
Bus Surya Agung yang saya tumpangi berjalan begitu cepat. Sore, sekitar jam empat, saya sudah tiba di Mataloko. Ini sebuah kemajuan zaman. Teringat waktu masih menjadi siswa dulu. Siswa Maumere pasti datangnya paling telat. Saat semua siswa sudah pada tidur. Atau pas doa malam. Jalan selalu rusak. Jadi kami ektra hati-hati.
Surya Agung dari dulu sudah menjadi langganan tetap. Pulang Surya Agung, datang juga Surya Agung. Sampai-sampai bus-bus lain seperti Sayang Indah pada cemburu. Sekali waktu mereka mogok. Bukan mogok jalan tetapi tidak mau menerima titipan atau kiriman orang tua siswa asal Maumere. Sampai pada liburan berikut, kami kemudian bersikap adil. Kami pakai dua-duanya. Satu Surya Agung dan satu Sayang Indah. Supaya tidak ada lagi yang ngambek atau mogok. Bisa berabe juga. Soalnya urusan perut, duit, dan komunikasi tidak bisa ditunda-tunda. Kalau mau cepat, ya mesti lewat bus-bus ini.
Tempat tidur sudah diatur rapi. Bantal, kasur, selimut, meja, lemari. Kain jendela sudah dipasang dan kelihatan baru. Lampu sudah diperbaiki. Kamar mandi sudah bersih. Cuma saya perlu menambah beberapa aksesoris. Supaya betah. Juga supaya lebih menarik. Jangan sampai tidak ada yang mau masuk kamar saya. Sebuah kecelakaan besar kalau sampai orang takut masuk kamar saya. Saya juga suka pernak-pernik. Hias sana hias sini. Taruh bunga sana dan sini. Balik meja, atau kursi supaya kelihatan tampil beda. Ini gaya saya. Klasik tapi postmodernisme.
Cepat-cepat saya mandi. Kalau telat, wah...kayak mandi di kolam es. Dinginnya minta ampun. Ada juga beberapa siswa yang sudah datang. Mereka nampak heran. Ada juga yang tersenyum-senyum. Ada yang lihat sembunyi-sembunyi. “Ini frater baru kita ko...galak tidak?”.
Segar. Bau keringat dan rasa capek perjalanan hilang seketika. Nikmat memang kalau habis mandi. Terasa dunia ini milik sendiri. Kalau tidak, tubuh sepertinya ditusuk seribu jarum. Gatal-gatal. Panas sekujur. Sangat tidak nyaman. Saya sendiri heran, ada teman saya yang jarang mandi. Sepertinya pekerjaan mandi itu berat dan menguras banyak tenaga. Padahal tinggal gayung air dan sabunan, terus basuh. Tapi itu bukan pekerjaan mudah baginya. Masuk kamar mandi saja pakai hitungan jari, apalagi mau mandi. Jalan tengahnya, semprot parfum banyak-banyak. Jarak satu kilometer, kita pasti sudah bisa tahu, yang di sana itu tentu “makhluk yang jarang mandi itu”. Sumpah. Tidak tahu kenapa. Katanya, bawaan bayi.
Setelah mandi, bereskan kamar sebentar lalu saya putar-putar seminari. Mengenang masa silam. Pertama saya bergerak menuju ke kelas-kelas. Sengaja saya lewat halaman tengah. Menikmati bunga-bunga yang ada. Nampak indah dan segar. Ada bunga aster, mulut singa, mawar, dahlia, pukul sembilan, sampai bunga tahi ayam. Baunya, memang seperti tahi ayam. Bunga itu selalu menjadi pilihan terakhir. Kalau semua bunga lain tidak bisa hidup dengan baik di taman, bunga tahi ayam menjadi pilihan satu-satunya. Soalnya bunga yang satu ini cocok dengan segala kondisi tanah.
Saya teringat, taman depan kamar Romo Prefek alias bapa asrama itu pernah menjadi taman saya. Saya suka bunga mawar, aster, dan beberapa jenis bunga lain yang saya sendiri sudah lupa namanya. Setiap hari saya selalu menyiramnya. Sama seperti manusia yang membutuhkan air dan makanan, bunga juga butuh itu. Kalau ada dahan atau ranting yang kering, saya bersihkan. Rumput liar tidak saya biarkan membesar. Sedikit saja ada rumput liar, pasti sudah saya bersihkan.
Bunga punya masa bertumbuh, berbunga, kemudian layu dan mati. Pada masa-masa bertumbuh, dari pembibitan menuju masa berbunga, perlu ekstra perhatian. Kalau tidak, bisa jadi bunga tidak akan tumbuh sempurna, tidak akan pernah ada bunga, bahkan ada yang kerdil dan mati. Karena itu, sebelum menanam, tanah harus diolah dulu. Diberi pupuk kalau memungkinkan.
Saya sendiri paling rajin memberi pupuk pada lahan, tempat bunga itu mau ditanam. Pupuk alami. Saya ambil dari Tanjung.[1] Di sana kan banyak tahi sapi dan bekas dedak yang sudah menjadi tanah subur. Kompos. Karena tahi sapi itu terdiri atas rumput-rumputan yang sudah diolah terlebih dahulu di perut sapi. Keluar sebagai tahi dan tercampur dengan tanah. Mengalami masa penghancuran bersama bakteri dalam derajat suhu tertentu. Dan kemudian untuk masa yang lama, pupuk kompos itu siap dipakai. Sama halnya juga dengan dedak makanan babi. Prosesnya tidak terlalu jauh beda.
Semula saya merasa jijik. Tapi kemudian saya berpikir, ini kan alamiah. Sama seperti tubuh kita yang alamiah. Karena itu, saya ambil itu pupuk dan saya sebarkan atau campurkan bersama tanah di taman saya. Saya olah menjadi lahan basah siap tanam. Dibiarkan seminggu supaya tanah bisa beradaptasi dengan kondisi barunya. Kemudian tanah siap ditanami bunga.
Metode seperti ini ternyata berhasil. Bunga-bunga mengalami perkembangan pertumbuhan yang menyenangkan. Akar-akarnya kuat, batang-batangnya berisi, daunnya segar, dan tiba saat berbunga, bunga-bunganya begitu indah.
Ada perbedaan dalam merawat bunga. Ada bunga yang susah waktu menanam dan merawat, tapi kemudian bertahan lama, dan terus berbunga. Ada juga yang mudah ditanam dan dirawat, tapi tidak bertahan lama dan hanya satu kali berbunga. Mawar termasuk bunga yang susah dalam menanam dan merawat, tetapi bertahan lama dan terus berbunga. Sementara aster, tidak bertahan lama dan hanya satu kali berbunga.
Ada kebanggaan tersendiri kalau bunga-bunga hasil jerih payah saya dipakai untuk dihias di kapela. Itu berarti bunga-bunga saya layak untuk pujian kepada Tuhan. Teman-teman koster selalu mengambil bunga dari taman-taman itu pada hari Rabu dan Sabtu, pas kerja pos, kerja wajib mingguan di pos-pos pembagian. Ada teman-teman yang tidak mau memberikan bunga-bunga terbaiknya untuk dijadikan hiasan pot di kapela. Kata mereka, “Sudah capek-capek menanam, dipetik pula!” Beda dengan pikiran saya. Biarkan bunga itu juga turut memuji keagungan Tuhan, sebab semua makhluk memuji Dia. Semua bunga ikut bernyanyi dan gembira hatiku. Secara tidak langsung saya pun turut dalam pujian pada Tuhan.
***
Sampailah saya di kelas paling ujung. Berhadapan langsung dengan jalan raya. Kelas ini mengingatkan saya pada waktu jam belajar sore. Jendela-jendela selalu kami buka lebar-lebar. Sekali pun dingin, tidak menjadi masalah. Kami paling senang melihat ke luar jendela. Siapa tahu ada yang lewat dan kami bisa menyalurkan insting keusilan kami. Apalagi kalau yang lewat itu teman-teman dari Kartini. Heboh seluruh kelas. Semua kepala pasti dilongokkan ke jendela. Ada juga yang bersuit siul panjang dan melambai-lambaikan tangan. Kalau tidak Kartini, siswi-siswi SMP Supra Mataloko. Kalau tidak SMP Supra berarti SMA Thomas Aquinas. Lebih tua juga tidak apa-apa. Yang penting makhluk yang bernama perempuan. Langka dan unik.
Di kelas berikut. Kelas deretan tengah. Jendela selalu ditutup. Karena memang berhadapan langsung dengan tempat sampah umum. Pemandangan yang tidak mengenakkan. Lebih-lebih kalau ada yang bakar sampah. Asma bisa kumat karena sering asap masuk kelas. Kelas tanpa jendela ini punya kesibukan lain. Main karambol dari laci meja, tendang gawang dengan bola yang dibuat dari kaus kaki atau kumpulan kertas, juga sampai main kartu. Kelas ini paling kreatif dalam menciptakan permainan. Maklum. Tidak ada yang bisa dijadikan objek usil. Karena itu, mesti pandai-pandai mengisi kejenuhan.
Kami pernah dihukum sekelas karena kedapatan main karambol pakai laci meja. Seingat saya hari itu hari Senin. Kelas memang dalam keadaan tenang. Kelihatan dari luar semua pada belajar. Kami tahu, kalau kelas tenang berarti tidak banyak menarik perhatian Romo atau Frater. Frater atau Romo pasti tidak datang ke kelas kami. Mereka menyangka kami memang lagi belajar. Sebagian sementara belajar. Yang lain rupanya sibuk dengan papan karambol. Seolah-olah seperti belajar kelompok. Empat orang melingkar di satu meja. Buku tetap terbuka. Tetapi halamannya yang itu-itu saja. Hanya tangan yang bergerak. Kutak sana kutik sini. Tahu-tahunya perfek muncul dari jendela. Kepalanya dijulurkan ke dalam kelas. Dan ketahuan. Empat teman kami tertangkap basah.[2] Kami semua digelandang keluar. Persisnya di halaman depan kelas kami. Di situ kami berlutut ramai-ramai.
Keempat teman kami memimpin di lorong kelas kami. Sambil berlutut, meja karambol diletakkan di atas kepala mereka. Seperti menjinjing sebuah beban. Kata perfek, “supaya orang tahu, kalian dihukum atas alasan apa. Dan supaya teman-teman kelas lain belajar dari kesalahan kalian”. Muka mereka nampak sudah setengah matang. Merah tomat. Lucunya, dari antara empat teman kami itu, tidak ada yang sama tinggi. Ada yang begitu pendek dan ada yang begitu tinggi. Ketika mereka diperintahkan berlutut berapat-rapat dan menjinjing laci karambol itu, teman saya yang pendek itu hanya memikul angin, alias sama sekali tidak kena. Karena itu, hanya ada tiga kepala yang menjinjing laci itu. Mereka harus menjaga keseimbangan supaya laci itu tidak jatuh. Susah memang dengan kekurangan satu tumpuan.
Sampai jam Salve[3], kebiasaan hari Senin, kami tidak disuruh ke kapela. Tetap dalam posisi berlutut. Bayangkan, sudah sejak dari jam belajar pertama. Kakak dan teman-teman kelas mengejek-ejek kami. Memang kelas kami lagi benar-benar apes. Setelah salve, jam makan. Kami pikir perfek akan membiarkan kami makan. Tidak juga. Kami masih dalam posisi berlutut. Terasa lutut mulai asam. Perut juga kelihatannya keroncong. Dengan tenaga sisa kami lanjutkan hukuman ini.
Perfek masuk kamar makan. Semua hening. Suara sang perfek kedengaran sayup-sayup. Satu point pengumuman adalah tentang kami. Beliau menjelaskan kejadian di kelas kami. Dan semua diminta untuk tidak mengikuti sikap buruk kami. Kemudian pengumuman sekaligus penegasan ditutup dengan sebuah perintah. “Setelah makan, semua nasi, sayur, dan lauk langsung dibuang. Tidak usah simpan untuk mereka yang masih berlutut!” Lemaslah kami yang mendengarkan perintah terakhir itu. Hari ini kami mungkin tidur dengan perut keroncongan.
Efek dari pengumuman itu, kelas kami mulai terpecah belah. Ada yang mulai saling menyalahkan. Terutama teman-teman yang ada di depan kami. Mereka menjadi sasaran empuk kekesalan kami. Kemudian ketua kelas dan kami semua berembuk. Sebaiknya kita minta maaf. Ini jalan keluar yang kami pikirkan waktu itu. Karena itu, keempat teman kami bersama ketua kelas berinisiatif menghadap perfek. Kami semua menanti hasil. Selang lima belas sampai setengah jam, kelima teman kami kembali. Tidak tahu hasil pembicaraannya apa, tapi kami disuruh berdiri, masuk kelas, dan menyesuaikan diri dengan aturan seperti biasa. Berarti kami tidak diperbolehkan makan. Padahal sudah lapar.
