya. Frater juga yang disuruh menghadapinya. Sendiri. Frater menjadi anjing penyalak. Siap gonggong. Dan akhirnya dicaci maki.
Frater sendiri harus jaga korps pembina. Sebenarnya tidak tega juga melihat keadaan riil siswa. Kebutuhan siswa. Menegakkan aturan secara konsisten juga kelihatannya kontradiksi. Kalau tidak selaras atau lebih tepat tidak mengakomodir secara lebih fleksibel, atau katakanlah tidak sejalan sekata dengan perkembangan psikologis siswa, artinya dipaksakan, justru menimbulkan “pemberontakan” demi “pemberontakan”, “kompensasi” demi “kompensasi”, dan “kamuflase” demi “kamuflase”. Hasilnya menjadi tidak sinkron. Alias produk dengan label pura-pura.
Ada yang bilang, jadi calon imam itu pandai-pandai berpura-pura. Bermuka dua. Di depan pembina, muluk-muluk. Baik-baik. Sopan. Manut. Di belakang, bangun kekuatan. Tidak setuju. Protes. Caci maki. Di depan, taat aturan. Di belakang, indisipliner. Di depan, i-ya bos. Di belakang, “malas tau” alias bodoh amat! Ini kekeliruan. Namun sulit untuk dihilangkan. Karena bedanya tipis-tipis amat. Antara taat dan munafik.
Bohong kalau ada yang mengatakan, “Saya tidak pernah munafik alias pura-pura” selama di seminari. Disiplin yang tegas, dengan ancaman “hukuman” di satu sisi menimbulkan ketakutan, kalau saja disiplin itu dilanggar. Bahkan dalam kesalahan-kesalahan kecil pun, seperti terlambat beberapa detik, disiplin tidak mengenal toleransi. Tidak ada kompromi. Dan dihukum sama beratnya dengan mereka yang lebih berat kesalahannya.
Sekali lagi ketakutan menjadi kunci dari sikap munafik. Posisi siswa sebenarnya sangat dilematis. Mau cari aman. Selamat dari hukuman. Tidak dinilai melawan. Atau dengan condite “siswa dengan kelakuan buruk”, tidak bisa disiplin. Karena ini, kejujuran dikesampingkan. Jujur berarti masuk jurang. Seperti domba yang digiring ke pembantaian. Siap digorok. Jujur berarti dapat hukuman. Jujur berarti sebuah pelanggaran. Karena itu, munafiklah sedapat mungkin.
***
Saya pernah memergok siswa yang melanggar aturan. Locusnya di kamar tidur. Dengan dugaan, pelanggaran terhadap jam belajar sore. Kronologis peristiwanya seperti ini. Setiap sore ada jam waktu belajar khusus siswa. Dua kali. Jam belajar sore pertama. Istirahat. Kemudian jam belajar sore kedua. Lalu doa dan makan malam. Pada saat jam belajar sore, siswa dilarang memasuki kamar tidur. Larangan ini ada maksudnya. Mencegah siswa tidur, bersembunyi kemudian bermain-main di kamar tidur. Atau ngobrol di sudut tersembunyi. Sudah ada beberapa kasus dengan modus seperti itu. Karena itu, area kamar tidur paling dilarang. Supaya siswa benar-benar memanfaatkan waktu belajarnya.
Kalau keadaan mendesak, siswa diwajibkan memberitahukan maksud dan tujuan ke kamar tidur. Pada perfek atau frater. Masuk tanpa pemberitahuan atau izinan dinilai melanggar kedisiplinan. Kebanyakan disiplin ini tidak diindahkan. Apalagi kalau kamar tidur dalam keadaan terbuka lebar. Demi pergantian udara. Kalau tidak, sumpek. Alasan mereka, “Kalau minta izin pasti tidak diberi. Kalau pun diberi, susah amat. Tentu saja dengan pertanyaan penyelidikan yang membabi buta. Didakwa. Tidak penting. Tidak punya prioritas. Tidak ada perencanaan hidup. Tidak tertib. Susah tembus kamar tidur waktu jam belajar sore”. Karena itu, aturan ini selalu dilanggar.
Sore itu, dua siswa kepergok. Betapa terkejutnya mereka melihat sosok saya. Sama sekali tidak disangka-sangka. Mereka masih kelas satu SMP. Jadi, ketakutannya dengan wajah pucat pasi luar biasa besarnya. Mereka merasa sudah merusak kepribadian dan conditenya sendiri. Saya melihat di tangan mereka ada chocolate cream, kue kesukaan siswa seminari saat itu. Sepotongnya sementara dikunyah. Mereka kunyah dalam diam. Tidak ada suara. Tidak ada berisiknya. Karena memang tidak mau ketahuan.
Saya sendiri kebetulan saja lewat di situ. Kunci kamar tidur ada pada saya. Maksud saya mengunci kamar tidur. Keadaan di luar sudah sangat dingin. Berkabut. Tidak mau kamar tidur dibuka terus pada saat cuaca seperti ini. Kamar tidur bisa menjadi lembab. Tidak baik untuk kesehatan siswa. Bisa mengakibatkan paru-paru basah. Sebelum tutup pintu, sejenak saya berputar mengelilingi kamar tidur. Menyakinkan diri bahwa kamar tidur aman untuk dikunci.
Mereka sama sekali tidak menyadari kehadiran saya. Baru sekitar sejengkal lagi, mungkin bau badan dan aura saya tercium. Dengan serta merta mereka menundukkan kepala. Dan tanpa diperintah, membungkukkan badan. Berlutut. Siap diadili. Satu di antaranya hampir meneteskan air mata. Muka tomat,[1] alias merah padam. Satu yang lain kelihatan lesu. Tidak ada gairah. Mungkin juga malu.
Saya tanya alasannya. Mereka lapar. Makan siang sedikit. Tidak ada gairah. Karena itu, mereka bermaksud mengeyangkan perut dengan sepotong coklat cream sebelum jam makan malam. Mereka jujur. Siap menerima hukuman.
Waktu itu saya menjadi sadar. Kejujuran mereka tidak boleh dinodai. Kepolosan mereka tidak boleh dikhianati. Jangan sampai kertas putih yang bersih itu dicorat-coret dengan kasar, penuh kata kekerasan. Serentak saya juga merasakan, di tempo dulu, pengalaman yang sama, seperti pengalaman kedua bocah ini. Apa yang mereka rasakan mungkin juga sama persis dengan apa yang saya rasakan. “Kalau dihukum, perasaan kejujuran saya dilukai seperti teriris sembilu”. “Kalau dihukum berarti kejujuran tinggal kejujuran dan tidak layak untuk dipertahankan”. “Lain kali harus munafik, tidak boleh jujur”.
Saya minta mereka berdiri. Saya tuntun mereka masuk ke kamar saya. Kemudian saya bilang ke mereka, “Habiskan kuemu dengan tenang. Nikmatilah saat-saat kue itu menyentuh lambungmu dan memenuhi rasa laparmu.” Saya tambahkan lagi dengan beberapa potong roti tawar. “Makan saja!” Mereka tersenyum. Ada rasa lega. Lolos dalam tarikan napas. Juga berkat.