Beruntung bahwa sebagian besar anggota meja makan kami tidak mentaati perintah perfek. Mereka masih menyimpan nasi dan sayur untuk kami. Sebuah solidaritas yang buruk, tapi penting di saat genting ini. Setelah doa, dengan mengendap-ngendap kami makan. Sekedar mengisi perut yang keroncong. Kami bagi-bagi. Ada yang kurang beruntung. Sama sekali tidak disimpan. Sepiring bisa makan dua tiga orang. Yang penting kebersamaan.
***
Rata-rata semua kelas tidak berubah. Meja dan papan tulis tetap seperti yang dulu. Dinding selalu ada bekas sepatu dan upil. Bendera merah putih pasti bau keringat. Kalau keringatan bermain, bendera itu jadi sasaran. Pantas saja Nagabonar marah besar. Anak zaman sekarang sudah lupa akan darah para pahlawannya. Cuma ada yang beda. Kursi sudah diganti. Bukan lagi kursi kayu yang bikin pantat tepos dan sakit. Sekarang pakai kursi plastik. Rupanya para pembina sudah pada kapok. Soalnya kursi kayu, baik baru atau pun lama, tidak akan bertahan lama. Kalau tidak patah berarti goyang kanan kiri. Daya perusak kami waktu itu memang tinggi.
Dari kelas saya ke dapur. Tidak ada yang berubah sedikit pun. Bahkan tempat cuci sayur yang super jorok itu masih juga digunakan. Sekali limbah dalam sebuah baskom besar, sayuran siap dicemplungkan ke kuali untuk dimasak. Kotornya juga tidak karuan. Untung dibuat mati dengan dinding. Pakai lepas mungkin sudah ada siswa yang angkat dan buang itu tempat cuci sayur. Kemudian tempat menanak nasi pun tetap sama.
Sengaja saya intip ke gudang beras dan ikan. Juga tetap sama. Ikan-ikan itu masih juga bersahabat akrab dengan tikus, cecak dan rayap. Kami adalah generasi kedua yang makan ikan itu setelah tikus. Tapi kami gemuk-gemuk dan sehat-sehat. Sampai-sampai saya berpikir, penyakit itu tidak mungkin datang dari makanan, seburuk apa pun makanan itu. Yang buat siswa seminari sakit bukan makanannya tetapi cara hidupnya yang tidak teratur. Pernyataan ini sudah terbukti sepanjang pengalaman. Saya toh sampai sekarang tetap sehat walafiat, tidak ada penyakit yang begitu mengkawatirkan. Seperti hepatitis, virus yang paling menakutkan siswa seminari karena bisa menggagalkan panggilan. Ada hepatitis berarti tamatlah panggilan. Dan yang biasanya kena hepatitis adalah mereka yang kurang tertib dalam pola hidupnya. Terlalu banyak olahraga sampai lupa makan, minum, istirahat yang cukup, doa dan belajar. Barangkali ini yang lebih tepat, dalam kondisi yang serba kekurangan itu, orang dituntut untuk hidup seimbang dan teratur. Sebab kekurangan sana sini bisa diimbangi atau ditutup dengan kelebihan sana sini. Tidak teratur atau tidak seimbang mendatangkan celah, bolong pada tubuh jasmaniah dan roh. Inilah yang mengakibatkan tubuh bereaksi dan munculah penyakit. Jadi, hidup tertib menjamin keseimbangan dalam tubuh, sekalipun tidak higienis (perlu lagi diperdebatkan dengan pakar kesehatan, seperti para perawat Lela atau Maumere).
Tak terasa. Pukul 18.30 WITA. Jam makan malam. Saya bergegas ke Unit C. Makan bersama. Orang bilang, cinta pertama itu terus akan diingat, selebihnya urusan masing-masing. Orang juga bilang, kesan pertama membekas, selebihnya atur saja bos! Makanya, saya harus tunjukkan kedisiplinan saya. Sebagai seorang pembina sekarang. Juga mantan siswa. Sekurang-kurang mereka menjadi bangga. Karena telah menjadi bagian dari hidup saya sebagai seorang pembina.
Semula saya merasa canggung. Sewaktu saya menjadi siswa, mereka jugalah yang menjadi pembina, pendamping saya. Baik dan buruknya saya sudah mereka ketahui. Saya seperti raja telanjang. Tidak ada yang bisa saya tutup-tutupi dari mereka. Malu-malu. Segan. Tak terukur perasaan saya. Berkecamuk.
Saya duduk dekat seorang guru Bahasa Inggris asal Inggris. Bujang lapuk juga, karena memang belum kawin. Guru bantuan Ausaid, yang ditugaskan di wilayah Ngada. Tingggal di seminari. Makan di Unit C. Kentang goreng dengan merica dan salay Inggris. Enak. Cuma kentut yang nantinya lebih bau. He...he..he...
Di samping kiri saya, teman-teman frater TOP lainnya. Ada yang sudah setahun di seminari, ada yang masuk sama-sama dengan saya. Baru mulai belajar makan di Unit C. Sama-sama kikuk. Sama-sama tidak tahu harus mulai dari mana. Lucunya, saya bawa senduk lengkap dengan garpu ke meja hidangan menu makan. Padahal, senduk dan garpu itu sebenarnya tidak perlu dibawa. Cukup piring. Karena segala sesuatu sudah disediakan di sana. Senduk sayur ada. Senduk sup ada. Senduk nasi ada. Senduk lauk ada. Kenapa saya harus capek-capek lagi bawa senduk dan garpu? Lihat kiri lihat kanan, syukur tidak ada yang menertawai saya. Tapi was-was juga, jangan sampai rahasia perusahaan ini terbongkar. Dan matilah saya! Pasti jadi objek tertawaan.
Nasi, sayur, lauk secukupnya. Langsung saya santap. Romo di hadapan saya, mantan guru saya juga nyeletuk. “Tidak sup duluan?” Saya kelabakan. Tapi tidak hilang akal. “Makanan penutup saja!” Romo ketawa. Baru kali ini saya lihat Romo yang satu ini ketawa. Saya tidak pernah lihat dia ketawa sebelumnya. Saking seriusnya. Semua siswa, termasuk kami dulu, segan bahkan takut dengan Romo ini. Aura sangarnya jelas kelihatan. Apalagi kalau lagi marah. Uh...seperti auman harimau. Menyeramkan.
Sementara asyik makan, pintu kamar makan terbuka. Pater Engels. Sudah tua sekali tetapi masih juga tegak berjalan. Semangat 45. Walaupun dari Jerman. Pater kadang terlambat masuk kamar makan. Sebenarnya bukan karakter dia untuk terlambat. Kalau tidak ada halangan yang penting. Dan itu tidak lain soal poliklinik. Selain sebagai guru bahasa Jerman, Pater rutin menangani polik dan siswa yang sakit. Ada juga orang luar yang datang berobat. Pater selalu siap dua puluh empat jam untuk polik.
Kebanyakan siswa takut berobat ke Pater Engels. Bukan apa-apa. Gaya pelayanan Pater seratus persen diadopsi dari gaya militer. Maklum pernah menjadi dokter tentara. Kadang sadis, kadang menakutkan, kadang mengerikan, tapi juga ada lawaknya. Ada siswa yang trauma berhadapan dengan Pater. Itu berawal dari sakit gigi. Karena sudah tidak bisa mengatasi sendiri sakit giginya, teman saya itu berani menghadap Pater dan minta obat. Pater tidak beri obat. Malah Pater sibuk mempersiapkan tang, obat bius, dan benang. Dilebarkannya mulut teman saya itu. Digoyang-goyangkan gigi yang sakit itu. Sebenarnya teman saya itu mau berteriak saking sakitnya tapi takut sama Pater. Jadi, tahan saja.
“Ini harus dicabut!” kata Pater. Kemudian Pater ambil obat bius dan jarum suntik. Memasukan obat bius, kemudian menyuntikkan obat bius itu persis di gusi gigi yang mau dicabut. Selang beberapa menit, Pater ambil tang. Digoyang-goyangkannya gigi yang sakit itu dengan tang. Ke kiri ke kanan, seperti hendak mencabut paku yang sudah terlanjur tertanam kuat dalam sebuah balok. Pertarungan antara gigi, tang, dan kekuatan Pater itu berlangsung sekitar lima belas menit. Tapi gigi itu tidak kunjung juga lepas dari cangkangnya. Pater berusaha lagi. Kakinya yang satu ditumpukan pada kaki meja. Seperti hendak mencabut rumput dengan akar yang kuat. Juga tidak berhasil.
Rupanya Pater sudah kehabisan tenaga. Pater mengambil seutas benang. Mirip benang untuk menjahit sepatu. Ujung yang satu diikatkan pada gigi yang sudah terombang-ambing itu. Sementara ujungnya yang lain diikatkan pada gagang pintu. Sambil mengikat Pater bercerita. Ceritanya lucu dan membuat kita tersenyum-senyum. Puncak dari rasa lucu itu, kami semua ketawa termasuk teman yang giginya sakit ini. Pada saat teman saya itu asyik tertawa, brak....sekali tendangan, gigi teman saya itu roboh dan copot bersama dengan gerakan kencang pintu. Terlihat gigi teman saya itu benar-benar lepas dan masih terikat pada ujung benang yang satu. Tergeletak di lantai. Kami semua kaget setengah mati. Cabut gigi ala Pater Engels memang “sadis”.
Kebanyakan siswa lebih cepat sembuh kalau sudah berurusan dengan Pater Engels. Pertama memang karena obat-obatnya mujarab. Dan kedua karena takut. Tidak mau diobati Pater Engels. Apalagi kalau mau disuntik. Kita disuruh sandaran di tembok, dan Pater akan menusuk jarum itu dari jarak yang jauh. Seperti latihan tembak menembak. Selesai dengan obat pertama, spoit dilepas, dan jarum dibiarkan. Obat kedua dengan spoit berbeda tapi dimasukkan dengan jarum yang sama, yang masih melekat di pantat atau lengan kita.
Tapi berkat jasa Pater, banyak siswa yang tertolong. Tangan patah, kaki patah, muntaber sampai kritis, penyakit kuning, ginjal, hepatitis, semua dapat sembuh berkat tangan dingin Pater. Satu hal yang selalu Pater tekankan. Pater selalu menyembuhkan siswa bukan hanya dengan obat-obatan, tetapi terutama dengan doa. Siswa yang pernah masuk polik, karena cacar air, malaria, muntaber, mungkin tahu akan hal itu. Pater selalu mengajak berdoa, pagi, siang, dan malam bersama siswa-siswa yang sakit.
Pater juga menjadi anutan semua orang, baik para pembina, guru, maupun para siswa. Pengabdiannya tulus, tuntas, total, dan tanpa pamrih. Ia juga sangat disiplin. Sampai-sampai harus potong lari halaman tengah, kalau ia tahu sudah terlambat untuk mengajar. Dalam hal doa, Pater selalu terdepan. Imam yang selalu dekat dengan Brevir, Bunda Maria, dan Hati Kudus Yesus. Tidak berlebihan kalau Pater Engels disebut sebagai representan “para santo” yang hidup di tengah-tengah komunitas Seminari Mataloko.
Satu bangku lagi kosong. Mungkin ada kesibukan yang tidak bisa ditunda. Paginya, bangku itu juga kosong. Siang terulang kembali. Sedang puasa atau memang betul-betul sibuk pada saat jam makan. Saya melirikan mata saya ke papan absensi. Keterangannya ADA. Berarti bukan sedang di luar. Kalau begitu, di mana? Ini urusan pribadi. Tetapi kalau sudah masuk dalam sebuah komunitas, ya kapan lagi persaudaraan itu ditunjukkan secara nyata kalau bukan di saat makan. Banyak efek yang bermanfaat, yang bisa dipetik, kalau sama-sama makan dan berbicara secara akrab dengan sesama saudara anggota komunitas. Seperti sebuah keluarga. Bukan orang asing. Atau sengaja mengasingkan diri.
Mantan Prefek saya persis di samping Pater Engels. Orangnya tegap dan tegas. Tidak kompromi dengan segala tindakan indisipliner. Tidak segan-segan menjatuhkan hukuman bila siswa salah. Semasa kami, Romo masih suka pukul. Sejalan dengan waktu, barangkali Romo sudah menemukan pola yang tepat dalam mendampingi siswa. Lebih matang dan dewasa. Dan untuk ini, kami telah memaafkan apa yang sudah terjadi atas diri kami. Justru kami patut berterima kasih. Sebab dari telapak tangan itu, muncul buah-buah kebajikan yang kami sendiri rasakan gunanya untuk diri kami.
Banyak hal yang bisa kami pelajari dari teladan hidupnya. Yang paling utama adalah disiplin. Romo kami ini super disiplin. Sebelum kami bangun, Romo sudah duluan bangun. Yang bangun terlambat atau tanpa sadar terlelap tidur, Romo bangunkan dengan semprotan air. Pakai alat penyemprot air untuk bunga. Ketika kami sudah tidur, Romo masih terjaga. Sampai keadaan benar-benar aman.
Ada Romo yang telat bangun. Juga lupa giliran misa. Mesti selalu harus dibangunkan. Atau tidak harus cari pengganti. Kalau ini terjadi pas pekan ujian, menjengkelkan. Apalagi misanya dibuat lama. Berarti makan akan cepat-cepat. Supaya masuk kelas tidak terlambat. Sialnya, kami tidak punya kesempatan buka catatan lagi untuk sekedar segarkan ingatan. Dan inilah yang menjengkelkan kami.
Romo Perfek kami juga suka tanam bunga, selalu rapi dan bersih. Lucunya, satu waktu Romo inpeksi mendadak. Sampailah di kelas deretan tengah. Di sana Romo menjumpai kelas penuh kertas dan sampah. Melihat itu, semua siswa disuruh berdiri di samping meja. Sejenak Romo memperingati siswa soal pentingnya kebersihan. Siswa diminta menjaga kebersihan kelas. Sebagai hukuman, siswa pungut sampah dengan menggunakan mulutnya. Semua tunduk ke lantai dan pungut kotoran dengan menggunakan mulut menuju ke tempat sampah. Mirip badut.
***
Kecanggungan saya lama-lama surut. Kami diterima bukan lagi sebagai siswa melainkan sebagai bagian dari para pembina dan pendamping siswa. Kami dipercayakan untuk menjalankan tugas-tugas perfektur sejauh dalam batas-batas kewenangan kami. Ini penting. Supaya tidak asal serobot dan makan gigi. Soalnya, hal utama yang harus diperhatikan dalam kehidupan komunitas adalah tata krama, saling menghormati pribadi, wewenang dan jabatan. Melecehkan seseorang, baik secara pribadi maupun dalam fungsi dan wewenangnya sama saja menoreh luka komunitas. Masalahnya bisa bertambah runyam kalau sudah ada blok-blok, praduga-praduga, perspektif tertentu, apalagi sampai negative-thinking.
Komunitas yang baik adalah komunitas yang menghargai satu sama lain, sekecil apapun dia. Menciderai hakikat komunitas ini berarti menimbulkan pecah belah yang sulit untuk dimaafkan. Tidak ada saling percaya. Selalu curiga. Cemburu tanpa alasan. Menjadi pemarah. Egois. Pendendam. Berlomba untuk mengalahkan. Sulit mempercayai teman. Tidak pernah mau mengakui kelebihan anggota komunitas lain.
Dalam situasi seperti itu, siswa yang bakalan menerima akibatnya. Stres dengan kehidupan komunitas, jenuh dengan kebersamaan, letih dengan persaudaraan ke dalam, siswa menjadi sasaran, pelampiasan. Jadilah siswa dihukum seberat-beratnya. Salah sedikit, masalah menjadi besar. Hukumannya pun seberat-besatnya. Seperti tanpa ada akhir. Berjam-jam. Tidak makan. Tidak mandi.
Kami pernah mengalami masa-masa pahit dengan pembina kami. Waktu itu, prefek kami itu merangkap jabatan sebagai kepala sekolah. Sementara itu keadaan komunitas runyam. Dengar-dengar ada bentrokan besar antarsesama anggota komunitas. Dalam masa-masa itu, kami selalu menjadi puncak pelampiasan kemarahan. Kami juga menjadi tempat hujatan, cacian, hukuman. Sering kami tidur di luar asrama. Memang sebagian dari kami ribut. Tapi tidak semuanya harus dihukum. Kami digelandang keluar dari kamar tidur tanpa sempat membawa apa-apa. Tidur beralaskan lantai dan rumput beratapkan langit. Dingin lagi. Terus jam lima empat lima pagi kami sudah harus bangun seperti biasa. Menjalankan rutinitas seperti biasa.
Kami menjuluki prefek kami dengan “si gila yang lagi kumat”. Kalau sudah kumat pusingnya, ada-ada saja ulahnya. Kami juga tidak kenal minggu pesiar. Padahal kami butuh minggu pesiar. Sekedar cuci mata dari kejenuhan di dalam asrama. Juga beli kebutuhan harian kami. Atau sekedar cari variasi makanan. Barang-barang kebutuhan pokok kami itu terpaksa Romo pembantu prefek yang beli. Atau kalau tidak kami titip lewat kakak-kakak SMA yang selalu punya waktu pesiar.
Minggu pesiar kami tergantung pada hari Sabtu sampai jelang waktu pesiar. Kami harus silentium alias diam. Tidak boleh ada yang ribut, baik di kamar tidur, kamar makan, maupun kelas, pada saat belajar. Kalau ada yang ribut, sial! Peluang untuk pesiar kami tertutup. Segera kami akan dikumpulkan di kamar makan. Duduk pada meja masing-masing. Kemudian kami menjalani hukuman rutin, yaitu menandukkan kepala kami ke meja makan, sampai ada yang benjol-benjol. Ciri khas siswa SMP Seminari waktu itu adalah benjol di dahi seperti sebuah telor.
Sesudah tanduk, kami disuruh membersihkan kamar makan dengan menggunakan serbuk kayu dicampur dengan oli kotor. Kami harus gosok lantai kamar makan sampai bersih mengkilat. Sedikit ada noda saja disuruh harus ulang. Sementara kami membersihkan kamar makan, perfek kami itu terus saja menjaga kami, seperti seorang mandor. Dengan sapu di tangan, dia akan mengejar kami dari satu sudut ke sudut yang lain. Tanpa ampun dia akan mengayunkan sapu ke arah kami. Tidak peduli kena atau tidak. Kami lantas berlari menjauhi dia ketika dia mendekat ke arah kami dengan sebuah pentungan atau sapu. Jadilah kami saling kejar mengejar tiada henti, mirip sebuah drama.
Tidak ada satu pun dari para pembina yang bisa menghentikan kegilaan ini. Bahkan Pater Engels pun tidak. Buktinya ada dalam cerita ini. Karena waktu itu musim sakit malaria, kamar khusus orang sakit dan polik pada penuh. Polik hanya untuk yang sudah sedemikian parah dan butuh perhatian serius. Sementara yang masih bisa ditangani sendiri oleh teman-temannya, ditempatkan di kamar khusus orang sakit. Saking penuhnya, kamar tidur pun jadi kamar orang sakit.
Sekalipun sakit, menu makan tidak terlalu dibedakan. Nasi jagung dan kol berenang. Bedanya cuma telan obat. Waktu itu, Malanuza, kebun Seminari lagi panen jagung. Kami tidak makan nasi malam itu. Jagung tok. Termasuk orang sakit.
Sampai dengan jam doa malam, tidak ada kejadian yang terlalu istimewa. Berlangsung seperti biasa. Setelah doa malam, kami semua menuju tempat tidur masing-masing. Ada yang sikat gigi, rendam pakaian, cuci muka, dan sudah tentu buang air kecil. Antrian buang air kecil selalu panjang pada saat selesai doa malam. Karena semua kelas, dari kelas satu sampai kelas tiga, burung besar kecil, pada antri di tempat kencing. Jumlah tempat kencing waktu itu hanya enam, untuk sekitar mendekati 300-an siswa. Dan tidak boleh ada yang kencing di toilet. Ada petugas khusus yang jaga supaya tidak ada yang kencing di toilet. Kasihan benar untuk siswa yang betul-betul sudah tidak tahan. Alias di ujung. Bisa-bisa kencing di celana. Ada yang kalau sudah tidak bisa tahan, ya terpaksa sembunyi-sembunyi cari tempat kencing. Di kamar jemur, di lapangan bola, atau juga di kamar mandi. Yang penting tidak ketahuan!
Lampu kamar tidur nyaris ditutup semua. Tiba-tiba saja perfek kami itu mengamuk hebat. Kami semua was-was. Pasti tidur lagi di luar. Karena ribut. Kami semua diusir keluar. Tidak ada yang berani melawan. Termasuk orang sakit yang ada di kamar tidur. Semua keluar. Kami sendiri tidak tahu apa kesalahan kami. Yang penting selamatkan diri dari lonceng yang ada di tangan perfek kami itu. Tidak bangun dan lekas lari berarti kena hantam itu lonceng. Besi pula. Semua pada berhamburan keluar sambil mencari-cari kambing hitam. Siapa kali ini yang punya ulah, ribut sampai kami digiring keluar seperti pesakitan.
Sampai di luar, perfek kami itu memanggil semua orang sakit dan mengumpulkan di satu tempat. Kami kira mereka dikecualikan dan disuruh kembali tidur. Tahu-tahunya, mereka berlutut beramai-ramai di halaman tengah. Sudah dingin. Embun. Kena angin malam. Kasihan juga. Ada yang sampai menggigil. Bercampur demam dan dinginnya malam.
Kami baru tahu ternyata biang keladinya ada pada orang sakit. Mereka makan jagung tetapi tidak jaga kebersihan kamar tidur. Tongkol jagung dibuang begitu saja di lantai. Biji jagung berserakan di bawah tempat tidur. Ini yang membuat perfek kami berang. Lantas kami digelandang keluar.
Di satu sisi kami begitu jengkel dengan teman-teman yang sakit itu. Ulah mereka, kami semua kena getahnya. Pupus sudah harapan untuk bisa tidur dengan nyenyak. Pupus sudah harapan untuk mimpi basah malam ini. Tapi di sisi lain, kami juga kasihan. Sudah sakit, disuruh berlutut, malam hari pula. Merasa senasib sepenanggungan, ada beberapa teman yang memberikan kain selimut yang berhasil dibawa keluar pada teman-teman yang lagi sakit. Ada yang sama sekali tidak pakai selimut dan hanya mengenakan celana pendek. Telanjang kaki dan hanya pakai baju dalam.
Melihat kejadian tragis itu, Pater Engels turun tangan. Penanggung jawab polik ini minta pada perfek kami untuk membebaskan mereka yang sakit dari hukuman itu. Tapi perfek kami tidak peduli. Sekali berlutut tetap berlutut. Kemudian pembantu perfek datang membujuk ketua perfeknya. Juga tidak luluh. Terbuat dari apakah hati orang ini? Keras seperti cadas. Semua tidak berdaya. Orang sakit tetap berlutut malam itu. Dan kami yang lain hanya bisa menyaksikan dari jauh.
Datang perintah. Semua masuk ke kamar tidur dan angkat tempat tidur keluar. Segera mungkin. Suara perfek kami itu bagai malaikat pencabut maut. Tidak ada yang tidak bergerak. Dengan cepat semua bekerja. Bahu membahu keluarkan tempat tidur. Tanpa kecuali. Dan dalam tempo lima belas sampai dua puluh menit, kamar tidur sudah menjadi sebuah ruang kosong. Tidak ada satu pun tempat tidur yang masih tersisa.
Datang lagi perintah. Ambil ember dan slaber, bukan pel. Kami lalu bagi tugas. Masing-masing kelas tanggung bloknya sendiri-sendiri. Ada yang tampung air dari kamar mandi. Ada yang siram. Ada yang gosok pakai sabun rinso. Kami disuruh membersihkan kamar tidur malam itu juga. Sekitar pukul 21.15 WITA. Dan tidak boleh ada bagian yang masih basah. Harus dikeringkan malam itu juga.
Semua ember dan kain pel kami kerahkan. Pakaian-pakaian bekas yang sudah tidak dipakai kami terjunkan untuk mengeringkan air slaberan. Semua bekerja keras. Tidak ada yang tinggal diam. Bekerja tanpa suara. Tapi juga mengantuk. Mungkin kebutuhan untuk istirahat inilah yang membuat kami bahu membahu menyelesaikan pekerjaan ini. Sekitar pukul 3.15 WITA pekerjaan pel dan mengeringkan selesai. Tempat tidur boleh dimasukkan. Kemudian kami diperkenankan istirahat. Lega rasanya. Tidur sampai bodoh. Karena memang sudah sangat capek. Tapi kami harus bangun pagi. Tidak boleh telat. Tidak apa-apa. Yang penting bisa tidur.
Lain waktu kami diusir dari kamar tidur. Alasannya sama, karena ribut. Waktu itu, jam istirahat siang. Kami diusir menuju kebun belakang kelas kami. Siang sampai sore kami diperintahkan sekaligus membabat rumput dan ilalang yang sudah setinggi kepala manusia, mencangkul, meratakan tanah, dan membuat bedeng. Harus sampai selesai. Pekerjaan gila. Untuk anak SMP seusia kami. Tapi harus kami lakukan. Taruhannya adalah panggilan kami sendiri.