Setelah pintu kamar tidur saya kunci, saya kembali ke kamar. Coklat cream dan roti tawar benar-benar sudah amblas di perut. Tinggal toples kosong. Saya tersenyum. Rumusan lama itu masih juga dipakai. Teringat saya akan pengalaman di kamar frater TOP. Paling senang kalau masuk kamar frater. Selalu ada yang bisa dimakan. Kalau tidak kue, pasti pisang. Mula-mula malu-malu. Satu-satu. Ngobrol sedikit, ambil buku dan baca sebentar, kemudian ambil lagi. Dalam hati terus berdoa, mohon supaya frater keluar kamar. Entah kontrol teman-teman yang lagi belajar. Entah ke kamar mandi. Apa pun urusannya, yang penting frater keluar kamar. Kalau peluang itu ada, saat frater keluar kamar, frekuensi mengambil kue dan memasukkan ke mulut semakin dipercepat. Kalau ada dua tiga orang, berlakulah hukum siap cepat dia dapat. Mumpung frater lagi keluar kamar. Bila perlu dihabiskan sekalian. Atau sengaja dibiarkan sepotong. Supaya tidak kelihatan “rakus”. Saya tidak mempedulikan hal itu. Itu juga pengalaman saya dulu.
Kembali saya duduk di hadapan dua bocah itu. Mereka nampak gugup. Hilang akal. “Sekarang kalian kembali ke kelas dan buat sebuah refleksi seputar peristiwa tadi. Lengkap dan detail!” Tanpa disuruh dua kali, mereka langsung keluar kamar, menuju kelas. Sebelum jam makan malam, dua carik kertas dengan nama masing-masing singgah di kamar saya. Refleksi pribadi. Mereka mengaku bersalah. Dan bertekad tidak akan melakukan kembali. Mereka mengucapkan terima kasih karena tidak dihukum. Kelihatan ditulis dengan penuh kejujuran, begitu polos, dan alamiah. Dalam hati saya berkata, “dua bocah sudah saya selamatkan!”
Kemunafikan paling menantang adrenalin adalah bolos. Keluar seminari tanpa izinan. Ke kios, ke warung, atau ke rumah om, tanta, kenalan di seputaran Mataloko. Modus operandinya pun bermacam-macam. Lompat pagar. Merayap di kebun talas. Lewat got pembuang keluar. Got kering, tembus jalan raya. Pinjam tekhnik prajurit. Jadi bisa nyusup. Keluar. Ada yang lebih berani. Lewat gerbang utama. Bersikap seolah-olah sudah diizinkan. Ketemu pembina, tegur seperti biasa. Perhitungannya, pasti tidak mungkin dibilang bolos karena lewat gerbang utama. Kalau pun dicross check, tentunya butuh waktu dan kesabaran. Perfek dan pembantu perfek, semua berjumlah lima sampai enam orang. Masing-masing punya wewenang untuk mengizinkan siswa keluar. Dari kelima orang ini, satu yang pasti beri izinan. Semoga saja tidak semua yang dicross check. Karena itu, lebih baik bersikap seolah-olah sudah dapat izinan. Memang risikonya lebih berbahaya. Tidak ada pilihan.
Tujuan dari bolos pun bermacam-macam. Yang paling banyak adalah beli kue, makan bakso, nasi campur, atau nasi soto. Mencari variasi menu makan. Tidak tahan dengan menu makan seminari. Masa kami, ada dua tempat favorit. Molen Boadona, dan Kios (warung) Mimosa. Pernah di satu masa, warung di sekitar pasar Mataloko jadi tempat favorit. Di situ selalu tersedia “raa rete”[2] khas Mataloko. Harganya pun murah meriah. Cuma 2500 Rupiah.
Seminari punya aturan sendiri dalam hal keluar asrama. Sebulan dua kali. Minggu pertama dalam bulan, keluar dekat. Sekitar Mataloko. Sampai jam dua belas siang. Terus harus masuk kandang. Minggu ketiga dalam bulan, keluar jauh. Bisa sampai ke Bajawa. Lebih lama waktunya. Sampai pukul 15.00 Wita. Setelah itu, harus sudah masuk kandang. Maksudnya, supaya siswa bisa kendalikan segala macam keinginan jasmani. Sedikit demi sedikit meninggalkan hiruk pikuk duniawi. Melepaskan ketergantungan lahiriah. Sekaligus belajar ugahari. Hidup hemat. Hidup apa adanya sesuai dengan apa yang sudah disediakan seminari. Juga punya prioritas. Belanja sesuai keperluan. Bersua dengan keluarga, sahabat kenalan dalam batas waktu. Tidak lagi bergantung atau terikat dan mengikat diri pada keluarga, sabahat, dan kenalan.
Tujuan yang baik ini memang belum masuk dalam pikiran siswa, juga saya ketika masih menjadi siswa. Bagi kami, aturan ini merupakan bentuk pengekangan kebebasan. Tidak ada maksud yang baik. Cuma mau mengurung kami. Menghalangi kami menggunakan uang pemberian orang tua. Menghalangi kami makan enak. Membatasi hubungan kami dengan orang tua, keluarga, sanak saudara, sahabat kenalan. Kami memberontak dan bolos.
Malam Jumad. Jam rekreasi. Semua pembina waktu itu ada di Kemah Tabor.[3] Katanya ada rekoleksi bulanan. Saya diajak kakak kelas saya tiga orang. Mengendap-ngendap melalui hutan talas ke pasar Mataloko. Besok hari pasar Mataloko. Malam ini pasar sudah kelihatan ramai. Yang kami incar adalah “ra’a rete”. Sebungkus nasi. Dan sayur daun pepaya. Saya sendiri sebenarnya berat hati untuk bolos. Tapi karena didesak terus, akhirnya ikut juga. Takut juga rasanya. Ini pengalaman pertama saya.
Kakak kelas saya itu rupanya sudah hapal benar jalannya. “Pakar” bolos rupanya. Kami mengitari Tanjung dengan sebuah senter. Sampai di asrama karyawan seminari, khusus untuk merawat dan memelihara babi dan sapi, senter dimatikan. Kami berlajan mengendap. Pelan-pelan. Kadang karyawan Tanjung itu suka lapor ke perfek. Kalau ketahuan, taruhan panggilan. Soalnya, kedapatan bolos sekali, biar baru pertama, langsung saja bisa di”cedok”. Jalan setapak yang licin itu kami lalui dengan aman. Menembus jalan raya sebentar. Kemudian masuk lagi ke jalan setapak. Jalan potong menuju pasar Mataloko.
Tiba di warung, kami langsung pesan empat porsi. Saya ditraktir. Jadi tinggal makan saja. Makan dengan tergesa-gesa. Mata sigap. Kami harus atur waktu sedemikian rupa supaya bisa tiba kembali ke seminari tepat selesai jam rekreasi. Setelah makan, kami pulang lewat jalan yang sama. Dari warung ke jalan raya kelihatan aman. Sedikit lengah. Tiba-tiba bunyi motor tril dari arah belakang. Romo! Semua serta merta merayap. Menjatuhkan diri ke semak dan got. Tidak peduli kotor atau berair. Yang penting selamat dari penglihatan Romo. Motor berjalan lambat karena mendaki. Gigi satu rupanya. Kami tetap pada posisi merayap. Tumpang tindih. Bau badan. Tidak lagi menjadi soal.
Cahaya lampu seketika menerangi jalan. Nampak sosok Romo sedang mengendarai motor. Romo tidak menyadari bahwa di got itu, beberapa siswa sedang sport jantung. Berlalu. Tapi kami tidak serta merta berdiri. Tunggu sampai bunyi motor itu hilang. Baru kemudian kami berdiri, ambil langkah seribu. Selamat.
Ilmu bolos adalah sigap dan cekatan. Semua kebiasaan Romo, cara jalan, cara bicara, suara, sampai bunyi motor harus dihapal betul. Selain Romo, juga karyawan, guru-guru, dan masyarakat sekitar yang dekat dengan Romo. Jangan sampai ada yang tahu. Dalam keadaan luar biasa, merayap menjadi bagian dari upaya penyelamatan diri dan panggilan. Sebelum bolos, biasanya ada kesepakatan antarsiswa. Kalau selamat, syukur, tapi kalau kedapatan risiko ditanggung sendiri. Tidak ada yang boleh bocorkan siapa-siapa saja yang bolos.