Staf OSIS bergerak cepat. Kami dibagi dalam beberapa kelompok. Kelas satu sampai kelas tiga bercampur baur. Kelompok pertama yang punya parang ditugaskan membabat rumput. Kelompok kedua, dengan pacul, mencangkul. Kelompok tiga dengan sisir, pikuil, dan peralatan lainnya meratakan tanah. Dan terakhir, kelompok empat langsung membuat bedeng. Lalu tanah disiram. Sore hari menjelang malam, pekerjaan selesai. Beberapa bedeng rapi terbangun.
Tragedi kali ini memakan korban. Satu tangan patah. Lonceng yang sebesar pisang satu tandang itu menghantam seorang siswa. Persis jatuh di got, depan kamar tidur. Tangannya langsung patah. Pater Engels lagi-lagi tidak bisa berbuat banyak. Hanya bisa mengobati siswa yang menjadi korban itu.
Syukur pada Tuhan, ada pergantian perfektur. Selamat sudah kami dari cengkeraman maut. Tapi kemudian kami mendapatkan perfek yang sangat disiplin, rajin, dan kalau marah meledak-ledak minta ampun. Pelahan-lahan kami beradaptasi dengan tangan dingin beliau. Dan kami menemukan bahwa semua itu demi kebaikan kami. Beda dengan bapa asrama sebelumnya. Benar-benar tanpa pola. Kehilangan pola. Atau mungkin, asal tubruk. Kalau mau jujur, seminari mesti harus minta maaf pada angkatan-angkatan kami. Tidak selayaknya kami diperlakukan demikian. Tetapi kami sadar, banyak sudah jasa seminari yang tertanam dalam diri kami. Cuma kasihan yang keluar duluan. Rasa sakit hati mungkin masih ada sampai sekarang.
Dunia siswa memang ada-ada saja. Selalu ada cara untuk lolos dari “mata agent”[4] para pembina. Kadang kami mempunyai istilah sendiri dengan romo-romo tertentu. Ada “Roda”, “Roleks”, “Roki”, dan “Rona”. Ro sudah tentu berarti romo dan suku kata berikut menunjukkan nama masing-masing romo. Dengan istilah ini, kami bisa bersembunyi atau lebih cepat kamuflase dari pengawasan para romo. Tapi ada juga yang dijuluki romo dengan “filing kuat”. Itu artinya, romo tersebut selalu bisa mengetahui dan selalu bisa menangkap basah pelanggaran yang seharusnya tersembunyi, tersusun rapi, dan diduga bakalan tidak diketahui. Istilah “filing kuat” sangat disegani siswa. Karena pasti tidak mungkin lolos. “Filing kuat” juga diberikan buat romo yang selalu menangkap basah siswa yang bolos. “Menyamar” bagaimana pun pasti ketahuan.
***
Jam makan selesai. Wakil Praeses memperkenalkan orang baru yang bergabung dalam komunitas ini. Termasuk saya. Lagi-lagi disambut dengan tepuk tangan. Pater Engels juga. Secara resmi kami diterima di komunitas ini. Sebagai pembantu perfek. Tetapi lebih dari itu, sebagai frater TOP, yang sedang belajar mematangkan panggilan dalam sebuah proses pembelajaran di seminari. Saya merasa haru sekaligus bangga. Di tengah-tengah mereka saya menemukan bahwa Tuhan memberikan saya keanekaragaman dalam penghayatan imamat. Kekayaan ini menjadi kekuatan saya. Sebab dari sana saya bisa belajar banyak. Belajar untuk menemukan model imamat yang sesungguhnya, yang masih saya cari. Dari mereka, saya mengolah diri saya sendiri.
Ketika saya mengenal lebih dekat, mantan pembina dan pendamping saya itu, saya menemukan sisi lain di balik profil pembina mereka. Tidak seperti gambaran para siswa. Menyeramkan. Menakutkan. Mungkin karena harus bertindak demikian. Mesti tegas. Prinsipil. Tidak kompromi. Dan ini yang membuat para siswa ketakutan. Segan. Apalagi nasib para siswa ada di tangan para pendamping ini. Sekali dua kali kedapatan bersalah, apalagi sampai meninggalkan bekas pada ingatan para pembina itu, sudah cukup merupakan lampu hijau bahkan lampu merah untuk siswa tersebut. Keluar, dalam bahasa kerennya “cedok”, bisa menjadi kenyataan. Dari dekat, mereka juga bisa tersenyum, ketawa, melawak, ramah.
Sering di kamar makan, ulah siswa menjadi topik pembicaraan. Siswa yang nakal dan selalu kedapatan melanggar menjadi bahan diskusi panjang. Antara dua. Atau anak ini sudah tidak bisa diatasi karena itu layak untuk “dicedok”. Atau anak ini diberi kesempatan lebih, sambil tetap terus diperhatikan secara serius. Kadang juga hukuman atas siswa yang nakal menjadi bahan tertawaan di kamar makan. Sebenarnya para pendamping itu punya selera humor yang tinggi. Sewaktu berhadapan dengan siswa, tampang mereka betul-betul kaku, serius, dan tegas. Tapi kalau sudah di kamar makan, mereka bisa saja menertawakan diri sendiri, dan mimik rasa bersalah siswa yang dihukum. Sebenarnya ada sisi kelembutan dan rasa belas kasihan yang tinggi, tapi demi pendidikan, “kemanjaan” seperti itu harus ditinggalkan. Disiplin jauh bertentangan dengan “kemanjaan”. Itu membuat semua pembina harus bersikap tegas.
Siswa yang memang patuh dan rajin selalu disayang pembina. Mengapa demikian? Para pembina merasa “dihargai” oleh sikap patuh dan rajin itu. Segala jerih payah dan pola pendampingan mereka terasa ada hasilnya. Mereka pun turut bahagia dalam keberhasilan pertumbuhan itu. Mereka merasa tersanjung oleh “buah” pendampingan yang sudah kelihatan bentuk dan hasilnya itu. Karena itu, siswa yang patuh dan rajin, apalagi cerdas selalu menjadi kesayangan semua pembina.
Kadang saya berpikir, terlalu juga kita ini. Sewaktu di rumah, kita begitu patuh dan taat pada orang tua. Tapi setelah kita di seminari, sikap melawan justru yang kita tunjukkan pada para pembina. Padahal, para pembina itu sama saja dengan orang tua kita. Mereka mau kita bertumbuh dan berbuah baik. Tapi kita salah mengerti. Malah mencaci maki mereka. Membenci mereka. Seolah-olah mereka sudah merebut segala kebebasan yang kita miliki. Pada titik ini, patut kita minta maaf atas semua kekurangajaran kita di tempo dulu.
Tetapi ada juga yang terlalu disayang, sampai “dielus-elus”. Kecemburuan teman-teman jelas ada. Karena siswa bisa tahu dan merasakan mana yang lebih diperhatikan, disayang, dikecualikan, dan mana yang selalu dibenci, dimarahi, dihukum. Kadang keberpihakan seperti ini justru merusak hubungan siswa yang satu dengan siswa yang lain. Ada semacam gap antara para siswa. Dan itu melukai persaudaraan dan kebersamaan para siswa. Dalam diri siswa yang selalu nakal, melanggar aturan, ada juga sisi-sisi kerinduan siswa itu untuk diperhatikan dan disayang. Semua menuntut porsinya masing-masing.
Siswa juga punya lensa penglihatan yang istimewa. Mata hati kepolosan mereka itu ternyata tajam dan bisa merasakan apa yang sedang terjadi dalam diri pembina, pendamping, bapa asramanya. Kalau ada yang salah, tidak beres, dipaksakan menjadi benar, menjadi beres, siswa-siswa itu “seolah-olah” tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Tapi dalam hati kecil mereka sesungguhnya mereka mengatakan, “kami sedang dibohongi”. Mereka bisa melihat dan biasanya mengukur tingkat kedisiplinan, kerohanian, kerajinan, kebersihan para pembinanya. Mereka tahu jam-jam pembinanya tidak ada di kamar, keluar seminari, atau sedang tidur, olahraga, makan, atau kerja. Mereka juga tahu situasi batin: marah, bahagia, jengkel, cemburu, tidak mau diganggu dari para pembinanya. Karena itu, mereka juga pandai memainkan perasaan para pembinanya itu.
Yang paling menyakitkan mereka adalah kalau apa yang dikatakan seorang pembina tidak dibuktikan sendiri melalui tindakan nyata. Mereka selalu menanti anutan, contoh hidup, praktik. Mereka memang butuh kata-kata nasihat, tapi lebih dari itu mereka menunggu bukti nyata dari kata-kata itu dalam diri sang pembina. Inilah justru pendidikan alamiah yang paling efektif. Yaitu keteladanan. Seperti Sang Guru Ilahi yang memberikan teladan hidup-Nya kepada murid-murid-Nya sampai tuntas, mati di kayu salib.
Yang saya lihat, menjadi pembina sama saja dengan menjadi pekerja di sebuah taman. Sejak dari pembibitan sampai menghasilkan bunga, para pekerja taman dituntut untuk memberikan perhatian ekstra. Semak duri, kadang beling melukai tangan, berlepotan tahi sapi, dedak babi, semua dilakukan hanya untuk sebuah pertumbuhan yang baik dengan hasil yang menakjubkan. Sementara bunga, seolah-olah tidak tahu bahkan tidak mau peduli dengan kerja keras para pekerja taman. Kalau tidak diperhatikan, ia malah kerdil, mogok berbunga, bahkan mati. Kalau rumput liar dibiarkan, dia juga tidak peduli. Tugas membersihkan adalah tugas para pekerja. Yang dia tahu hanya berbunga sesuai dengan perhatian yang diberikan. Susah payah seorang pekerja taman sama sekali tidak sebanding dengan penghargaan yang diberikan oleh sebuah bunga.
Kalau bunga itu mekar, pertama-tama yang dipuji bukan para pekerjanya. Tapi bunga itu sendiri. Memang ada kebahagiaan tersendiri bagi para pekerja melihat dan menyaksikan bunga hasil kerja kerasnya dipuji. Dia sendiri puas, cukup dengan bunga itu dipuji. Giliran bunga itu kerdil atau bahkan mati, yang dipersalahkan bukan bunga itu, melainkan para pekerjanya. Dia dicela, dicaci karena ketidakberhasilannya. Kadang dia menyesal, kecewa, pesimis, tapi itu semua tidak dipedulikan. Baik oleh bunga maupun para penikmat bunga. Sesudah itu, dia akan terus bekerja dan bekerja, dengan luka yang dibawa pergi, menghasilkan bunga-bunga baru tanpa mempedulikan dirinya sendiri.
Tepukan tangan tadi sebenarnya merupakan sebuah tantangan tersendiri. Mampukah saya menjadi seorang pendamping dan pembina yang baik buat adik-adikku?*
Permenunganku:
“Di mana pun kita berada dan menjadi seorang guru atau pendamping, kita mesti selalu bersedia dibenci dan ditakuti baik oleh seorang anak didik, maupun orang tua atau wali. Dan kapan serta di manapun anak didik itu berada, mereka selalu punya sikap antipati, melawan, susah diatur. Jarak seperti ini hanya bisa diputuskan dengan gerakan “merunduk”, seperti padi yang berisi. Atau inkarnasi, seperti Sang Guru Ilahi. Menyapa mereka dengan hati, berdialog secara jujur dan terbuka, selalu bersimpatik dengan setiap perkembangan mereka, dan yang paling penting adalah contoh atau teladan hidupmu. Di sana mereka akan berkaca tentang hakikat diri mereka sendiri dan nilai yang patut mereka teladani. Kecuali model pendidikan itu benar-benar buruk, tanpa tujuan yang baik dan menjangkau masa depan, pendidikan seperti itu hanya menghasilkan para diktator-diktator baru, atau sekurang-kurangnya manusia yang sakit ingatan. Pendidikan dengan visi dan misi yang jelas, metode dan pola pendampingan yang berkesinambungan seperti seminari, baik atau buruknya para pembina, selalu mempunyai sisi-sisi memorial yang bernilai untuk dikenang di masa depan. Bahkan menjadi sumbu yang tetap bernyala, sekalipun dalam kegelapan yang paling gelap. Berbahagialah bahwa kita pernah menjadi pendamping dari sekelompok siswa. Karena mereka akan terus menyanjung dan mengingat kita. Dalam hatinya, tercatat juga nama kita”.
[1] Pusat peternakan seminari. Biara-biara selalu punya kandang peternakan sendiri. Untuk mencukupi kebutuhan domestik. Kalau tidak sapi perah, ada babi, ayam, dan bebek.
[2] Saya teringat akan teman-teman saya itu, Andi Dolo, Mans si pendek Lakapati, Yan Wikul, dan Yanto “Ngarupolo”. Di mana saja kamu berada, saya selalu terkenang akan kisah karambol ini.
[3] Penyembahan Sakramen Maha Kudus
[4] Di mata para siswa, pembina dan pendamping asrama adalah para pengintai, pengawas, mirip polisi militer. Setiap tindak tanduk siswa selalu diperhatikan, diawasi. Siswa tidak bisa bebas. Selalu dalam pengawasan pembina. Karena itu, para pembina selalu disamakan dengan agen mata-mata, spionase, seperti CIA, KGB, dan yang lainnya.