Ada yang punya “khasiat” tersendiri. Bolos kalau tidak bawa “orasi”, kumpulan doa dan novena kepada Hati Kudus Yesus dan Bunda Maria, pasti kedapatan. Tetapi kalau “orasi” itu dibawa serta, tidak mungkin kedapatan. Sugesti rohani. Dan kontradiksi. Karena bagaimana mungkin, sesuatu yang tergolong kesalahan, pelanggaran, boleh dibilang dosa dilegitimasi dengan sesuatu yang rohaniah, yang Ilahi. Doa bukan cara merayu Tuhan untuk memperbolehkan manusia melakukan kesalahan dan dosa. Tuhan juga tidak pernah kompromi. Aneh tapi nyata. Percaya atau tidak percaya, ada yang seperti itu.
Sampai di seminari, kami berlaku seperti biasa. Benar-benar munafik. Seolah-olah kami memang setia menjalan aturan, tetap berada di seminari, dan tidak pernah keluar. Teman-teman lain pun tidak tahu. Kunci mulut rapat-rapat. Rahasia kami. Tapi saya tidak bisa menipu suara hati. Sedikit gemetaran. Apalagi disambut dengan kejadian seperti tadi. Hampir saja kedapatan kalau tidak sigap. Saya memilih memisahkan diri dari kelompok saya. Pura-pura ke toilet. Padahal saya mencari tempat untuk menyendiri. Merenung. Apakah ini sebuah penghayatan hidup yang sempurna?
Saya tahu bahwa ini topeng-topengan. Main sembunyi-sembunyi. Tidak jujur dengan keadaan. Tidak jujur dengan diri sendiri. Tidak bisa hidup apa adanya. Saya menghibur diri sendiri. Toh, baru sekali ini saja. Lain kali saya tidak mau. Cukup kali ini. Yang pertama dan terakhir. Saya tidak mau lagi tercebur dalam kesalahan yang sama. Saya mau hidup apa adanya, menampilkan diri secara jujur dan terang.
Tapi godaan tetap godaan. Sekali kecebur, maunya dilakukan terus. Sudah punya pengalaman, karena itu merasa aman. Suara hati pelan-pelan terkikis. Kebenaran dikompromi. Nilai dipertaruhkan. Harga diri disisihkan. Ikut arus. Demi kesenangan semata. Demi gengsi. Demi kepuasan jasmani. Perbuatan itu akhirnya menjadi sebuah rutinitas. Tidak ada lagi rasa bersalah. Tidak ada lagi penyesalan. Bukan merasa sebuah “dosa”. Biasa-biasa saja. Menyenangkan. Malah membanggakan.
Karena tersembunyi rapat, tidak ada pembina yang tahu. Teman-teman mungkin sudah pada tahu. Ada yang mengistilahkan “raja bolos”. Tapi tidak juga punya keberanian untuk mengoreksi kesalahan itu. Teman-teman juga kompromi. Mendiamkan. Barangkali karena hal itu dilakukan bersama-sama. Tercebur sama-sama. Jadi tidak ada yang berani menegur. Siapa menegur siapa. Kalau pun ada yang tidak ikut tercebur dalam pelanggaran demikian, mulut teman itu sudah disumpal. Entah, oleh ancaman dikucilkan dari teman-teman. Entah, dibenci, dikatakan “spionase”, “tukang lapor”, “cari muka”. Karena itu, tidak ada yang berani menegur dan melaporkan keadaan yang sebenarnya. Semua berlangsung dalam “rahasia bersama” di kalangan bawah, dan tertutup rapat untuk kalangan pembina.
Hasilnya, koreksi dan evaluasi antarteman dimanipulasi. Hal-hal yang bersifat membahayakan panggilan disembunyikan rapat-rapat. Dibahasakan ulang dengan “sebaik-baiknya”. Memperhitungkan berat ringannya. Jalan panggilan imamat pun mulus. Tinggal pintar-pintar mendesain nalar supaya dapat nilai bagus, sesuai standar seminari. Kelihatan rajin berdoa dan meditasi. Romo pun akhirnya tertipu. “Siswa yang disangkanya baik itu, ternyata tidak lebih dari kubur berlabur putih”.
Kompromi demi kompromi ini, lama kelamaan terbawa terus dalam sikap dan penghayatan hidup. Saya sendiri merasakan pengaruhnya. Begitu menyiksa dan malu. Satu hal yang pasti bahwa pencerminan kehidupan pribadi saya menjadi semu, tidak jujur, tanpa roh, dan setengah-setengah. Tidak pernah bisa total. Tidak pernah bisa tuntas. Selalu memikirkan jalan pintas. Menggampangkan keadaan. Tidak mau berusaha. Bergantung pada orang lain. Pandai memanfaatkan situasi. Lebih suka menasihati dari pada dinasihati. Mudah tersinggung. Tidak suka kerja tangan. Kurang inisiatif. Renungan dangkal. Hanya bicara, tidak berbuat. Bukan tokoh yang patut diteladani. Konsumtif. Hedonis. Materialistis. Penjiplak. Mudah konflik. Dan kurang dekat dengan gereja dan Tuhan.
Saya merasakan betul pengaruh negatif kemunafikan yang saya pupuk itu, ketika berada di seminari, di tengah-tengah adik-adik saya yang polos. Dengan gampangnya saya melegitimasi semua perbuatan saya menjadi benar, rasional, terkesan penting, begitu sibuk dan tidak mampu memberikan teladan pada adik-adik saya itu untuk berdoa, merayakan misa, meditasi, dan menyanyi dengan baik. Jam doa, saya di depan tivi. Melahap acara kesukaan saya. Apalagi kalau ada bola kaki. Misa pagi kadang saya tidak hadir. Liga Champions, misalnya lebih menarik. Kemudian saya buat alasan yang rasional. Tugas menumpuk. Harus sampai malam. Tidur pagi. Misa pribadi bersama Romo. Dan alasan-alasan lainnya.
Siswa butuh sesuatu yang teramat penting, minta penjelasan sesuatu. Saya tulis label di depan kamar. Tidak mau diganggu. Pikirnya ada sebuah tugas yang teramat serius sampai tidak boleh diganggu. Ternyata, saya tidur. Membatasi jam olahraga mereka. Saya malah olahraga berjam-jam. Membatasi waktu nonton mereka, saya nonton berjam-jam. Membatasi waktu keluar mereka, saya justru selalu tidak ada di seminari. Lupa misa. Lupa doa. Tidak pernah pegang kitab suci. Tidak meditasi. Tidak belajar, menambah pengetahuan. Dan nilai-nilai itu justru yang saya tekankan untuk adik-adik saya. Saya melawan diri saya sendiri. Mempermalukan diri saya sendiri. Sakit juga!
Pernah saya berpikir, ini komunitas “kejujuran” atau “topeng-topengan”? Sepertinya semua pada bermain topeng-topengan. Selalu ada yang mengintai dan selalu ada yang bersembunyi. Tidak fair. Tidak terbuka. Ada ketakutan. Tidak apa adanya. Atau itukah definisi “kejujuran” yang benar di muka bumi ini? Yaitu kejujuran yang tidak sepenuhnya jujur. Tersamar. Tersembunyi. Misteri. Sama seperti manusia itu, setengahnya nampak dan setengahnya misteri. Juga Tuhan, yang Ada dan yang Tiada. Sama seperti keselamatan, yang sudah ada dan belum sempurna. Dan barangkali inilah yang membuat Sang Guru harus diam ketika ditanyai, apa itu kebenaran? Sebab yang berhak mengadili kebenaran itu hanya Bapa seorang.
Di sinilah justru letak mukjizat dan anugerah itu. Bahwa kaca mata manusia tidak mampu menampung semua kebenaran sempurna. Penuh bijaksana. Dengan takaran yang pas. Seimbang. Manusia hanya menyerahkan segala sesuatu itu pada nasib. Pada kehendak Tuhan. Pasrah. Tuhanlah yang menentukan segala sesuatu. Dia yang membuat rencana atas kita. Seberapa buruk dan tidak bernilainya kita di mata manusia, Dia tetap mencintai kita. Memberikan kita anugerah. Konsisten dengan rencana-Nya. Cinta-Nya. Dia tidak pernah menipu. Tidak pernah melupakan. Tidak pernah melihat kita secara buruk. Jahat. Tidak berguna. Tidak bernilai. Dia malah melihat segala sesuatu itu baik adanya. Termasuk memanggil kita dengan segala kelemahan, keburukan, dan kesalahan kita. Bukankah ini sebuah anugerah tanpa batas? Bersyukurlah!
Kesadaran seperti ini membuat saya makin mantap menempuh panggilan imamat. Makin mantap dalam memberikan teladan buat adik-adik saya. Mendampingi mereka. Mengajarkan mereka cara bersyukur atas anugerah ilahi. Membuktikan bahwa hidup itu tidak patut untuk disesali. Dan meyakinkan bahwa kita tidak berada di tempat yang salah.
Pendekatan dan pendampingan saya pun mulai berubah. Semula memang saya tidak menemukan makna di balik pengalaman TOP saya di seminari. Saya bahkan mau mengulangi kesalahan masa lalu. Dengan kekerasan. Menakut-nakuti. Menghukum. Merotani. Sesudah itu, siswa dibiarkan kebingungan. Kenapa harus dihukum? Tidak ada pendalaman dan pertobatan. Tidak ada pembalikan kesadaran. Dari sebuah pelanggaran menuju tekad, lebih murni dari hati nurani dan bukan karena takut, untuk tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama.
Setengah semester saya memang pegang kayu. Betis-betis mulus anak-anak seminari jadi sasaran. Kadang buku-buku jari tangan. Ada yang sampai meringis. Menangis. Saya tidak peduli. Yang penting kenakalan mereka berkurang. Belajar tidak ribut. Tidak kejar-kejaran di halaman tengah. Ribut di dapur, kapela, kamar tidur, dan kamar makan. Pusing kepala menghadapi tingkah anak-anak yang nakal itu. Emosi di ubun-ubun. Belum tugas menumpuk. Ya, mau tidak mau, kayu menjadi metode penyelesaian.
Mereka benar-benar ketakutan. Saya berubah menjadi monster galak. Saya dibenci oleh adik-adik saya itu. Setiap kali kalau saya lewat, mereka diam. Kaku. Tidak ada kegembiraan sama sekali di wajah mereka. Sorot mata mereka tidak hangat. Malah menghindar.
Keadaan ini bukan saja menyiksa mereka, tetapi juga saya. Saya bukan tipe orang yang masa bodoh. Tidak punya perasaan. Sebagai pendamping mereka, seharusnya saya lebih dekat. Tahu keadaan mereka. Tahu isu terbaru yang berkembang di asrama. Tahu perasaan dan kebutuhan mereka. Tapi itu tidak pernah saya alami. Begitu jauh. Jaraknya tidak terbatas.
Saya menyadari kesalahan saya jelang tengah semester berikut. Lebih-lebih ketika saya dipercayakan menjadi pembina Osis. Mau tidak mau saya harus dekat dengan mereka. Sikap keras saya ubah. Pendekatan dari hati ke hati. Murah senyum. Lebih banyak bercerita. Anak seminari masih suka didongeng. Terutama dongeng klasik. Yunani Kuno. Cerita orang Roma, Persia. Sejarah pembantaian Yahudi. Winethou. Informasi-informasi aktual, seputar sepak bola. Liga-liga Eropa. Profil pemain. Dan beberapa cerita lucu. Mereka mulai tertarik mendekati saya. Banyak hal yang mau mereka dengar dari saya. Kerinduan mereka akan informasi terbaru dan heroiknya kisah dulu membuat mereka simpatik. Pendekatan saya pelahan-lahan berhasil.
Memang mereka masih curiga. Ada apa di balik semua ini. Tapi saya nekat. Jurus berikut, saya menjadi mudah untuk memberi izin keluar. Sore hari semua pada mengetuk pintu kamar saya. Sudah berpakaian rapih. Rambut tegak model sekarang. “Minta izin ke kios!” Saya mengiyakan. Tetapi dengan pembatasan waktu dan orang. Lima belas menit. Setengah jam. Kemudian pulang ke asrama, wajib lapor. Supaya saya tahu sudah kembali. Ada yang terpaksa saya tolak. Besok. Soalnya sudah banyak yang saya izinkan. Alasan saya, bagi-bagi tanggung jawab dengan pembina lain. Mereka mengerti. Menunggu besok.
Berikutnya, hari Minggu tidak pesiar, saya manjakan dengan nonton film. Sekalipun bukan di bioskop, mereka senang. Sesekali nonton sampai larut. Biskop Trans TV sering memutar film dari sequel Harry Potter. Saya perjuangkan mereka supaya nonton. Mereka begitu suka dengan Harry Potter. Novel Harry Potter paling sering dipinjam siswa. Barunya tidak bertahan sampai sebulan. Selanjutnya nampak kumal. Atau kalau ada pertandingan sepak bola, tepat dengan waktu rekreasi, mereka diperbolehkan nonton.
Setiap siswa yang kedapatan melakukan pelanggaran tidak langsung saya jatuhi hukuman. Pertama, saya maafkan. Kedua, saya beri peringatan. Ketiga, baru saya hukum. Saya ingin mereka berproses dengan diri sendiri. Kumulasi dari pelanggaran sudah cukup membuat mata mereka terbuka akan kelalaian mereka itu. Mekanisme dan proses ini saya jelaskan pada mereka. Supaya mereka tahu. Sama-sama sepakat. Dan tidak ada yang saling mempersalahkan. Bentuk hukuman pun saya ubah. Dari kayu, jeweran, tempeleng menuju ke bentuk yang lebih berguna. Refleksi, sebagai hukuman tertulis dan kerja tangan, seperti sapu kamar makan, potong rumput, angkat tanah, dan lain-lain, sebagai bentuk hukuman fisik.
Sikap lunak saya itu kena sasaran. Mereka sudah lupa profil “berang” masa lalu saya. Rating “idol” saya meningkat. Kamar saya bahkan sesak di jam rekreasi. Banyak yang main catur, kartu, atau sekedar dengar musik. Toples-toples kue tidak pernah bertahan sampai sehari. Habis total. Bersamaan dengan itu, tingkat kepatuhan mereka pun bertambah. Tidak perlu lagi dua tiga kali bicara. Cukup sekali. Mereka pun nurut. Mungkin tidak mau kebaikan hati saya itu hilang dan kesempatan keluar pun dibatasi. Kedekatan saya dengan mereka sekarang seperti kakak terhadap adik-adiknya.