Surya Agung dari dulu sudah menjadi langganan tetap. Pulang Surya Agung, datang juga Surya Agung. Sampai-sampai bus-bus lain seperti Sayang Indah pada cemburu. Sekali waktu mereka mogok. Bukan mogok jalan tetapi tidak mau menerima titipan atau kiriman orang tua siswa asal Maumere. Sampai pada liburan berikut, kami kemudian bersikap adil. Kami pakai dua-duanya. Satu Surya Agung dan satu Sayang Indah. Supaya tidak ada lagi yang ngambek atau mogok. Bisa berabe juga. Soalnya urusan perut, duit, dan komunikasi tidak bisa ditunda-tunda. Kalau mau cepat, ya mesti lewat bus-bus ini.
Tempat tidur sudah diatur rapi. Bantal, kasur, selimut, meja, lemari. Kain jendela sudah dipasang dan kelihatan baru. Lampu sudah diperbaiki. Kamar mandi sudah bersih. Cuma saya perlu menambah beberapa aksesoris. Supaya betah. Juga supaya lebih menarik. Jangan sampai tidak ada yang mau masuk kamar saya. Sebuah kecelakaan besar kalau sampai orang takut masuk kamar saya. Saya juga suka pernak-pernik. Hias sana hias sini. Taruh bunga sana dan sini. Balik meja, atau kursi supaya kelihatan tampil beda. Ini gaya saya. Klasik tapi postmodernisme.
Cepat-cepat saya mandi. Kalau telat, wah...kayak mandi di kolam es. Dinginnya minta ampun. Ada juga beberapa siswa yang sudah datang. Mereka nampak heran. Ada juga yang tersenyum-senyum. Ada yang lihat sembunyi-sembunyi. “Ini frater baru kita ko...galak tidak?”.
Segar. Bau keringat dan rasa capek perjalanan hilang seketika. Nikmat memang kalau habis mandi. Terasa dunia ini milik sendiri. Kalau tidak, tubuh sepertinya ditusuk seribu jarum. Gatal-gatal. Panas sekujur. Sangat tidak nyaman. Saya sendiri heran, ada teman saya yang jarang mandi. Sepertinya pekerjaan mandi itu berat dan menguras banyak tenaga. Padahal tinggal gayung air dan sabunan, terus basuh. Tapi itu bukan pekerjaan mudah baginya. Masuk kamar mandi saja pakai hitungan jari, apalagi mau mandi. Jalan tengahnya, semprot parfum banyak-banyak. Jarak satu kilometer, kita pasti sudah bisa tahu, yang di sana itu tentu “makhluk yang jarang mandi itu”. Sumpah. Tidak tahu kenapa. Katanya, bawaan bayi.
Setelah mandi, bereskan kamar sebentar lalu saya putar-putar seminari. Mengenang masa silam. Pertama saya bergerak menuju ke kelas-kelas. Sengaja saya lewat halaman tengah. Menikmati bunga-bunga yang ada. Nampak indah dan segar. Ada bunga aster, mulut singa, mawar, dahlia, pukul sembilan, sampai bunga tahi ayam. Baunya, memang seperti tahi ayam. Bunga itu selalu menjadi pilihan terakhir. Kalau semua bunga lain tidak bisa hidup dengan baik di taman, bunga tahi ayam menjadi pilihan satu-satunya. Soalnya bunga yang satu ini cocok dengan segala kondisi tanah.
Saya teringat, taman depan kamar Romo Prefek alias bapa asrama itu pernah menjadi taman saya. Saya suka bunga mawar, aster, dan beberapa jenis bunga lain yang saya sendiri sudah lupa namanya. Setiap hari saya selalu menyiramnya. Sama seperti manusia yang membutuhkan air dan makanan, bunga juga butuh itu. Kalau ada dahan atau ranting yang kering, saya bersihkan. Rumput liar tidak saya biarkan membesar. Sedikit saja ada rumput liar, pasti sudah saya bersihkan.
Bunga punya masa bertumbuh, berbunga, kemudian layu dan mati. Pada masa-masa bertumbuh, dari pembibitan menuju masa berbunga, perlu ekstra perhatian. Kalau tidak, bisa jadi bunga tidak akan tumbuh sempurna, tidak akan pernah ada bunga, bahkan ada yang kerdil dan mati. Karena itu, sebelum menanam, tanah harus diolah dulu. Diberi pupuk kalau memungkinkan.
Saya sendiri paling rajin memberi pupuk pada lahan, tempat bunga itu mau ditanam. Pupuk alami. Saya ambil dari Tanjung.[1] Di sana kan banyak tahi sapi dan bekas dedak yang sudah menjadi tanah subur. Kompos. Karena tahi sapi itu terdiri atas rumput-rumputan yang sudah diolah terlebih dahulu di perut sapi. Keluar sebagai tahi dan tercampur dengan tanah. Mengalami masa penghancuran bersama bakteri dalam derajat suhu tertentu. Dan kemudian untuk masa yang lama, pupuk kompos itu siap dipakai. Sama halnya juga dengan dedak makanan babi. Prosesnya tidak terlalu jauh beda.
Semula saya merasa jijik. Tapi kemudian saya berpikir, ini kan alamiah. Sama seperti tubuh kita yang alamiah. Karena itu, saya ambil itu pupuk dan saya sebarkan atau campurkan bersama tanah di taman saya. Saya olah menjadi lahan basah siap tanam. Dibiarkan seminggu supaya tanah bisa beradaptasi dengan kondisi barunya. Kemudian tanah siap ditanami bunga.
Metode seperti ini ternyata berhasil. Bunga-bunga mengalami perkembangan pertumbuhan yang menyenangkan. Akar-akarnya kuat, batang-batangnya berisi, daunnya segar, dan tiba saat berbunga, bunga-bunganya begitu indah.
Ada perbedaan dalam merawat bunga. Ada bunga yang susah waktu menanam dan merawat, tapi kemudian bertahan lama, dan terus berbunga. Ada juga yang mudah ditanam dan dirawat, tapi tidak bertahan lama dan hanya satu kali berbunga. Mawar termasuk bunga yang susah dalam menanam dan merawat, tetapi bertahan lama dan terus berbunga. Sementara aster, tidak bertahan lama dan hanya satu kali berbunga.
Ada kebanggaan tersendiri kalau bunga-bunga hasil jerih payah saya dipakai untuk dihias di kapela. Itu berarti bunga-bunga saya layak untuk pujian kepada Tuhan. Teman-teman koster selalu mengambil bunga dari taman-taman itu pada hari Rabu dan Sabtu, pas kerja pos, kerja wajib mingguan di pos-pos pembagian. Ada teman-teman yang tidak mau memberikan bunga-bunga terbaiknya untuk dijadikan hiasan pot di kapela. Kata mereka, “Sudah capek-capek menanam, dipetik pula!” Beda dengan pikiran saya. Biarkan bunga itu juga turut memuji keagungan Tuhan, sebab semua makhluk memuji Dia. Semua bunga ikut bernyanyi dan gembira hatiku. Secara tidak langsung saya pun turut dalam pujian pada Tuhan.
***
Sampailah saya di kelas paling ujung. Berhadapan langsung dengan jalan raya. Kelas ini mengingatkan saya pada waktu jam belajar sore. Jendela-jendela selalu kami buka lebar-lebar. Sekali pun dingin, tidak menjadi masalah. Kami paling senang melihat ke luar jendela. Siapa tahu ada yang lewat dan kami bisa menyalurkan insting keusilan kami. Apalagi kalau yang lewat itu teman-teman dari Kartini. Heboh seluruh kelas. Semua kepala pasti dilongokkan ke jendela. Ada juga yang bersuit siul panjang dan melambai-lambaikan tangan. Kalau tidak Kartini, siswi-siswi SMP Supra Mataloko. Kalau tidak SMP Supra berarti SMA Thomas Aquinas. Lebih tua juga tidak apa-apa. Yang penting makhluk yang bernama perempuan. Langka dan unik.
Di kelas berikut. Kelas deretan tengah. Jendela selalu ditutup. Karena memang berhadapan langsung dengan tempat sampah umum. Pemandangan yang tidak mengenakkan. Lebih-lebih kalau ada yang bakar sampah. Asma bisa kumat karena sering asap masuk kelas. Kelas tanpa jendela ini punya kesibukan lain. Main karambol dari laci meja, tendang gawang dengan bola yang dibuat dari kaus kaki atau kumpulan kertas, juga sampai main kartu. Kelas ini paling kreatif dalam menciptakan permainan. Maklum. Tidak ada yang bisa dijadikan objek usil. Karena itu, mesti pandai-pandai mengisi kejenuhan.
Kami pernah dihukum sekelas karena kedapatan main karambol pakai laci meja. Seingat saya hari itu hari Senin. Kelas memang dalam keadaan tenang. Kelihatan dari luar semua pada belajar. Kami tahu, kalau kelas tenang berarti tidak banyak menarik perhatian Romo atau Frater. Frater atau Romo pasti tidak datang ke kelas kami. Mereka menyangka kami memang lagi belajar. Sebagian sementara belajar. Yang lain rupanya sibuk dengan papan karambol. Seolah-olah seperti belajar kelompok. Empat orang melingkar di satu meja. Buku tetap terbuka. Tetapi halamannya yang itu-itu saja. Hanya tangan yang bergerak. Kutak sana kutik sini. Tahu-tahunya perfek muncul dari jendela. Kepalanya dijulurkan ke dalam kelas. Dan ketahuan. Empat teman kami tertangkap basah.[2] Kami semua digelandang keluar. Persisnya di halaman depan kelas kami. Di situ kami berlutut ramai-ramai.
Keempat teman kami memimpin di lorong kelas kami. Sambil berlutut, meja karambol diletakkan di atas kepala mereka. Seperti menjinjing sebuah beban. Kata perfek, “supaya orang tahu, kalian dihukum atas alasan apa. Dan supaya teman-teman kelas lain belajar dari kesalahan kalian”. Muka mereka nampak sudah setengah matang. Merah tomat. Lucunya, dari antara empat teman kami itu, tidak ada yang sama tinggi. Ada yang begitu pendek dan ada yang begitu tinggi. Ketika mereka diperintahkan berlutut berapat-rapat dan menjinjing laci karambol itu, teman saya yang pendek itu hanya memikul angin, alias sama sekali tidak kena. Karena itu, hanya ada tiga kepala yang menjinjing laci itu. Mereka harus menjaga keseimbangan supaya laci itu tidak jatuh. Susah memang dengan kekurangan satu tumpuan.
Sampai jam Salve[3], kebiasaan hari Senin, kami tidak disuruh ke kapela. Tetap dalam posisi berlutut. Bayangkan, sudah sejak dari jam belajar pertama. Kakak dan teman-teman kelas mengejek-ejek kami. Memang kelas kami lagi benar-benar apes. Setelah salve, jam makan. Kami pikir perfek akan membiarkan kami makan. Tidak juga. Kami masih dalam posisi berlutut. Terasa lutut mulai asam. Perut juga kelihatannya keroncong. Dengan tenaga sisa kami lanjutkan hukuman ini.
Perfek masuk kamar makan. Semua hening. Suara sang perfek kedengaran sayup-sayup. Satu point pengumuman adalah tentang kami. Beliau menjelaskan kejadian di kelas kami. Dan semua diminta untuk tidak mengikuti sikap buruk kami. Kemudian pengumuman sekaligus penegasan ditutup dengan sebuah perintah. “Setelah makan, semua nasi, sayur, dan lauk langsung dibuang. Tidak usah simpan untuk mereka yang masih berlutut!” Lemaslah kami yang mendengarkan perintah terakhir itu. Hari ini kami mungkin tidur dengan perut keroncongan.
Efek dari pengumuman itu, kelas kami mulai terpecah belah. Ada yang mulai saling menyalahkan. Terutama teman-teman yang ada di depan kami. Mereka menjadi sasaran empuk kekesalan kami. Kemudian ketua kelas dan kami semua berembuk. Sebaiknya kita minta maaf. Ini jalan keluar yang kami pikirkan waktu itu. Karena itu, keempat teman kami bersama ketua kelas berinisiatif menghadap perfek. Kami semua menanti hasil. Selang lima belas sampai setengah jam, kelima teman kami kembali. Tidak tahu hasil pembicaraannya apa, tapi kami disuruh berdiri, masuk kelas, dan menyesuaikan diri dengan aturan seperti biasa. Berarti kami tidak diperbolehkan makan. Padahal sudah lapar.
Beruntung bahwa sebagian besar anggota meja makan kami tidak mentaati perintah perfek. Mereka masih menyimpan nasi dan sayur untuk kami. Sebuah solidaritas yang buruk, tapi penting di saat genting ini. Setelah doa, dengan mengendap-ngendap kami makan. Sekedar mengisi perut yang keroncong. Kami bagi-bagi. Ada yang kurang beruntung. Sama sekali tidak disimpan. Sepiring bisa makan dua tiga orang. Yang penting kebersamaan.
***
Rata-rata semua kelas tidak berubah. Meja dan papan tulis tetap seperti yang dulu. Dinding selalu ada bekas sepatu dan upil. Bendera merah putih pasti bau keringat. Kalau keringatan bermain, bendera itu jadi sasaran. Pantas saja Nagabonar marah besar. Anak zaman sekarang sudah lupa akan darah para pahlawannya. Cuma ada yang beda. Kursi sudah diganti. Bukan lagi kursi kayu yang bikin pantat tepos dan sakit. Sekarang pakai kursi plastik. Rupanya para pembina sudah pada kapok. Soalnya kursi kayu, baik baru atau pun lama, tidak akan bertahan lama. Kalau tidak patah berarti goyang kanan kiri. Daya perusak kami waktu itu memang tinggi.
Dari kelas saya ke dapur. Tidak ada yang berubah sedikit pun. Bahkan tempat cuci sayur yang super jorok itu masih juga digunakan. Sekali limbah dalam sebuah baskom besar, sayuran siap dicemplungkan ke kuali untuk dimasak. Kotornya juga tidak karuan. Untung dibuat mati dengan dinding. Pakai lepas mungkin sudah ada siswa yang angkat dan buang itu tempat cuci sayur. Kemudian tempat menanak nasi pun tetap sama.
Sengaja saya intip ke gudang beras dan ikan. Juga tetap sama. Ikan-ikan itu masih juga bersahabat akrab dengan tikus, cecak dan rayap. Kami adalah generasi kedua yang makan ikan itu setelah tikus. Tapi kami gemuk-gemuk dan sehat-sehat. Sampai-sampai saya berpikir, penyakit itu tidak mungkin datang dari makanan, seburuk apa pun makanan itu. Yang buat siswa seminari sakit bukan makanannya tetapi cara hidupnya yang tidak teratur. Pernyataan ini sudah terbukti sepanjang pengalaman. Saya toh sampai sekarang tetap sehat walafiat, tidak ada penyakit yang begitu mengkawatirkan. Seperti hepatitis, virus yang paling menakutkan siswa seminari karena bisa menggagalkan panggilan. Ada hepatitis berarti tamatlah panggilan. Dan yang biasanya kena hepatitis adalah mereka yang kurang tertib dalam pola hidupnya. Terlalu banyak olahraga sampai lupa makan, minum, istirahat yang cukup, doa dan belajar. Barangkali ini yang lebih tepat, dalam kondisi yang serba kekurangan itu, orang dituntut untuk hidup seimbang dan teratur. Sebab kekurangan sana sini bisa diimbangi atau ditutup dengan kelebihan sana sini. Tidak teratur atau tidak seimbang mendatangkan celah, bolong pada tubuh jasmaniah dan roh. Inilah yang mengakibatkan tubuh bereaksi dan munculah penyakit. Jadi, hidup tertib menjamin keseimbangan dalam tubuh, sekalipun tidak higienis (perlu lagi diperdebatkan dengan pakar kesehatan, seperti para perawat Lela atau Maumere).
Tak terasa. Pukul 18.30 WITA. Jam makan malam. Saya bergegas ke Unit C. Makan bersama. Orang bilang, cinta pertama itu terus akan diingat, selebihnya urusan masing-masing. Orang juga bilang, kesan pertama membekas, selebihnya atur saja bos! Makanya, saya harus tunjukkan kedisiplinan saya. Sebagai seorang pembina sekarang. Juga mantan siswa. Sekurang-kurang mereka menjadi bangga. Karena telah menjadi bagian dari hidup saya sebagai seorang pembina.
Semula saya merasa canggung. Sewaktu saya menjadi siswa, mereka jugalah yang menjadi pembina, pendamping saya. Baik dan buruknya saya sudah mereka ketahui. Saya seperti raja telanjang. Tidak ada yang bisa saya tutup-tutupi dari mereka. Malu-malu. Segan. Tak terukur perasaan saya. Berkecamuk.
Saya duduk dekat seorang guru Bahasa Inggris asal Inggris. Bujang lapuk juga, karena memang belum kawin. Guru bantuan Ausaid, yang ditugaskan di wilayah Ngada. Tingggal di seminari. Makan di Unit C. Kentang goreng dengan merica dan salay Inggris. Enak. Cuma kentut yang nantinya lebih bau. He...he..he...
Di samping kiri saya, teman-teman frater TOP lainnya. Ada yang sudah setahun di seminari, ada yang masuk sama-sama dengan saya. Baru mulai belajar makan di Unit C. Sama-sama kikuk. Sama-sama tidak tahu harus mulai dari mana. Lucunya, saya bawa senduk lengkap dengan garpu ke meja hidangan menu makan. Padahal, senduk dan garpu itu sebenarnya tidak perlu dibawa. Cukup piring. Karena segala sesuatu sudah disediakan di sana. Senduk sayur ada. Senduk sup ada. Senduk nasi ada. Senduk lauk ada. Kenapa saya harus capek-capek lagi bawa senduk dan garpu? Lihat kiri lihat kanan, syukur tidak ada yang menertawai saya. Tapi was-was juga, jangan sampai rahasia perusahaan ini terbongkar. Dan matilah saya! Pasti jadi objek tertawaan.
Nasi, sayur, lauk secukupnya. Langsung saya santap. Romo di hadapan saya, mantan guru saya juga nyeletuk. “Tidak sup duluan?” Saya kelabakan. Tapi tidak hilang akal. “Makanan penutup saja!” Romo ketawa. Baru kali ini saya lihat Romo yang satu ini ketawa. Saya tidak pernah lihat dia ketawa sebelumnya. Saking seriusnya. Semua siswa, termasuk kami dulu, segan bahkan takut dengan Romo ini. Aura sangarnya jelas kelihatan. Apalagi kalau lagi marah. Uh...seperti auman harimau. Menyeramkan.
Sementara asyik makan, pintu kamar makan terbuka. Pater Engels. Sudah tua sekali tetapi masih juga tegak berjalan. Semangat 45. Walaupun dari Jerman. Pater kadang terlambat masuk kamar makan. Sebenarnya bukan karakter dia untuk terlambat. Kalau tidak ada halangan yang penting. Dan itu tidak lain soal poliklinik. Selain sebagai guru bahasa Jerman, Pater rutin menangani polik dan siswa yang sakit. Ada juga orang luar yang datang berobat. Pater selalu siap dua puluh empat jam untuk polik.
Kebanyakan siswa takut berobat ke Pater Engels. Bukan apa-apa. Gaya pelayanan Pater seratus persen diadopsi dari gaya militer. Maklum pernah menjadi dokter tentara. Kadang sadis, kadang menakutkan, kadang mengerikan, tapi juga ada lawaknya. Ada siswa yang trauma berhadapan dengan Pater. Itu berawal dari sakit gigi. Karena sudah tidak bisa mengatasi sendiri sakit giginya, teman saya itu berani menghadap Pater dan minta obat. Pater tidak beri obat. Malah Pater sibuk mempersiapkan tang, obat bius, dan benang. Dilebarkannya mulut teman saya itu. Digoyang-goyangkan gigi yang sakit itu. Sebenarnya teman saya itu mau berteriak saking sakitnya tapi takut sama Pater. Jadi, tahan saja.
“Ini harus dicabut!” kata Pater. Kemudian Pater ambil obat bius dan jarum suntik. Memasukan obat bius, kemudian menyuntikkan obat bius itu persis di gusi gigi yang mau dicabut. Selang beberapa menit, Pater ambil tang. Digoyang-goyangkannya gigi yang sakit itu dengan tang. Ke kiri ke kanan, seperti hendak mencabut paku yang sudah terlanjur tertanam kuat dalam sebuah balok. Pertarungan antara gigi, tang, dan kekuatan Pater itu berlangsung sekitar lima belas menit. Tapi gigi itu tidak kunjung juga lepas dari cangkangnya. Pater berusaha lagi. Kakinya yang satu ditumpukan pada kaki meja. Seperti hendak mencabut rumput dengan akar yang kuat. Juga tidak berhasil.
Rupanya Pater sudah kehabisan tenaga. Pater mengambil seutas benang. Mirip benang untuk menjahit sepatu. Ujung yang satu diikatkan pada gigi yang sudah terombang-ambing itu. Sementara ujungnya yang lain diikatkan pada gagang pintu. Sambil mengikat Pater bercerita. Ceritanya lucu dan membuat kita tersenyum-senyum. Puncak dari rasa lucu itu, kami semua ketawa termasuk teman yang giginya sakit ini. Pada saat teman saya itu asyik tertawa, brak....sekali tendangan, gigi teman saya itu roboh dan copot bersama dengan gerakan kencang pintu. Terlihat gigi teman saya itu benar-benar lepas dan masih terikat pada ujung benang yang satu. Tergeletak di lantai. Kami semua kaget setengah mati. Cabut gigi ala Pater Engels memang “sadis”.
Kebanyakan siswa lebih cepat sembuh kalau sudah berurusan dengan Pater Engels. Pertama memang karena obat-obatnya mujarab. Dan kedua karena takut. Tidak mau diobati Pater Engels. Apalagi kalau mau disuntik. Kita disuruh sandaran di tembok, dan Pater akan menusuk jarum itu dari jarak yang jauh. Seperti latihan tembak menembak. Selesai dengan obat pertama, spoit dilepas, dan jarum dibiarkan. Obat kedua dengan spoit berbeda tapi dimasukkan dengan jarum yang sama, yang masih melekat di pantat atau lengan kita.
Tapi berkat jasa Pater, banyak siswa yang tertolong. Tangan patah, kaki patah, muntaber sampai kritis, penyakit kuning, ginjal, hepatitis, semua dapat sembuh berkat tangan dingin Pater. Satu hal yang selalu Pater tekankan. Pater selalu menyembuhkan siswa bukan hanya dengan obat-obatan, tetapi terutama dengan doa. Siswa yang pernah masuk polik, karena cacar air, malaria, muntaber, mungkin tahu akan hal itu. Pater selalu mengajak berdoa, pagi, siang, dan malam bersama siswa-siswa yang sakit.
Pater juga menjadi anutan semua orang, baik para pembina, guru, maupun para siswa. Pengabdiannya tulus, tuntas, total, dan tanpa pamrih. Ia juga sangat disiplin. Sampai-sampai harus potong lari halaman tengah, kalau ia tahu sudah terlambat untuk mengajar. Dalam hal doa, Pater selalu terdepan. Imam yang selalu dekat dengan Brevir, Bunda Maria, dan Hati Kudus Yesus. Tidak berlebihan kalau Pater Engels disebut sebagai representan “para santo” yang hidup di tengah-tengah komunitas Seminari Mataloko.
Satu bangku lagi kosong. Mungkin ada kesibukan yang tidak bisa ditunda. Paginya, bangku itu juga kosong. Siang terulang kembali. Sedang puasa atau memang betul-betul sibuk pada saat jam makan. Saya melirikan mata saya ke papan absensi. Keterangannya ADA. Berarti bukan sedang di luar. Kalau begitu, di mana? Ini urusan pribadi. Tetapi kalau sudah masuk dalam sebuah komunitas, ya kapan lagi persaudaraan itu ditunjukkan secara nyata kalau bukan di saat makan. Banyak efek yang bermanfaat, yang bisa dipetik, kalau sama-sama makan dan berbicara secara akrab dengan sesama saudara anggota komunitas. Seperti sebuah keluarga. Bukan orang asing. Atau sengaja mengasingkan diri.
Mantan Prefek saya persis di samping Pater Engels. Orangnya tegap dan tegas. Tidak kompromi dengan segala tindakan indisipliner. Tidak segan-segan menjatuhkan hukuman bila siswa salah. Semasa kami, Romo masih suka pukul. Sejalan dengan waktu, barangkali Romo sudah menemukan pola yang tepat dalam mendampingi siswa. Lebih matang dan dewasa. Dan untuk ini, kami telah memaafkan apa yang sudah terjadi atas diri kami. Justru kami patut berterima kasih. Sebab dari telapak tangan itu, muncul buah-buah kebajikan yang kami sendiri rasakan gunanya untuk diri kami.
Banyak hal yang bisa kami pelajari dari teladan hidupnya. Yang paling utama adalah disiplin. Romo kami ini super disiplin. Sebelum kami bangun, Romo sudah duluan bangun. Yang bangun terlambat atau tanpa sadar terlelap tidur, Romo bangunkan dengan semprotan air. Pakai alat penyemprot air untuk bunga. Ketika kami sudah tidur, Romo masih terjaga. Sampai keadaan benar-benar aman.