Dari relasi yang akrab itu, saya mulai membangun kesadaran berorganisasi dan pelatihan kepemimpinan. Fokus kegiatan kami adalah membina keakraban ke dalam, memupuk kreativitas, membangun komunitas bersih dan apik, pola hidup tertib dan disiplin, berprestasi di bidang ilmu pengetahuan, keterampilan, dan olahraga, sehat jasmani dan rohani, terakhir pentas seni teatrikal. Dari semua itu, yang paling penting adalah menumbuhkan rasa bahagia atas pilihan hidup yang sedang dijalani. Berada pada tempat, waktu, dan komunitas yang tepat. Benar-benar sebuah anugerah dan bukannya malapetaka.
Banyak hal yang bisa dibuat dengan anak-anak seumur 12 – 15 tahun itu. Energi alami yang tersimpan dalam dirinya mereka begitu kuat dan ajaib. Kuncup itu sedang mekar. Tersembunyi. Liar. Sulit ditebak. Karena itu, usia-usia mereka sebenarnya banyak membutuhkan media penyaluran. Energi itu mesti dimanfaatkan baik untuk pertumbuhan mereka maupun untuk kebaikan komunitas. Saya sendiri begitu kagum. Cahaya inspirasi itu mengalir seperti sebuah air terjun yang tiada habisnya. Salah kalau terlalu cepat menilai bahwa ada di antara anak-anak itu tergolong buruk. Entah kelakuannya, bentuk pengungkapannya, atau kata-katanya. Sebab yang mereka miliki sekarang bukan merupakan sesuatu yang permanen ada dalam diri mereka sejak dari semula. Hanya ada dua hal yang ada dalam diri mereka. Pertama, kepolosan yang tiada batas, kebenaran yang tak tersangkal, keindahan alamiah, kemurnian, dan kedua adalah memori yang melekat. Memori itu datangnya dari lingkungan masa lalu dan masa kini, yang sedang mempengaruhi mereka. Dan kalau seorang anak dinilai buruk, bukan dirinya yang buruk tapi pengaruh lingkungan yang menjadikan dirinya buruk. Perlu ditolong. Dibimbing. Dituntun. Supaya hal yang buruk itu tidak menjadi permanen. Melekat erat. Mengakar. Dan menjadi identitas.
Saya menyadari hal itu. Dan berdosalah saya kalau tidak memberikan mereka kesempatan untuk memekarkan energi alamiah dan potensial yang mereka miliki itu. Juga saya punya tanggung jawab. Sekurang-kurangnya bisa menuntun mereka yang telanjur tersesat. Tugas saya adalah meluruskan. Membimbing ke arah pencerahan. Bukan memaksakan. Bukan dengan cara-cara kekerasan. Bukan juga dengan hukuman yang berlebihan. Tidak sampai menimbulkan rasa sakit hati. Pengalaman negatif dan traumatis. Tidak sampai menimbulkan pemberontakan. Rasa menyesal. Rasa tidak cocok. Rasa bersalah yang berlebihan. Terpaksa. Kaku. Brutal. Garang. Lensa merekam mereka mesti diisi dengan sesuatu yang berlawanan dengan semua pengalaman negatif itu. Semacam pembersihan. Penjernihan. Penyaringan. Penapisan. Supaya yang alamiah, yang potensial, yang murni, yang polos itu tetap menjadi berlian yang berkilau disaput mentari di pagi hari.
Salah satu cara saya adalah melalui majalah dinding. Kami sepakat dua minggu sekali majalah dinding harus sudah berwajah baru. Dipenuhi dengan berbagai macam unek-unek siswa. Sebulan jalan. Ternyata kurang tempat. Papan majalah dinding tidak bisa menampung hasil karya siswa yang banyak. Semua berlomba-lomba mau menulis. Saya pacu lagi dengan lomba menulis. Hadiah dan piagam penghargaan saya siapkan untuk para juara. Bertambah antusias dan banyak. Setiap minggu kami harus ganti majalah dinding dengan karangan baru.
Saya melihat, menulis menjadi salah satu cara mengungkapkan diri secara jujur dan polos. Menulis menjadi pengakuan. Menoleh ke belakang. Melihat ke diri sendiri. Membantu sesama teman dengan pengalaman pribadi. Melihat ke masa depan. Membangun visi. Cita-cita. Tekad. Persaudaraan. Mengendapkan nilai. Belajar dari pengalaman. Dunia sekitar. Benda-benda hidup dan mati. Memasukkan dunia besar dalam dunia kecil, di hati. Melalui kata-kata itu, mereka menemukan apa yang benar dan apa yang salah. Mereka berkenalan secara spontan dan langsung dengan keindahan, keteraturan kosmos, kebaikan, pengakuan, rasa bersalah, fungsi sosial, rasa syukur, kebaikan, dan mencintai diri apa adanya.
Kalau menulis mungkin tidak terjadi interaksi sosial secara langsung, dari wajah ke wajah, melihat identitas sang creator, maka saya berpikir untuk memberikan mereka kesempatan menunjukkan keunggulan, potensi dalam diri mereka. Karena itu, kami merancang kegiatan panggung. Pentas lawak alias humor, ikut-ikutan TPI, vocal group, single, baca puisi, pidato, dan diskusi. Dua minggu diberi kesempatan untuk mempersiapkan acara masing-masing. Seminggu repetisi general. Sedikit perbaikan. Lalu buat pentasan seni. Pertama, masih ada rasa canggung. Malu. Tidak percaya diri. Dilatih, dibimbing, diasah, mereka akhirnya menemukan kenikmatan di dunia baru itu. Mereka mengenal kemampuan dan diri mereka sendiri. Mereka bahagia. Bisa tampil. Bisa membahagiakan sesamanya. Tersanjung karena dipuji. Mereka tumbuh menjadi “idol” di antara sesama temannya sendiri.
Saya teringat pengalaman masa lalu saya. Pertama kali saya tampil di panggung seminari adalah jelang pesta famili. Saya masih kelas satu SMP. Ada kesempatan menulis dan membacakan puisi, saya beranikan diri. Saya tulis sendiri puisi. Kemudian saya bacakan. Saya menang. Juara I. Saya merasa ini pencapaian terbesar saya. Dipuji. Disanjung. Saya menjadi “idol” baru di antara teman-teman dan kakak-kakak kelas. Sejak dari itu saya dikenal “Raja Puisi”. Kalau ada pembacaan puisi, saya yang tampil. Puisi menjadi identitas dan totalitas saya.
Sampai ke jenjang SMU, saya dan beberapa teman saya membentuk sebuah wadah seni. Namanya Bengkel Teater Maranatha. Waktu itu memang tidak banyak yang antusias dengan kelompok kami. Hanya kami dan beberapa orang saja. Kegiatan kami seputar menulis dan mementaskan. Majalah dinding dan majalah Florete, buletin semesteran Seminari menjadi media penyaluran minat dan bakat kami. Dalam kesempatan pentas, kami bacakan puisi berantai. Kami tampil dominan dengan cita rasa seni. Mewarnai kosmologi komunitas saat itu dengan estetika yang spiritual. Tidak untuk sebuah tujuan pemberontakan atas kemapanan. Tidak untuk unjuk kebolehan atau aksi kesombongan. Melainkan menawarkan sebuah jalan menuju pembebasan diri. Dari rutinitas. Dari kejenuhan. Dari kelesuan. Dari kemapanan. Mengupas diri kami dan lingkungan kami, menguliti rutinitas dan tradisi kami. Menyembulkan pemurnian. Pembaruan. Spiritualitas yang melegakan.