Ada Romo yang telat bangun. Juga lupa giliran misa. Mesti selalu harus dibangunkan. Atau tidak harus cari pengganti. Kalau ini terjadi pas pekan ujian, menjengkelkan. Apalagi misanya dibuat lama. Berarti makan akan cepat-cepat. Supaya masuk kelas tidak terlambat. Sialnya, kami tidak punya kesempatan buka catatan lagi untuk sekedar segarkan ingatan. Dan inilah yang menjengkelkan kami.
Romo Perfek kami juga suka tanam bunga, selalu rapi dan bersih. Lucunya, satu waktu Romo inpeksi mendadak. Sampailah di kelas deretan tengah. Di sana Romo menjumpai kelas penuh kertas dan sampah. Melihat itu, semua siswa disuruh berdiri di samping meja. Sejenak Romo memperingati siswa soal pentingnya kebersihan. Siswa diminta menjaga kebersihan kelas. Sebagai hukuman, siswa pungut sampah dengan menggunakan mulutnya. Semua tunduk ke lantai dan pungut kotoran dengan menggunakan mulut menuju ke tempat sampah. Mirip badut.
***
Kecanggungan saya lama-lama surut. Kami diterima bukan lagi sebagai siswa melainkan sebagai bagian dari para pembina dan pendamping siswa. Kami dipercayakan untuk menjalankan tugas-tugas perfektur sejauh dalam batas-batas kewenangan kami. Ini penting. Supaya tidak asal serobot dan makan gigi. Soalnya, hal utama yang harus diperhatikan dalam kehidupan komunitas adalah tata krama, saling menghormati pribadi, wewenang dan jabatan. Melecehkan seseorang, baik secara pribadi maupun dalam fungsi dan wewenangnya sama saja menoreh luka komunitas. Masalahnya bisa bertambah runyam kalau sudah ada blok-blok, praduga-praduga, perspektif tertentu, apalagi sampai negative-thinking.
Komunitas yang baik adalah komunitas yang menghargai satu sama lain, sekecil apapun dia. Menciderai hakikat komunitas ini berarti menimbulkan pecah belah yang sulit untuk dimaafkan. Tidak ada saling percaya. Selalu curiga. Cemburu tanpa alasan. Menjadi pemarah. Egois. Pendendam. Berlomba untuk mengalahkan. Sulit mempercayai teman. Tidak pernah mau mengakui kelebihan anggota komunitas lain.
Dalam situasi seperti itu, siswa yang bakalan menerima akibatnya. Stres dengan kehidupan komunitas, jenuh dengan kebersamaan, letih dengan persaudaraan ke dalam, siswa menjadi sasaran, pelampiasan. Jadilah siswa dihukum seberat-beratnya. Salah sedikit, masalah menjadi besar. Hukumannya pun seberat-besatnya. Seperti tanpa ada akhir. Berjam-jam. Tidak makan. Tidak mandi.
Kami pernah mengalami masa-masa pahit dengan pembina kami. Waktu itu, prefek kami itu merangkap jabatan sebagai kepala sekolah. Sementara itu keadaan komunitas runyam. Dengar-dengar ada bentrokan besar antarsesama anggota komunitas. Dalam masa-masa itu, kami selalu menjadi puncak pelampiasan kemarahan. Kami juga menjadi tempat hujatan, cacian, hukuman. Sering kami tidur di luar asrama. Memang sebagian dari kami ribut. Tapi tidak semuanya harus dihukum. Kami digelandang keluar dari kamar tidur tanpa sempat membawa apa-apa. Tidur beralaskan lantai dan rumput beratapkan langit. Dingin lagi. Terus jam lima empat lima pagi kami sudah harus bangun seperti biasa. Menjalankan rutinitas seperti biasa.
Kami menjuluki prefek kami dengan “si gila yang lagi kumat”. Kalau sudah kumat pusingnya, ada-ada saja ulahnya. Kami juga tidak kenal minggu pesiar. Padahal kami butuh minggu pesiar. Sekedar cuci mata dari kejenuhan di dalam asrama. Juga beli kebutuhan harian kami. Atau sekedar cari variasi makanan. Barang-barang kebutuhan pokok kami itu terpaksa Romo pembantu prefek yang beli. Atau kalau tidak kami titip lewat kakak-kakak SMA yang selalu punya waktu pesiar.
Minggu pesiar kami tergantung pada hari Sabtu sampai jelang waktu pesiar. Kami harus silentium alias diam. Tidak boleh ada yang ribut, baik di kamar tidur, kamar makan, maupun kelas, pada saat belajar. Kalau ada yang ribut, sial! Peluang untuk pesiar kami tertutup. Segera kami akan dikumpulkan di kamar makan. Duduk pada meja masing-masing. Kemudian kami menjalani hukuman rutin, yaitu menandukkan kepala kami ke meja makan, sampai ada yang benjol-benjol. Ciri khas siswa SMP Seminari waktu itu adalah benjol di dahi seperti sebuah telor.
Sesudah tanduk, kami disuruh membersihkan kamar makan dengan menggunakan serbuk kayu dicampur dengan oli kotor. Kami harus gosok lantai kamar makan sampai bersih mengkilat. Sedikit ada noda saja disuruh harus ulang. Sementara kami membersihkan kamar makan, perfek kami itu terus saja menjaga kami, seperti seorang mandor. Dengan sapu di tangan, dia akan mengejar kami dari satu sudut ke sudut yang lain. Tanpa ampun dia akan mengayunkan sapu ke arah kami. Tidak peduli kena atau tidak. Kami lantas berlari menjauhi dia ketika dia mendekat ke arah kami dengan sebuah pentungan atau sapu. Jadilah kami saling kejar mengejar tiada henti, mirip sebuah drama.
Tidak ada satu pun dari para pembina yang bisa menghentikan kegilaan ini. Bahkan Pater Engels pun tidak. Buktinya ada dalam cerita ini. Karena waktu itu musim sakit malaria, kamar khusus orang sakit dan polik pada penuh. Polik hanya untuk yang sudah sedemikian parah dan butuh perhatian serius. Sementara yang masih bisa ditangani sendiri oleh teman-temannya, ditempatkan di kamar khusus orang sakit. Saking penuhnya, kamar tidur pun jadi kamar orang sakit.
Sekalipun sakit, menu makan tidak terlalu dibedakan. Nasi jagung dan kol berenang. Bedanya cuma telan obat. Waktu itu, Malanuza, kebun Seminari lagi panen jagung. Kami tidak makan nasi malam itu. Jagung tok. Termasuk orang sakit.
Sampai dengan jam doa malam, tidak ada kejadian yang terlalu istimewa. Berlangsung seperti biasa. Setelah doa malam, kami semua menuju tempat tidur masing-masing. Ada yang sikat gigi, rendam pakaian, cuci muka, dan sudah tentu buang air kecil. Antrian buang air kecil selalu panjang pada saat selesai doa malam. Karena semua kelas, dari kelas satu sampai kelas tiga, burung besar kecil, pada antri di tempat kencing. Jumlah tempat kencing waktu itu hanya enam, untuk sekitar mendekati 300-an siswa. Dan tidak boleh ada yang kencing di toilet. Ada petugas khusus yang jaga supaya tidak ada yang kencing di toilet. Kasihan benar untuk siswa yang betul-betul sudah tidak tahan. Alias di ujung. Bisa-bisa kencing di celana. Ada yang kalau sudah tidak bisa tahan, ya terpaksa sembunyi-sembunyi cari tempat kencing. Di kamar jemur, di lapangan bola, atau juga di kamar mandi. Yang penting tidak ketahuan!
Lampu kamar tidur nyaris ditutup semua. Tiba-tiba saja perfek kami itu mengamuk hebat. Kami semua was-was. Pasti tidur lagi di luar. Karena ribut. Kami semua diusir keluar. Tidak ada yang berani melawan. Termasuk orang sakit yang ada di kamar tidur. Semua keluar. Kami sendiri tidak tahu apa kesalahan kami. Yang penting selamatkan diri dari lonceng yang ada di tangan perfek kami itu. Tidak bangun dan lekas lari berarti kena hantam itu lonceng. Besi pula. Semua pada berhamburan keluar sambil mencari-cari kambing hitam. Siapa kali ini yang punya ulah, ribut sampai kami digiring keluar seperti pesakitan.
Sampai di luar, perfek kami itu memanggil semua orang sakit dan mengumpulkan di satu tempat. Kami kira mereka dikecualikan dan disuruh kembali tidur. Tahu-tahunya, mereka berlutut beramai-ramai di halaman tengah. Sudah dingin. Embun. Kena angin malam. Kasihan juga. Ada yang sampai menggigil. Bercampur demam dan dinginnya malam.
Kami baru tahu ternyata biang keladinya ada pada orang sakit. Mereka makan jagung tetapi tidak jaga kebersihan kamar tidur. Tongkol jagung dibuang begitu saja di lantai. Biji jagung berserakan di bawah tempat tidur. Ini yang membuat perfek kami berang. Lantas kami digelandang keluar.
Di satu sisi kami begitu jengkel dengan teman-teman yang sakit itu. Ulah mereka, kami semua kena getahnya. Pupus sudah harapan untuk bisa tidur dengan nyenyak. Pupus sudah harapan untuk mimpi basah malam ini. Tapi di sisi lain, kami juga kasihan. Sudah sakit, disuruh berlutut, malam hari pula. Merasa senasib sepenanggungan, ada beberapa teman yang memberikan kain selimut yang berhasil dibawa keluar pada teman-teman yang lagi sakit. Ada yang sama sekali tidak pakai selimut dan hanya mengenakan celana pendek. Telanjang kaki dan hanya pakai baju dalam.
Melihat kejadian tragis itu, Pater Engels turun tangan. Penanggung jawab polik ini minta pada perfek kami untuk membebaskan mereka yang sakit dari hukuman itu. Tapi perfek kami tidak peduli. Sekali berlutut tetap berlutut. Kemudian pembantu perfek datang membujuk ketua perfeknya. Juga tidak luluh. Terbuat dari apakah hati orang ini? Keras seperti cadas. Semua tidak berdaya. Orang sakit tetap berlutut malam itu. Dan kami yang lain hanya bisa menyaksikan dari jauh.
Datang perintah. Semua masuk ke kamar tidur dan angkat tempat tidur keluar. Segera mungkin. Suara perfek kami itu bagai malaikat pencabut maut. Tidak ada yang tidak bergerak. Dengan cepat semua bekerja. Bahu membahu keluarkan tempat tidur. Tanpa kecuali. Dan dalam tempo lima belas sampai dua puluh menit, kamar tidur sudah menjadi sebuah ruang kosong. Tidak ada satu pun tempat tidur yang masih tersisa.
Datang lagi perintah. Ambil ember dan slaber, bukan pel. Kami lalu bagi tugas. Masing-masing kelas tanggung bloknya sendiri-sendiri. Ada yang tampung air dari kamar mandi. Ada yang siram. Ada yang gosok pakai sabun rinso. Kami disuruh membersihkan kamar tidur malam itu juga. Sekitar pukul 21.15 WITA. Dan tidak boleh ada bagian yang masih basah. Harus dikeringkan malam itu juga.
Semua ember dan kain pel kami kerahkan. Pakaian-pakaian bekas yang sudah tidak dipakai kami terjunkan untuk mengeringkan air slaberan. Semua bekerja keras. Tidak ada yang tinggal diam. Bekerja tanpa suara. Tapi juga mengantuk. Mungkin kebutuhan untuk istirahat inilah yang membuat kami bahu membahu menyelesaikan pekerjaan ini. Sekitar pukul 3.15 WITA pekerjaan pel dan mengeringkan selesai. Tempat tidur boleh dimasukkan. Kemudian kami diperkenankan istirahat. Lega rasanya. Tidur sampai bodoh. Karena memang sudah sangat capek. Tapi kami harus bangun pagi. Tidak boleh telat. Tidak apa-apa. Yang penting bisa tidur.
Lain waktu kami diusir dari kamar tidur. Alasannya sama, karena ribut. Waktu itu, jam istirahat siang. Kami diusir menuju kebun belakang kelas kami. Siang sampai sore kami diperintahkan sekaligus membabat rumput dan ilalang yang sudah setinggi kepala manusia, mencangkul, meratakan tanah, dan membuat bedeng. Harus sampai selesai. Pekerjaan gila. Untuk anak SMP seusia kami. Tapi harus kami lakukan. Taruhannya adalah panggilan kami sendiri.
Staf OSIS bergerak cepat. Kami dibagi dalam beberapa kelompok. Kelas satu sampai kelas tiga bercampur baur. Kelompok pertama yang punya parang ditugaskan membabat rumput. Kelompok kedua, dengan pacul, mencangkul. Kelompok tiga dengan sisir, pikuil, dan peralatan lainnya meratakan tanah. Dan terakhir, kelompok empat langsung membuat bedeng. Lalu tanah disiram. Sore hari menjelang malam, pekerjaan selesai. Beberapa bedeng rapi terbangun.