Banyak teman yang tidak mengerti dengan hobi kami itu. Di kepala mereka hobi identik dengan lapangan sepak bola, volley, badminton, basket. Ada yang merasa buang-buang waktu saja. Ada yang menganggap ini sebuah “keanehan” baru. Bahkan mungkin aliran sesat baru. Tetapi kami sudah memilih menulis menjadi media ungkap kami. Sama seperti teman-teman lain dengan media pengungkapannya. Sepak bola. Humor. Nyanyi. Musik. Tarian. Kami memilih menulis. Dan di situlah justru watak dan kepribadian kami ditempa. Tegas. Disiplin. Tetapi sesuai dengan tingkat pertumbuhan kami. Menyenangkan. Tidak terpaksa.
***
Dari menulis saya melebarkan apresiasi mereka menuju kecintaan pada perpustakaan dan buku. Mencintai semua buku. Sumber menulis adalah buku dan perpustakaan. Demikian pun kekayaan hidup adalah buku dan perpustakaan. Demikian pun kekayaan siswa adalah buku dan perpustakaan. Seminari memiliki sebuah perpustakaan yang lengkap. Berbagai jenis buku. Tema. Model cerita. Model penulisan. Tokoh dan peristiwa. Sayang kalau tidak digali dan dijadikan sarana pembelajaran efektif.
Kesepakatan saya buat. Kalau saya piket[4], kalian boleh baca buku. Apa saja. Buku perpustakaan. Dan bukan buku pelajaran. Tapi cuma jam belajar kedua. Selain itu, pegang buku pelajaran. Cuma kelonggaran ini ada syaratnya. Masing-masing siswa menyiapkan sebuah buku tulis. Khususnya untuk meringkas isi buku yang sudah dibaca. Saya pasang target. Sebulan 20 buku. Dengan kategori, 5 buku tentang cerita rakyat, dongeng, novel, 5 buku yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, penemuan, tokoh pendidikan, 5 buku berhubungan dengan spiritualitas, cerita orang kudus, dan 5 buku berkaitan dengan minat atau hobi mereka. Saya membayangkan, ada sekitar 10 buku yang berhasil dibaca secara serius. Yang lainnya adalah jiplakan dari ringkasan teman-teman. Tetapi itu saja sudah cukup buat menambah pengetahuan.
Enam tahun di seminari, saya tidak pernah menikmati perpustakaan dengan buku-buku selengkap ini. Padahal saya termasuk orang yang haus buku. Kutu baca. Kalau sudah dengan buku, segala-galanya bisa dilupakan. Tidak makan, tidak minum, tidak mandi. Benar-benar tertelan oleh buku. Sampai pasang lilin segala kalau sudah jam tidur. Hanya mau menghabiskan sebuah buku. Zaman saya, perpustakan seminari hanya memiliki beberapa buku favorit. Trio detektif. Serial Lima Sekawan. Winethou. Beberapa buku karya sastra Indonesia. Seperti Siti Nurbaya, Layar Terkembang, Antologi Puisi, Rendra, Putu Wijaya, Pantun Melayu. Belum ada Harry Potter, Ayu Utami, Dee, Albert Einstein, Mozart, Popeye, Sinchan, Dora Emon, sampai filsuf-filsuf terkemuka seperti Nietzche, Karl Marx, Hegel, Kant, Whitehead. Itu pun satu-satu eksemplar. Harus tunggu giliran. Antri pinjam.
Tapi novel picisan Fredy S, yang kadang-kadang diselingi dengan cerita beraroma pornografi itu, masih juga saya temukan. Secara tidak sengaja saya ambil dari tangan seorang siswa. Begitu terkejutnya saya. Saya pikir novel-novel ini sudah hilang. Saya pikir kehadiran perpustakaan dengan tawaran buku yang lebih sehat menumpas kehadiran novel-novel itu. Ternyata saya salah. Kebiasaan lama itu masih juga ada. Dari zaman kami, mungkin juga zaman sebelumnya. Saya sendiri biasanya baca sembunyi-sembunyi. Takut ketahuan. Kemudian beredar dari satu teman ke teman yang lain. Sampai-sampai tidak tahu siapa pemilik sebenarnya. Bahkan kami juga menikmati Nick Carter. Dua novel yang mencekoki pikiran kami dengan arti seksualitas yang kotor, jorok, dan hedonis.
Membatasi peredaran novel-novel itu, saya berinisiatif melakukan razia. Penggeledahan lemari pakaian, laci kelas, dan rak-rak buku. Ditemukan beberapa. Cara seminari menyembunyikan hal-hal yang dilarang itu tergolong unik. Tidak terdeteksi. Aman di tempat yang tidak terduga. Ini siasat lama. Dengan cara dan bentuk yang baru. Bisa saja dalam tumpukan pakaian kotor di ember. Dalam bantal. Cover diganti dengan cover buku pelajaran. Tersusun rapi di antara buku-buku doa. Dalam sepatu. Dalam kaleng susu. Karena itu, sebagian selamat dari razia mendadak itu. Canggih!
Usaha saya mendekatkan siswa ke perpustakaan, mencintai buku-buku ternyata berhasil. Rating peminjaman di perpustakaan meningkat. Karyawan perpustakaan kewalahan. Siswa mengerubuti perpustakaan seperti lalat pada ikan.
Agar ringkasan itu bukan saja berguna untuk menambah wawasan tetapi juga sampai pada pembentukan karakter dan pendidikan nilai, saya memberikan kerangka sederhana untuk meringkas. Satu hal yang saya tekankan adalah nilai-nilai apa saja yang bisa dipetik dari bacaan tersebut. Manfaatnya apa? Dan luar biasa...banyak hal yang mereka pelajari dan endapkan. Dari hari ke hari, nalar mereka diperkaya oleh nilai-nilai baru, pandangan baru, wawasan baru. Mereka nampak lebih sehat, lebih bugar, lebih mekar karena pupuk yang mereka dapat adalah pupuk yang paling baik, efektif, sesuai dengan tingkat berpikir mereka.
Hasil ringkasan saya pajang pada majalah dinding. Kekayaan dari eksplorasi pengetahuan di perpustakaan itu dipersembahkan. Ada beberapa guru dan pembina yang juga terkejut. Kok siswa sudah bisa berpikir dan menulis seperti ini. Saya pikir, itu karena ketekunan mereka. Memanfaatkan sarana prasarana yang ada untuk maju. Mereka bukan siswa yang terus-terusan melanggar. Keras kepala. Masa bodoh. Atau bodoh. Ada buah yang baik datang dari kepolosan dan kemurnian mereka.
Namanya juga asrama sejenis. Semuanya laki-laki. Tentu ada cerita sumbangnya juga. Keterbatasan orientasi terhadap lawan jenis membuat segelintir teman kami jatuh dalam orientasi seksual yang menyimpang. Perasaan ketertarikan terhadap sesama jenis atau homoseks merupakan warisan lama yang susah diatasi. Selalu saja ada di tiap angkatan. Menyebut hal ini sebagai sebuah kelainan, juga tidak adil. Lingkungan sangat mendukung. Pola interaksi sejenis melahirkan daya tarik yang tak terbendung. Terhadap adik kelas, teman sendiri, atau kakak kelas.
Masa kami ada plesetan khusus. “Opside”. Sebenarnya dari kata “Offside”, istilah sepak bola. Kami menganggap ketertarikan itu sebagai sesuatu yang menyimpang dari garis, atau batas yang sudah ditentukan. Kedapatan nyelonong. Tertangkap basah dalam keadaan di luar garis. Kemudian istilah itu diganti menjadi “bermain anggar”. Sampai sekarang, barangkali.
Sialnya, masalah mereka ini jarang sekali diketahui oleh para pembina. Lolos dari kuping pembina. Semacam ada kesepakatan umum, bahwa soal-soal seperti ini mestinya ditutup rapat. Hanya di kalangan siswa. Tidak boleh sampai ke telinga pembina. Siswa punya cara sendiri untuk menyelesaikan masalah ini. Lebih ke arah “mempermalukan” dan bukannya “menolong” untuk memperbaiki keadaan. Biasanya mereka diminta pertanggungjawaban di hadapan teman-teman pada saat makan. Semua mendengarkan pengakuan itu. Istilah kami “teror”[5].
Karena itu, betapa malangnya teman-teman kami ini. Hari-hari di seminari dilalui dengan berat. Panjang. Menyesakkan. Mereka dianggap sudah menodai komunitas. Menjadi bahan cemoohan. Olokan. “Sampah Komunitas”. Dijauhi teman-teman. Maafkan kami, teman-teman. Kalian juga bagian dari sahabat sejati kami.
Ada yang tidak kuat dengan cemoohan lalu minta diri. Menyerah. Tertanam dalam hati, perbuatan ini merupakan sebuah “kelainan”, keburukan fisik dan moral. Dosa yang tak terampuni. Dengan serta merta mereka merasa tidak layak menjadi orang pilihan Tuhan. Mereka pun terpaksa menyerahkan panggilan itu pada pengadilan sepihak komunitas, pengadilan dari teman-teman mereka sendiri. Mereka sendiri merasa tidak layak untuk jalan yang terlampau suci itu.
Padahal kalau mau dilihat, catatan kedisiplinan, ketekunan, dan keseriusan mereka jauh lebih baik dari teman-teman yang lain. Bahkan ada beberapa yang tergolong cerdas. Cuma “salah langkah” itu. Dan yang paling berat adalah ditolak dalam pergaulan. Padahal, Yesus sendiri memaafkan perempuan yang kedapatan berzinah, mengangkat pemungkut cukai menjadi murid-Nya, memaafkan si bungsu yang suka “main perempuan”. Merangkul Maria Magdalena.
Bukannya saya mau rasionalisasi, melegitimasi sebuah kekeliruan dengan ayat Kitab Suci. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa Tuhan senantiasa mencintai kita dalam keadaan apa pun, apa adanya, termasuk dalam kedosaan kita. Ia selalu KONSISTEN!
Ketika saya kembali menemukan soal klasik ini saat saya sendiri menjadi pembina di seminari, saya menyadari kesalahan yang sudah kami lakukan di tempo dulu. Saya panggil mereka secara pribadi. Membedah persoalannya mereka. Menyadarkan mereka. Menuntun mereka untuk melepaskan orientasi seksual yang keliru itu. Terutama saya menguatkan mereka. Membuat mereka merasa yakin bahwa Tuhan masih tetap memilih dan memanggil mereka. Tuhan tetap mencintai mereka. Dan tempat ini merupakan yang paling cocok, pas untuk perkembangan kepribadian mereka.
Yang paling banyak saya temukan adalah onani atau masturbasi. Di toilet. Dalam selimut. Sudut kamar tidur. Loteng kapela. Jumlahnya bukan lagi segelintir. Tapi sebagian. Mereka terangsang oleh gambar-gambar porno. Cerita porno. Mau coba-coba. Sharing dari sesama teman. Nonton “bokep”. Sebagian bahkan melakukan dengan frekuensi tetap. Seminggu dua sampai tiga kali. Ketagihan. Tidak bisa kendali diri. Bahkan mengarah pada permanen. Mereka juga mengaku, kepribadian mereka menjadi terganggu, setelah melakukan onani. Risih. Cemas. Kurang percaya diri. Rendah diri. Merasa tidak layak.
Yang lain lagi. Ada yang kleptomania berat. Suka sekali kumpul celana olahraga teman, baju seragam teman, celana dalam teman, atau gantungan kunci. Tidak untuk dipakai, tidak juga untuk dijual, hanya sekedar mengumpulkan. Merasa begitu nikmat dan senang ketika berhasil mengumpulkan “benda-benda” itu.
Memang yang paling susah dijaga di asrama laki-laki adalah celana dalam. Baik baru maupun sudah pernah dipakai, tidak bakalan selamat. Bertahan seminggu, lalu hilang. Paling sering hilang di jemuran. Salah angkat. Sengaja diambil. Salah pakai. Sengaja dipakai. Semua menjadi bagian dari alasan hilangnya celana-celana dalam itu.
Para pembina sendiri tahu akan fenomena hilang-pakai celana-celana dalam ini. Sudah ditegaskan berulang-ulang untuk pakai celana dalam sendiri. Tidak boleh gonta-ganti. Malas cuci lalu ambil punya teman. Bahaya penyakit kulit selalu ada. Tetapi memang susah sekali kebiasaan ini dihilangkan. Saling pakai memakai celana dalam itu berlangsung terus, turun temurun, sampai sekarang.
Pernah sekali, teman saya sama sekali tidak punya satu pun stok celana dalam. Saat yang sama, celana dalamnya hilang. Menurut pengakuannya, dia hanya punya tiga celana dalam. Satu masih dalam ember. Satu dipakai. Dan satu hilang. Mau ke kios, Romo pasti tidak izinkan. Alasan “beli celana dalam” sudah menjadi klise. Saking terus-terusnya, Romo sendiri bosan dan tidak percaya. Alasannya beli celana dalam. Ternyata hanya mau makan enak di warung. Jadilah, teman saya itu tidak pakai celana dalam. Dua hari “menggantung” begitu saja tanpa “sarang”, tanpa hambatan (he...he...he....!!!).
Saya menyadari, porsi pendidikan seksualitas kurang diberikan secara memadai. Siswa mencari informasi dan pengetahuan seksualitas sendiri. Pengetahuan tanpa penghayatan. Pengetahuan telanjang. Dan digunakan secara salah. Eksplorasi dan pembuktian pengetahuan. Siswa dibiarkan mengalami perubahan pertumbuhannya sendiri. Tanpa penjelasan. Tanpa pendasaran. Sesuatu yang normal. Anugerah. Sakral.
Seingat saya, kami diberi pemahaman seksualitas yang memadai mulai dari kelas satu SMP. Tentang perubahan-perubahan biologis yang akan kami alami. Kelas dua dan tiga SMP pengetahuan seksualitas kami terus dipupuk. Semua penggambaran itu selalu dibarengi dengan penanaman nilai penghayatan seksualitas yang normal dan sakral. Melihat segala perubahan itu sebagai sebuah anugerah istimewa.
Saat yang paling kami nanti-nantikan di masa remaja adalah mimpi basah. Kami begitu gembira, ketika untuk pertama kalinya mimpi basah. “Selamat memasuki masa remaja!”. Biasanya kalau mimpi basah, tikar, bantal, selimut dijemur. Semua siswa lantas tahu. Dia ini mimpi basah semalam. Ada yang usil, “dengan siapa?”. Karena dingin, sebagian tidak mandi. Kalau sudah begitu, bau amis sperma pasti kerasa. Apalagi kalau stok celana dalam terbatas.
Zaman berganti, tuntutan dan godaan pun semakin beragam. Batas antara yang tabu dan yang diperbolehkan, yang profan, yang hedonis, dan yang sakral, yang suci semakin tipis. Penghargaan terhadap nilai seksualitas yang seimbang pun berkurang. Seks dilihat sebagai sesuatu yang mendatangkan “kenikmatan” semata. Seks menjadi hanya sebuah “alat” mencapai kepuasan. Seks bukan lagi menjadi “zat” pertumbuhan. Sebatas “erotisme” di zaman Cleopatra. Bebas dan murah. Dangkal dan lumrah.