Tragedi kali ini memakan korban. Satu tangan patah. Lonceng yang sebesar pisang satu tandang itu menghantam seorang siswa. Persis jatuh di got, depan kamar tidur. Tangannya langsung patah. Pater Engels lagi-lagi tidak bisa berbuat banyak. Hanya bisa mengobati siswa yang menjadi korban itu.
Syukur pada Tuhan, ada pergantian perfektur. Selamat sudah kami dari cengkeraman maut. Tapi kemudian kami mendapatkan perfek yang sangat disiplin, rajin, dan kalau marah meledak-ledak minta ampun. Pelahan-lahan kami beradaptasi dengan tangan dingin beliau. Dan kami menemukan bahwa semua itu demi kebaikan kami. Beda dengan bapa asrama sebelumnya. Benar-benar tanpa pola. Kehilangan pola. Atau mungkin, asal tubruk. Kalau mau jujur, seminari mesti harus minta maaf pada angkatan-angkatan kami. Tidak selayaknya kami diperlakukan demikian. Tetapi kami sadar, banyak sudah jasa seminari yang tertanam dalam diri kami. Cuma kasihan yang keluar duluan. Rasa sakit hati mungkin masih ada sampai sekarang.
Dunia siswa memang ada-ada saja. Selalu ada cara untuk lolos dari “mata agent”[4] para pembina. Kadang kami mempunyai istilah sendiri dengan romo-romo tertentu. Ada “Roda”, “Roleks”, “Roki”, dan “Rona”. Ro sudah tentu berarti romo dan suku kata berikut menunjukkan nama masing-masing romo. Dengan istilah ini, kami bisa bersembunyi atau lebih cepat kamuflase dari pengawasan para romo. Tapi ada juga yang dijuluki romo dengan “filing kuat”. Itu artinya, romo tersebut selalu bisa mengetahui dan selalu bisa menangkap basah pelanggaran yang seharusnya tersembunyi, tersusun rapi, dan diduga bakalan tidak diketahui. Istilah “filing kuat” sangat disegani siswa. Karena pasti tidak mungkin lolos. “Filing kuat” juga diberikan buat romo yang selalu menangkap basah siswa yang bolos. “Menyamar” bagaimana pun pasti ketahuan.
***
Jam makan selesai. Wakil Praeses memperkenalkan orang baru yang bergabung dalam komunitas ini. Termasuk saya. Lagi-lagi disambut dengan tepuk tangan. Pater Engels juga. Secara resmi kami diterima di komunitas ini. Sebagai pembantu perfek. Tetapi lebih dari itu, sebagai frater TOP, yang sedang belajar mematangkan panggilan dalam sebuah proses pembelajaran di seminari. Saya merasa haru sekaligus bangga. Di tengah-tengah mereka saya menemukan bahwa Tuhan memberikan saya keanekaragaman dalam penghayatan imamat. Kekayaan ini menjadi kekuatan saya. Sebab dari sana saya bisa belajar banyak. Belajar untuk menemukan model imamat yang sesungguhnya, yang masih saya cari. Dari mereka, saya mengolah diri saya sendiri.
Ketika saya mengenal lebih dekat, mantan pembina dan pendamping saya itu, saya menemukan sisi lain di balik profil pembina mereka. Tidak seperti gambaran para siswa. Menyeramkan. Menakutkan. Mungkin karena harus bertindak demikian. Mesti tegas. Prinsipil. Tidak kompromi. Dan ini yang membuat para siswa ketakutan. Segan. Apalagi nasib para siswa ada di tangan para pendamping ini. Sekali dua kali kedapatan bersalah, apalagi sampai meninggalkan bekas pada ingatan para pembina itu, sudah cukup merupakan lampu hijau bahkan lampu merah untuk siswa tersebut. Keluar, dalam bahasa kerennya “cedok”, bisa menjadi kenyataan. Dari dekat, mereka juga bisa tersenyum, ketawa, melawak, ramah.
Sering di kamar makan, ulah siswa menjadi topik pembicaraan. Siswa yang nakal dan selalu kedapatan melanggar menjadi bahan diskusi panjang. Antara dua. Atau anak ini sudah tidak bisa diatasi karena itu layak untuk “dicedok”. Atau anak ini diberi kesempatan lebih, sambil tetap terus diperhatikan secara serius. Kadang juga hukuman atas siswa yang nakal menjadi bahan tertawaan di kamar makan. Sebenarnya para pendamping itu punya selera humor yang tinggi. Sewaktu berhadapan dengan siswa, tampang mereka betul-betul kaku, serius, dan tegas. Tapi kalau sudah di kamar makan, mereka bisa saja menertawakan diri sendiri, dan mimik rasa bersalah siswa yang dihukum. Sebenarnya ada sisi kelembutan dan rasa belas kasihan yang tinggi, tapi demi pendidikan, “kemanjaan” seperti itu harus ditinggalkan. Disiplin jauh bertentangan dengan “kemanjaan”. Itu membuat semua pembina harus bersikap tegas.
Siswa yang memang patuh dan rajin selalu disayang pembina. Mengapa demikian? Para pembina merasa “dihargai” oleh sikap patuh dan rajin itu. Segala jerih payah dan pola pendampingan mereka terasa ada hasilnya. Mereka pun turut bahagia dalam keberhasilan pertumbuhan itu. Mereka merasa tersanjung oleh “buah” pendampingan yang sudah kelihatan bentuk dan hasilnya itu. Karena itu, siswa yang patuh dan rajin, apalagi cerdas selalu menjadi kesayangan semua pembina.
Kadang saya berpikir, terlalu juga kita ini. Sewaktu di rumah, kita begitu patuh dan taat pada orang tua. Tapi setelah kita di seminari, sikap melawan justru yang kita tunjukkan pada para pembina. Padahal, para pembina itu sama saja dengan orang tua kita. Mereka mau kita bertumbuh dan berbuah baik. Tapi kita salah mengerti. Malah mencaci maki mereka. Membenci mereka. Seolah-olah mereka sudah merebut segala kebebasan yang kita miliki. Pada titik ini, patut kita minta maaf atas semua kekurangajaran kita di tempo dulu.
Tetapi ada juga yang terlalu disayang, sampai “dielus-elus”. Kecemburuan teman-teman jelas ada. Karena siswa bisa tahu dan merasakan mana yang lebih diperhatikan, disayang, dikecualikan, dan mana yang selalu dibenci, dimarahi, dihukum. Kadang keberpihakan seperti ini justru merusak hubungan siswa yang satu dengan siswa yang lain. Ada semacam gap antara para siswa. Dan itu melukai persaudaraan dan kebersamaan para siswa. Dalam diri siswa yang selalu nakal, melanggar aturan, ada juga sisi-sisi kerinduan siswa itu untuk diperhatikan dan disayang. Semua menuntut porsinya masing-masing.
Siswa juga punya lensa penglihatan yang istimewa. Mata hati kepolosan mereka itu ternyata tajam dan bisa merasakan apa yang sedang terjadi dalam diri pembina, pendamping, bapa asramanya. Kalau ada yang salah, tidak beres, dipaksakan menjadi benar, menjadi beres, siswa-siswa itu “seolah-olah” tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Tapi dalam hati kecil mereka sesungguhnya mereka mengatakan, “kami sedang dibohongi”. Mereka bisa melihat dan biasanya mengukur tingkat kedisiplinan, kerohanian, kerajinan, kebersihan para pembinanya. Mereka tahu jam-jam pembinanya tidak ada di kamar, keluar seminari, atau sedang tidur, olahraga, makan, atau kerja. Mereka juga tahu situasi batin: marah, bahagia, jengkel, cemburu, tidak mau diganggu dari para pembinanya. Karena itu, mereka juga pandai memainkan perasaan para pembinanya itu.
Yang paling menyakitkan mereka adalah kalau apa yang dikatakan seorang pembina tidak dibuktikan sendiri melalui tindakan nyata. Mereka selalu menanti anutan, contoh hidup, praktik. Mereka memang butuh kata-kata nasihat, tapi lebih dari itu mereka menunggu bukti nyata dari kata-kata itu dalam diri sang pembina. Inilah justru pendidikan alamiah yang paling efektif. Yaitu keteladanan. Seperti Sang Guru Ilahi yang memberikan teladan hidup-Nya kepada murid-murid-Nya sampai tuntas, mati di kayu salib.
Yang saya lihat, menjadi pembina sama saja dengan menjadi pekerja di sebuah taman. Sejak dari pembibitan sampai menghasilkan bunga, para pekerja taman dituntut untuk memberikan perhatian ekstra. Semak duri, kadang beling melukai tangan, berlepotan tahi sapi, dedak babi, semua dilakukan hanya untuk sebuah pertumbuhan yang baik dengan hasil yang menakjubkan. Sementara bunga, seolah-olah tidak tahu bahkan tidak mau peduli dengan kerja keras para pekerja taman. Kalau tidak diperhatikan, ia malah kerdil, mogok berbunga, bahkan mati. Kalau rumput liar dibiarkan, dia juga tidak peduli. Tugas membersihkan adalah tugas para pekerja. Yang dia tahu hanya berbunga sesuai dengan perhatian yang diberikan. Susah payah seorang pekerja taman sama sekali tidak sebanding dengan penghargaan yang diberikan oleh sebuah bunga.
Kalau bunga itu mekar, pertama-tama yang dipuji bukan para pekerjanya. Tapi bunga itu sendiri. Memang ada kebahagiaan tersendiri bagi para pekerja melihat dan menyaksikan bunga hasil kerja kerasnya dipuji. Dia sendiri puas, cukup dengan bunga itu dipuji. Giliran bunga itu kerdil atau bahkan mati, yang dipersalahkan bukan bunga itu, melainkan para pekerjanya. Dia dicela, dicaci karena ketidakberhasilannya. Kadang dia menyesal, kecewa, pesimis, tapi itu semua tidak dipedulikan. Baik oleh bunga maupun para penikmat bunga. Sesudah itu, dia akan terus bekerja dan bekerja, dengan luka yang dibawa pergi, menghasilkan bunga-bunga baru tanpa mempedulikan dirinya sendiri.
Tepukan tangan tadi sebenarnya merupakan sebuah tantangan tersendiri. Mampukah saya menjadi seorang pendamping dan pembina yang baik buat adik-adikku?*
Permenunganku:
“Di mana pun kita berada dan menjadi seorang guru atau pendamping, kita mesti selalu bersedia dibenci dan ditakuti baik oleh seorang anak didik, maupun orang tua atau wali. Dan kapan serta di manapun anak didik itu berada, mereka selalu punya sikap antipati, melawan, susah diatur. Jarak seperti ini hanya bisa diputuskan dengan gerakan “merunduk”, seperti padi yang berisi. Atau inkarnasi, seperti Sang Guru Ilahi. Menyapa mereka dengan hati, berdialog secara jujur dan terbuka, selalu bersimpatik dengan setiap perkembangan mereka, dan yang paling penting adalah contoh atau teladan hidupmu. Di sana mereka akan berkaca tentang hakikat diri mereka sendiri dan nilai yang patut mereka teladani. Kecuali model pendidikan itu benar-benar buruk, tanpa tujuan yang baik dan menjangkau masa depan, pendidikan seperti itu hanya menghasilkan para diktator-diktator baru, atau sekurang-kurangnya manusia yang sakit ingatan. Pendidikan dengan visi dan misi yang jelas, metode dan pola pendampingan yang berkesinambungan seperti seminari, baik atau buruknya para pembina, selalu mempunyai sisi-sisi memorial yang bernilai untuk dikenang di masa depan. Bahkan menjadi sumbu yang tetap bernyala, sekalipun dalam kegelapan yang paling gelap. Berbahagialah bahwa kita pernah menjadi pendamping dari sekelompok siswa. Karena mereka akan terus menyanjung dan mengingat kita. Dalam hatinya, tercatat juga nama kita”.
[1] Pusat peternakan seminari. Biara-biara selalu punya kandang peternakan sendiri. Untuk mencukupi kebutuhan domestik. Kalau tidak sapi perah, ada babi, ayam, dan bebek.
[2] Saya teringat akan teman-teman saya itu, Andi Dolo, Mans si pendek Lakapati, Yan Wikul, dan Yanto “Ngarupolo”. Di mana saja kamu berada, saya selalu terkenang akan kisah karambol ini.
[3] Penyembahan Sakramen Maha Kudus
[4] Di mata para siswa, pembina dan pendamping asrama adalah para pengintai, pengawas, mirip polisi militer. Setiap tindak tanduk siswa selalu diperhatikan, diawasi. Siswa tidak bisa bebas. Selalu dalam pengawasan pembina. Karena itu, para pembina selalu disamakan dengan agen mata-mata, spionase, seperti CIA, KGB, dan yang lainnya.
No comments:
Post a Comment