Tidak pandai-pandai menyajikan sebuah pandangan yang sehat terhadap seks, sama saja menjerumuskan generasi sekarang dalam dunia kepuasaan itu. Tirai yang membatasi dunia tabu itu sudah lama tersingkap dan semua orang mempunyai akses tak terbatas, tak terkendali, tak kenal usia terhadap seks. Dan tidak mungkin ada yang bisa menghentikan laju “ketelanjangan” massal ini. Termasuk di seminari!
Terlalu di kekang, justru malah main belakang. Terlalu disumbat, justru malah bocor tipis-tipis. Disumbat mati-matian sampai kelelep, akan timbul pemberontakan. Penyaluran yang frontal, ganas, brutal, tidak punya etiket, memalukan. Justru dalam kekangan ini, selalu saja ada godaan menyimpang.
Namun bagi saya, semua pengalaman menjadi dan mendampingi siswa adalah saat-saat istimewa. Banyak hal yang membuat saya harus memaafkan masa lalu saya, menobatkan diri saya sendiri ketika berhadapan dengan kepolosan, kemurnian mereka. Tergambar di pelupuk mata, masa lalu saya, ketika saya dibentuk oleh pengalaman yang berbeda. Dan saat itu saya belum sepenuhnya menyadari arti dari pendidikan itu. Saya mungkin seperti adik-adik saya ini, merasa terpaksa, dipaksakan, tidak bebas lalu berontak. Tidak tahu maksud di balik semua kerja ajaib, agung, dan penuh rahmat ini. Saya bersyukur bahwa bisa bertumbuh secara normal dan sehat. Menjadi diri saya sendiri, apa adanya saya. Ini sungguh-sungguh istimewa. Puji Tuhan!
Satu hal yang saya pelajari dari adik-adikku, yaitu hidup jujur, tanpa topeng. Terima kasih, adik-adikku! Ini permata paling berharga dalam hidup ini.*
Permenunganku:
“Sebenarnya, yang paling mendasar dalam menghadapi pertumbuhan dan perkembangan anak adalah keterbukaan, kejujuran, dan keteladanan. Dari hati ke hati. Sedikit menceburkan diri dalam dunia anak. Jangan sampai mereka mengalami lingkungan pendidikan penuh topeng-topengan, munafik, terbiasa “main sembunyi”, “main belakang”, dipaksa, terpaksa, selalu disalahkan. Dunia topeng-topengan selalu menganjurkan mereka berbuat lain dari yang diminta, menyimpang dari kebiasaan, aturan, dan betah di tempat tersembunyi. Hati-hati, sebab kebiasaan ini akan terus dibawa. Menjadi penipu ulung, pemberontak, pemuja kegelapan, dan main samping. Mesti dekati mereka secara terbuka, jujur, tunjuk teladan, sentuh hati mereka, dan cintailah mereka apa adanya. Seperti cinta Tuhan yang selalu konsisten, sabar, tidak pernah berprasangka buruk, termasuk dalam kedosaan kita.
Kepada teman-teman, bersyukurlah bahwa kita pernah menjadi anak dan dididik dalam panti pendidikan seminari yang istimewa.”


[1] Istilah yang sering kami kapai untuk menggambarkan wajah merah seseorang karena menahan malu. Merah seperti tomat masak.
[2] Daging anjing yang dimasak campur dengan kelapa parutan
[3] Rumah Ret Ret , persis di seberang jalan, berhadapan dengan seminari kami
[4] Tugas mengawasi siswa belajar sore dan malam
[5] Sebenarnya “teror” berangkat dari kebiasaan OSIS mempermalukan teman-teman lainnya yang kedapatan menyimpang dari kebiasaan atau aturan asrama. Layaknya seorang penjahat perang, pelaku indisipliner diminta berdiri di muka umum. Biasanya di kamar makan pada saat jam makan. Setelah si pelaku berdiri, satu per satu perbuatan salahnya itu ditelanjangi di depan umum. Semua anggota asrama lantas tahu. Cap atau stempel negatif sudah tentu dihujatkan. Malu memang. Sangat malu. Terpukul. Apalagi untuk teman-teman yang terlibat dalam kelainan orientasi seksual itu.

2 comments:

ATAKEO TE said...

Bulan July lalu saya sempatkan kunjungi Mataloko.Saya naik oto Ebulobo dari Bajawa. Karena khusus, saya sengja singgah di Mataloko. Masuk lewat pintu ke Tanjung. Sekarang saya ingat dulu ada pintu tertutup. Saya pernah berdiri di luar pagar. Seorang pater Polandia memotret saya. Dia pajang itu foto di dinding dan tulis di bawahnya:"Quam queritis in Via?" Malunya minta ampun. Quam kata latin untuk wanita. Biasa hari Minggu kita janjian sama rigo dan weta untuk dapat hae ego atau muku tea. Terkadang kita tukar sama baju atau celana. Untuk yang satu ini saya pernah tertangkap. Pater Albert van der Heyden kejar sampai kaca mata pecah. Pater tanya teman-teman tetapi saya maju dan jujur mengatakan itu saya. Orang Belanda itu sangat menghargai keberanian dan kejujuran saya. Dia tidak marah. Amanlah saya.
Anak Seminari Mataloko sudah berbeda. Wajah bersih lebih cerah. Busana tenun.
Saya sempat makan siang di kamar makan pastor. Itu ruang angker luar biasa dulu. Ada p. Bene Daghi, Domi Balo dan beberapa imam serta frater salah satunya putera pak Stef Rosi. Dan juga pater perawat Engels dalam black suit rapih. Dia sudah tua tapi masih ingat. Sambil makan saya bikin seru dengan cerita masa lalu.
Pater Engels sampai tertawa cerita tentang celana dalam masa jadul.Para pater masih pakai celana dalam jahitan suster dari kain blacu yang terkadang terlalu sesak.
Saya cerita pakai celana tetrex yang harganya luar biasa mahal. Celana itu sedang dipakai oleh orang Cina , baba Kahin di Maunori. Bapa minta beli untuk anaknya. Harganya 15 ulu kelapa (satu ulu = 40 buah_).

Anonymous said...

Saya senang membaca tulisan ini. Saya memang tidak pernah mengenyam pendidikan di Semianari Mataloko.Tetapi, kakak pertamaku bersekolah di sana. Setiap pulang libur Natal atau libur panjang, dia selalu bercerita tentang seminari Mataloko dan mengajak saya untuk melanjutkan studi di sana selepas tamat dari SD. Namun sayangnya, saya tidak bisa masuk seminari karena pater Herman Scholte, pastor paroki wudu kala itu ada ke Belanda merawat kesehatan. Jadi tidak ada orang yang memberi informasi tentang tes seminari Matoloko. Saya cuma bisa menangis kala itu.

Cerita-cerita kakak saya selalu menggoda dan menyenangkan. Apalagi waktu itu saya masih lugu2. Cerita2 itu kurang lebih sama dengan yang dituturkan oleh tulisan ini. Ketika, saya mulai masuk di Ledalero cerita2 tentang seminari Mataloko tetap menyenangkan dan enak untuk dinikmati. Mungkin karena ambisi dan keinginan saya untuk belajar di seminari masih ada. Tapi hal itu mustahil bisa terjadi. Tetapi, jujur saja: "ssya mencintai seminari Mataloko". Mungkin karena sering mendengar cerita dari kakak saya dan sering mengunjungi seminari membuat saya sangat penasaran dan suka dengan seminari Mataloko.

TErima kasih untuk tulisannya yang menarik. Enak untuk dibaca dan bisa memunculkan inspirasi. Saya pikir kalau tulisam2 seperti ini dibukukan pasti akan menjadi kado yang sangat istimewa bagi para alumni, anak seminari semuanya.

Proficiat!